Jakarta (ANTARA) - Sekadar menengok ke masa lampau rasanya bukan ide buruk, apalagi bila bisa memuaskan rasa ingin tahu atau menyegarkan ingatan terkait jejak Islam di Nusantara, khususnya Jakarta yang menjadi salah satu pintu gerbang masuknya pendatang muslim dari berbagai negara, utamanya Arab dan India.
Jejak Islam di Jakarta salah satunya bisa ditengok melalui bangunan masjid, khususnya di kawasan Pekojan, Jakarta Barat, yang dikenal sebagai kantong permukiman etnis Arab itu.
Para pemandu dari Unit Pengelola Kawasan (UPK) Kota Tua melalui wisata “Susur Kampung Arab Pekojan” mengajak pelancong menyambangi empat masjid bersejarah di Kota Tua sembari berjalan kaki, tanpa memungut biaya alias gratis.
Selama Ramadhan, tur wisata masjid di Pekojan yang bisa menjadi ajang ngabuburit berlangsung setiap hari Rabu dan Minggu pukul 15.30 WIB dengan durasi sekitar 1,5 hingga dua jam.
Menurut salah seorang pemandu, Gilang Ramadhan, wisata ke Pekojan ramai pada akhir pekan dengan jumlah peserta sebanyak lima orang. Biasanya usai menyelesaikan tur, peserta berbuka puasa di salah satu masjid yang disambangi.
Perjalanan dimulai dari titik kumpul di Kota Tua Information Center (KOTIC) yang lokasinya berjarak sekitar 230 meter dari Stasiun Kota, kemudian menyusuri sebuah gang bernama Gang Virgin yang letaknya berada di sebelah gedung Arsip Mandiri.
Gilang menjelaskan asal muasal nama gang merujuk pada keberadaan Kafe Virgin yang menjadi tempat bertemu para sosialita termasuk istri-istri para pejabat era kolonial. Sembari berkumpul, mereka memamerkan kekayaan seperti jumlah budak dan kapal yang bersandar di Kali Besar.
Sesampainya di ujung gang, dia mengajak peserta mengamati peta lokasi Kota Tua Jakarta berukuran besar. Dia mengingatkan tentang Kota Tua Jakarta atau dulunya disebut Batavia memiliki luas sekitar 334 hektar yang membentang dari Pecinan sampai ke Pelabuhan Sunda Kelapa.
"Kurang lebih mencakup lima kelurahan di Jakarta termasuk Pinangsia dan Tamansari. Jadi, tidak mencakup Jakarta secara keseluruhan," kata dia.
Susur empat masjid
Pekojan berada di sisi barat Batavia. Pemandu wisata yang cakap berbahasa Spanyol Pamela Zaelani menuturkan kata Pekojan diambil kata Khoja atau Kaja yang berarti lingkungan pesantren atau muslim yang tinggal di sekitar sini.
"Dulunya yang tinggal di sini orang Arab, India dari Malabar. Belanda memberikan beberapa tanahnya kepada orang Arab di sini agar mereka bisa membuka kehidupan seperti membuat masjid, membuat lingkungan masyarakat di sini," tutur dia.
Masjid pemberhentian pertama yakni Masjid Jami Al-Anshor yang berlokasi sekitar 1,5 km dari Kota Tua. Masjid yang dibangun oleh pendatang Islam dari Malabar, India, China tahun 1648 itu tak terlihat dari depan jalan karena tertutup rumah warga.
Pamela mengatakan lokasi masjid yang dulunya surau itu rawa dan hutan. Para pedagang dari Arab dan India bersinggah ke sana untuk menunaikan shalat lima waktu.
Kini, Masjid Jami Al-Anshor yang ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya merujuk SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0128/M/1988 dan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 475/1993 itu masih difungsikan sebagai tempat shalat termasuk ibadah shalat Jumat.
Masjid ini mengusung konsep arsitektur perpaduan India, China dan Nusantara. Unsur Nusantara yang masih kentara bisa terlihat dari kayu jati di pintu masuk dan mimbar. Sementara tiang-tiang penyangga masjid yang semula dibuat dari kayu jati kini sudah berganti menjadi marmer.
Lalu, di sebelah kanan mimbar, terdapat makam salah seorang Muslim yang berpengaruh untuk menyebarkan agama Islam di Nusantara, khususnya Batavia.
Para pemandu kemudian mengajak wisatawan beranjak ke masjid bersejarah berikutnya, yakni Masjid Azzawiyah di Jalan Pengukiran No.151.Masjid yang dibangun pada abad ke-17 ini difungsikan oleh pengurus untuk kegiatan mengaji, serta memperdalam Kitab Kuning.
Di sana terdapat sebuah sumur yang diberi nama sumur kesembuhan. Ini terkait erat dengan wabah malaria yang pernah melanda Batavia pada sekitar tahun 1730. Seorang ulama yang menemukan sebuah sumur membacakan doa dan siapapun yang minum air dari sumur itu mendapatkan kesembuhan.
Kini, masyarakat termasuk non-Muslim masih diperbolehkan meminum air sumur itu dan membawanya pulang. Sementara itu, wanita yang sedang haid dilarang mendekat ke sumur.
Beralih pada masjid berikutnya, yakni Masjid Jami An-Nawier di Jalan Pekojan Raya No. 71. Masjid yang dibangun oleh Sayid Abdullah Bin Husein Al-Aydrus pada tahun 1760 ini mengusung arsitektur bangunan gaya Arab dan neo klasik.
Atap masjid yang merupakan bangunan cagar budaya sejak tahun 2010 itu terdiri dari empat buah atap limasan berbahan genteng. Lalu, atap mihrab berbentuk kubah dan mimbarnya berbahan kayu berwarna cokelat tua.
Sementara itu, plafon masjid masih berupa kayu, seperti aslinya. Plafon ini disangga oleh pilar yang berjumlah 33 buah, sesuai dengan jumlah bacaan dzikir setelah shalat fardu. Pintu masjid dibuat lima buah yang menyimbolkan rukun Islam.
Suasana bagian dalam Masjid Jami An-Nawier di Jalan Pekojan Raya No. 71, Pekojan, Tambora, Jakarta Barat. ANTARA/Lia Wanadriani Santosa
Setelah mengamati interior masjid, wisatawan bakal diajak melihat bagian depan masjid yang terletak di seberang sebuah jembatan yang dulunya diberi nama Jembatan Kambing.
Sesuai namanya, semula jembatan tersebut difungsikan sebagai tempat lalu lalang pedagang kambing, namun kini menjadi jalur pengendara sepeda motor.
Relatif tak jauh dari jembatan ini, pemandu mengajak pelancong menuju sebuah bangunan bernama Langgar Tinggi yang terletak di Jalan Pekojan Raya, berada di tepian Kali Angke.
Pemandu wisata Tsaniah mengatakan bangunan dua lantai ini dibangun pada sekitar awal abad ke-19 atau tepatnya tahun 1829 sebagai tempat tinggal pedagang Yaman sekaligus shalat, mengaji dan menyiarkan ajaran Islam.
Lantai bangunan di lantai dua yang dijadikan langgar terbuat dari bahan yang disebut kayu jati Belanda atau sebenarnya merupakan kayu pinus, sama dengan mimbarnya.
Sementara lantai pertama, yang semula dijadikan penginapan kini difungsikan pengurus langgar sebagai toko untuk menjual wewangian.
Langgar Tinggi menjadi destinasi terakhir yang ditawarkan pihak UPK Kota Tua dalam program "Walking Tour: Susur Kampung Arab Pekojan” dan saat itu jam menunjukkan pukul 16.52 WIB. Melalui tur ini mereka berharap dapat mempromosikan Pekojan yang dikenal juga dengan nama Kampung Arab, sebagai bagian dari Kota Tua.
Selama Ramadhan, pihak UPK Kota Tua juga menawarkan wisata jalan kaki lainnya antara lain bertema "The Secret of Chinatown", "Oud Batavia en Omstreken" serta "Senja di Kanal dan Kampung Tua Sunda Kelapa".
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: "Ngabuburit" di Pekojan, menyusuri masjid bersejarah di Kota Tua
Jejak Islam di Jakarta salah satunya bisa ditengok melalui bangunan masjid, khususnya di kawasan Pekojan, Jakarta Barat, yang dikenal sebagai kantong permukiman etnis Arab itu.
Para pemandu dari Unit Pengelola Kawasan (UPK) Kota Tua melalui wisata “Susur Kampung Arab Pekojan” mengajak pelancong menyambangi empat masjid bersejarah di Kota Tua sembari berjalan kaki, tanpa memungut biaya alias gratis.
Selama Ramadhan, tur wisata masjid di Pekojan yang bisa menjadi ajang ngabuburit berlangsung setiap hari Rabu dan Minggu pukul 15.30 WIB dengan durasi sekitar 1,5 hingga dua jam.
Menurut salah seorang pemandu, Gilang Ramadhan, wisata ke Pekojan ramai pada akhir pekan dengan jumlah peserta sebanyak lima orang. Biasanya usai menyelesaikan tur, peserta berbuka puasa di salah satu masjid yang disambangi.
Perjalanan dimulai dari titik kumpul di Kota Tua Information Center (KOTIC) yang lokasinya berjarak sekitar 230 meter dari Stasiun Kota, kemudian menyusuri sebuah gang bernama Gang Virgin yang letaknya berada di sebelah gedung Arsip Mandiri.
Gilang menjelaskan asal muasal nama gang merujuk pada keberadaan Kafe Virgin yang menjadi tempat bertemu para sosialita termasuk istri-istri para pejabat era kolonial. Sembari berkumpul, mereka memamerkan kekayaan seperti jumlah budak dan kapal yang bersandar di Kali Besar.
Sesampainya di ujung gang, dia mengajak peserta mengamati peta lokasi Kota Tua Jakarta berukuran besar. Dia mengingatkan tentang Kota Tua Jakarta atau dulunya disebut Batavia memiliki luas sekitar 334 hektar yang membentang dari Pecinan sampai ke Pelabuhan Sunda Kelapa.
"Kurang lebih mencakup lima kelurahan di Jakarta termasuk Pinangsia dan Tamansari. Jadi, tidak mencakup Jakarta secara keseluruhan," kata dia.
Susur empat masjid
Pekojan berada di sisi barat Batavia. Pemandu wisata yang cakap berbahasa Spanyol Pamela Zaelani menuturkan kata Pekojan diambil kata Khoja atau Kaja yang berarti lingkungan pesantren atau muslim yang tinggal di sekitar sini.
"Dulunya yang tinggal di sini orang Arab, India dari Malabar. Belanda memberikan beberapa tanahnya kepada orang Arab di sini agar mereka bisa membuka kehidupan seperti membuat masjid, membuat lingkungan masyarakat di sini," tutur dia.
Masjid pemberhentian pertama yakni Masjid Jami Al-Anshor yang berlokasi sekitar 1,5 km dari Kota Tua. Masjid yang dibangun oleh pendatang Islam dari Malabar, India, China tahun 1648 itu tak terlihat dari depan jalan karena tertutup rumah warga.
Pamela mengatakan lokasi masjid yang dulunya surau itu rawa dan hutan. Para pedagang dari Arab dan India bersinggah ke sana untuk menunaikan shalat lima waktu.
Kini, Masjid Jami Al-Anshor yang ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya merujuk SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0128/M/1988 dan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 475/1993 itu masih difungsikan sebagai tempat shalat termasuk ibadah shalat Jumat.
Masjid ini mengusung konsep arsitektur perpaduan India, China dan Nusantara. Unsur Nusantara yang masih kentara bisa terlihat dari kayu jati di pintu masuk dan mimbar. Sementara tiang-tiang penyangga masjid yang semula dibuat dari kayu jati kini sudah berganti menjadi marmer.
Lalu, di sebelah kanan mimbar, terdapat makam salah seorang Muslim yang berpengaruh untuk menyebarkan agama Islam di Nusantara, khususnya Batavia.
Para pemandu kemudian mengajak wisatawan beranjak ke masjid bersejarah berikutnya, yakni Masjid Azzawiyah di Jalan Pengukiran No.151.Masjid yang dibangun pada abad ke-17 ini difungsikan oleh pengurus untuk kegiatan mengaji, serta memperdalam Kitab Kuning.
Di sana terdapat sebuah sumur yang diberi nama sumur kesembuhan. Ini terkait erat dengan wabah malaria yang pernah melanda Batavia pada sekitar tahun 1730. Seorang ulama yang menemukan sebuah sumur membacakan doa dan siapapun yang minum air dari sumur itu mendapatkan kesembuhan.
Kini, masyarakat termasuk non-Muslim masih diperbolehkan meminum air sumur itu dan membawanya pulang. Sementara itu, wanita yang sedang haid dilarang mendekat ke sumur.
Beralih pada masjid berikutnya, yakni Masjid Jami An-Nawier di Jalan Pekojan Raya No. 71. Masjid yang dibangun oleh Sayid Abdullah Bin Husein Al-Aydrus pada tahun 1760 ini mengusung arsitektur bangunan gaya Arab dan neo klasik.
Atap masjid yang merupakan bangunan cagar budaya sejak tahun 2010 itu terdiri dari empat buah atap limasan berbahan genteng. Lalu, atap mihrab berbentuk kubah dan mimbarnya berbahan kayu berwarna cokelat tua.
Sementara itu, plafon masjid masih berupa kayu, seperti aslinya. Plafon ini disangga oleh pilar yang berjumlah 33 buah, sesuai dengan jumlah bacaan dzikir setelah shalat fardu. Pintu masjid dibuat lima buah yang menyimbolkan rukun Islam.
Setelah mengamati interior masjid, wisatawan bakal diajak melihat bagian depan masjid yang terletak di seberang sebuah jembatan yang dulunya diberi nama Jembatan Kambing.
Sesuai namanya, semula jembatan tersebut difungsikan sebagai tempat lalu lalang pedagang kambing, namun kini menjadi jalur pengendara sepeda motor.
Relatif tak jauh dari jembatan ini, pemandu mengajak pelancong menuju sebuah bangunan bernama Langgar Tinggi yang terletak di Jalan Pekojan Raya, berada di tepian Kali Angke.
Pemandu wisata Tsaniah mengatakan bangunan dua lantai ini dibangun pada sekitar awal abad ke-19 atau tepatnya tahun 1829 sebagai tempat tinggal pedagang Yaman sekaligus shalat, mengaji dan menyiarkan ajaran Islam.
Lantai bangunan di lantai dua yang dijadikan langgar terbuat dari bahan yang disebut kayu jati Belanda atau sebenarnya merupakan kayu pinus, sama dengan mimbarnya.
Sementara lantai pertama, yang semula dijadikan penginapan kini difungsikan pengurus langgar sebagai toko untuk menjual wewangian.
Langgar Tinggi menjadi destinasi terakhir yang ditawarkan pihak UPK Kota Tua dalam program "Walking Tour: Susur Kampung Arab Pekojan” dan saat itu jam menunjukkan pukul 16.52 WIB. Melalui tur ini mereka berharap dapat mempromosikan Pekojan yang dikenal juga dengan nama Kampung Arab, sebagai bagian dari Kota Tua.
Selama Ramadhan, pihak UPK Kota Tua juga menawarkan wisata jalan kaki lainnya antara lain bertema "The Secret of Chinatown", "Oud Batavia en Omstreken" serta "Senja di Kanal dan Kampung Tua Sunda Kelapa".
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: "Ngabuburit" di Pekojan, menyusuri masjid bersejarah di Kota Tua