Jakarta (ANTARA) - Pengamat Pasar Uang Ariston Tjendra mengatakan rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) karena pasar menanggapi pernyataan dua petinggi Bank Sentral AS semalam mengenai kemungkinan tidak adanya kenaikan suku bunga acuan AS.
“Ada potensi pelemahan rupiah terhadap dolar AS tertahan hari ini karena pasar menanggapi pernyataan dua petinggi Bank Sentral AS semalam, Philip Jefferson dan Lorie Logan, mengenai kemungkinan tidak adanya kenaikan suku bunga acuan AS lagi,” ujar dia ketika dihubungi ANTARA, Jakarta, Selasa.
Menurut CME FedWatch Tool, ekspektasi pasar bahwa suku bunga akan bertahan di akhir tahun terlihat meningkat dari 57 persen menjadi 74 persen.
Tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS turut mengalami penurunan, yakni tenor 10 tahun turun dari kisaran 4,8 persen ke 4,6 persen.
“Mereka (dua petinggi Bank Sentral AS) mengatakan karena kenaikan tingkat imbal hasil atau suku bunga jangka panjang belakangan ini. Ini tentu pendapat mereka pribadi. Pejabat The Fed yang lain pastinya memiliki pandangan yang berbeda,” ungkap Ariston.
Kendati demikian, peluang pelemahan rupiah pada pekan ini tetap terbuka apabila data ekonomi AS, terutama data inflasi AS yang akan dirilis pada Rabu (11/10) dan Kamis (12/10), menunjukkan kenaikan inflasi yang menjauhi level target 2 persen.
Selain itu, perang di Timur Tengah antara Hamas dari Palestina dengan Zionis Israel masih bisa mendorong pelaku pasar masuk ke aset aman dan memicu penguatan dolar AS.
“Potensi penguatan rupiah hari ini ke arah Rp15.650 per dolar AS, dengan potensi resisten di sekitar Rp15.700 per dolar AS,” ucapnya.
Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa pagi menguat sebesar 0,07 persen atau 10 poin menjadi Rp15.682 per dolar AS dari sebelumnya Rp15.692 per dolar AS.