Palembang (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menggandeng International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) Indonesia untuk merestorasi lahan gambut di wilayah itu.
Deputi Direktur CIFOR-ICRAF Indonesia Andre Eka di Palembang, Rabu, mengatakan pelaksanaan restorasi gambut di wilayah Sumsel itu perlu dievaluasi baik dari sisi pengelolaan maupun pendanaan, dan berdasarkan data. Sebab hal itu sebagai dasar untuk perencanaan pemulihan gambut yang lebih komprehensif di masa yang akan datang.
Menurut dia, untuk merestorasi lahan gambut itu tidak lepas dari proses pemulihan ekosistem gambut yang membutuhkan usaha yang lebih serta memakan waktu yang cukup lama. Maka dari itu, evaluasi tersebut diharapkan dapat menyajikan berbagai hal seperti capaian, permasalahan, tantangan atau hambatan yang dihadapi.
"Sehingga, data-data tersebut dapat digunakan untuk melakukan perencanaan yang lebih terpadu dalam pemulihan gambut dalam jangka panjang," katanya.
Ia mengatakan dalam evaluasi itu juga difokuskan mencari potensi penyediaan pendanaan dalam upaya pemulihan gambut di Sumsel secara berkelanjutan.
Karena dalam upaya pemulihan lahan gambut itu tidak bisa hanya mengandalkan anggaran dari Pemprov Sumsel, ujarnya.
Maka, salah satu opsi sumber pendanaan yang dapat dimanfaatkan oleh Sumsel adalah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
"Perpres ini dapat digunakan oleh Pemprov Sumsel untuk mencari pendanaan dari perubahan iklim. Misalnya restorasi gambut itu dimasukkan sebagai upaya dalam pembayaran berbasis kinerja di dalam nilai ekonomi karbon," kata Andre.
Sementara itu Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Sumsel SA Supriono mengatakan luas lahan gambut di Sumsel berkisar 1.2 juta hektare yang didominasi oleh tiga daerah diantaranya Kabupaten Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, dan Kabupaten Banyuasin.
Ia menjelaskan salah satu permasalahan yang masih dihadapi terkait gambut di Sumsel adalah kesesuaian antara luasan lahan gambut dengan pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat di wilayah gambut itu sendiri.
"Memang untuk mengembalikan atau memperbaiki gambut dan juga fungsinya itu tidak gampang. Apalagi, kondisi iklim yang dihadapi semakin tidak menentu," katanya.
Oleh sebab itu, katanya, untuk perbaikan gambut yang dilakukan membutuhkan perencanaan yang baik, sehingga dapat memberikan dampak yang lebih optimal.
"Maka, rencana ini perlu dipikirkan juga bagaimana gambut terjaga dengan baik, tetapi tidak mempengaruhi kehidupan masyarakat atau membuat mereka miskin," kata Supriono.
Deputi Direktur CIFOR-ICRAF Indonesia Andre Eka di Palembang, Rabu, mengatakan pelaksanaan restorasi gambut di wilayah Sumsel itu perlu dievaluasi baik dari sisi pengelolaan maupun pendanaan, dan berdasarkan data. Sebab hal itu sebagai dasar untuk perencanaan pemulihan gambut yang lebih komprehensif di masa yang akan datang.
Menurut dia, untuk merestorasi lahan gambut itu tidak lepas dari proses pemulihan ekosistem gambut yang membutuhkan usaha yang lebih serta memakan waktu yang cukup lama. Maka dari itu, evaluasi tersebut diharapkan dapat menyajikan berbagai hal seperti capaian, permasalahan, tantangan atau hambatan yang dihadapi.
"Sehingga, data-data tersebut dapat digunakan untuk melakukan perencanaan yang lebih terpadu dalam pemulihan gambut dalam jangka panjang," katanya.
Ia mengatakan dalam evaluasi itu juga difokuskan mencari potensi penyediaan pendanaan dalam upaya pemulihan gambut di Sumsel secara berkelanjutan.
Karena dalam upaya pemulihan lahan gambut itu tidak bisa hanya mengandalkan anggaran dari Pemprov Sumsel, ujarnya.
Maka, salah satu opsi sumber pendanaan yang dapat dimanfaatkan oleh Sumsel adalah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
"Perpres ini dapat digunakan oleh Pemprov Sumsel untuk mencari pendanaan dari perubahan iklim. Misalnya restorasi gambut itu dimasukkan sebagai upaya dalam pembayaran berbasis kinerja di dalam nilai ekonomi karbon," kata Andre.
Sementara itu Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Sumsel SA Supriono mengatakan luas lahan gambut di Sumsel berkisar 1.2 juta hektare yang didominasi oleh tiga daerah diantaranya Kabupaten Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, dan Kabupaten Banyuasin.
Ia menjelaskan salah satu permasalahan yang masih dihadapi terkait gambut di Sumsel adalah kesesuaian antara luasan lahan gambut dengan pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat di wilayah gambut itu sendiri.
"Memang untuk mengembalikan atau memperbaiki gambut dan juga fungsinya itu tidak gampang. Apalagi, kondisi iklim yang dihadapi semakin tidak menentu," katanya.
Oleh sebab itu, katanya, untuk perbaikan gambut yang dilakukan membutuhkan perencanaan yang baik, sehingga dapat memberikan dampak yang lebih optimal.
"Maka, rencana ini perlu dipikirkan juga bagaimana gambut terjaga dengan baik, tetapi tidak mempengaruhi kehidupan masyarakat atau membuat mereka miskin," kata Supriono.