JAKARTA (ANTARA) - Humor merupakan hiburan yang paling bisa diterima oleh semua kalangan. Di panggung stand up comedy, misalnya, humor menjadi media kritik yang menggelitik karena dikemas secara cerdas biar pun itu acap sarkas.
Kehadiran para komika muda bertalenta itu setidaknya memperbaiki selera canda kita. Semoga juga menyembuhkan para penderita kelainan humor.
“Humor adalah sesuatu yang menyebabkan rasa geli di otak dan tertawa adalah cara untuk menggaruknya”, (Wasson, 1926).
Hampir di sepanjang zaman, humor menjadi komoditas hiburan ramai peminat. Kecuali pada masa Aristoteles hingga Plato (384-348 SM) yang memandang miring humor. Kala itu humor digunakan untuk menunjukkan rasa superior seseorang dengan menertawakan orang lain karena kebodohan dan kekonyolannya sehingga dianggap amoral.
Setelahnya, pengertian humor belum juga memperoleh pandangan positif terutama pada gaya canda agresif. Pada abad ke-18, barulah para filsuf humanis dan moralis mengartikan humor lebih bersifat sosial. Lantas humor dirujuk sebagai hal-hal menghibur yang bersifat simpatik, toleran, dan penuh kebajikan terhadap ketidaksempurnaan dunia dan kelemahan sifat manusia.
Jurnalis yang juga novelis Inggris kelahiran Hongaria, Arthur Koestler, dalam buku The Act of Creation, membagi kreativitas manusia ke dalam tiga wilayah, yakni humor, pengetahuan, dan seni. Seni membuat orang takjub, ilmu pengetahuan membuat orang paham, dan humor membuat orang tertawa.
Meski berbeda fungsi, ketiga unsur itu posisinya sederajat, selain karena batasannya sering tumpang tindih, ketiganya bisa tampil pada saat bersamaan. Namun masih banyak orang belum memahami hal ini.
Dalam humor terkandung aspek psikologi, antropologi, dan sastra sehingga humor menjadi objek yang menarik untuk diteliti. Indonesia memiliki The Library of Humor Studies yang didirikan Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3). Perpustakaan humor yang terletak di Menara DDTC di Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara, itu merupakan pusat kajian humor pertama di Tanah Air.
The Library of Humor Studies memajang lebih dari 2.000 buku tentang kajian komedi. Sebagian besar dari buku-buku itu merupakan koleksi pribadi tiga pendiri IHIK3, yakni Danny Septriadi, Seno Gumira Ajidarma, dan Darminto M. Sudarmo. Danny dan Seno adalah akademikus dan peneliti kartun, humor, serta komedi di Indonesia. Adapun Darminto adalah pendiri Kelompok Kartunis Kaliwungu, yang juga mantan pemimpin redaksi majalah HumOr, majalah dwimingguan yang beredar di pasaran selama 17 tahu (1980-1997).
Untuk mengundang minat masyarakat mempelajari humor dan agar Indonesia lebih jenaka, IHIK3 giat menggelar diskusi di gedung perpustakaan humor itu maupun datang ke sekolah dan kampus-kampus.
Pesona komika
Di Indonesia, jagat kelakar terus berkembang dengan putaran tren setiap dekade. Pada era 80-an diwarnai dengan guyonan khas grup lawak Srimulat. Kemudian Warkop DKI hadir menguasai pasar humor pada dekade 90-an, yang sampai sekarang film-film lama mereka masih sering diputar ulang oleh sejumlah stasiun televisi nasional.
Pada awal 2000-an, format kelompok komedi juga masih ada di televisi. Grup tersebut antara lain adalah Cagur, Bajaj, Patrio, Bagito, serta lainnya. Nama grup yang terakhir ini cukup mencerahkan panggung humor masa itu berkat lawakan kritis nan cerdas.
Dan dalam satu dekade terakhir, dunia komedi di Indonesia diramaikan oleh kehadiran format lawak yang berbeda, yaitu stand up comedy atau komedi tunggal, dengan penampil yang kemudian disebut sebagai komika.
Para komika biasanya mengemas kegelisahan pribadi ke dalam materi komedi yang mereka usung ke atas panggung. Kegelisahan itu bisa berasal dari situasi politik nasional, fenomena gaya perkotaan, atau mengolok-olok ketertinggalan peradaban.
Komika sebagai komedian masa kini hadir menyegarkan panggung hiburan karena menawarkan bahan lawakan yang lebih bernutrisi: sarat kritik dan pesan moral. Berbagai ajang kompetisi stand up comedy di sejumlah stasiun televisi akhirnya melahirkan komika-komika muda bertalenta. Mereka menekuni profesinya dengan modal kecerdasan dan wawasan, menyiapkan penampilan dengan riset dan materi yang matang.
Komika-komika ternama telah sukses membangun pesonanya masing-masing yang menjadi karakter, ciri dan nilai jual mereka. Sebutlah Dodit Mulyanto yang menggemaskan dengan pesona cupunya, lalu ada Marshel Widianto yang menggelikan dengan pesona miskin, dan Mongol Stres yang kerap menjadikan agama sebagai modal lelucon namun tidak sampai melanggar "batas". Dari wilayah timur hadir Arie Kriting yang biasa meledek kebiasaan khas di sejumlah daerah luar Jawa untuk mengemas isu ketertinggalan.
Dalam deret komika terkemuka ada nama Cak Lontong yang menjadi langganan para pejabat. Humor cerdas Ir. Lies Hartono, lulusan Teknik Elektro ITS Surabaya, itu mengantarkannya ke panggung-panggung acara partai politik dan pemerintahan. Si ahli silogisme ini kadang membuat audiens terlambat tertawa karena lawakan absurdnya perlu dicerna otak sejenak, sejurus kemudian mereka baru terbahak-bahak.
Satu nama lagi yang tak boleh luput dalam pembahasan profil komika Indonesia adalah Kiky Saputri, si ahli mempermalukan yang telah putus urat takutnya. Perempuan mungil itu tak segan-segan “menelanjangi” objek roasting yang berada di panggungnya. Para politikus dan pejabat adalah sasaran empuk untuk memuaskan hasrat mencelanya. Meski demikian para subjek sasaran rata-rata tidak murka karena memang sang komika melontarkannya dalam gaya canda (yang cerdas dan sarkas).
Kehadiran para komika muda bertalenta di panggung hiburan Tanah Air perlahan mampu menggeser model dagelan slapstick, receh redundant yang hanya mengandalkan aksi panggung dan bukan esensi pesan moral.
Kelainan humor
Walau menghibur, humor tak selalu mendapat tempat terhormat jika tidak mengindahkan adab, norma, tatanan sosial, atau menghina kecerdasan makhluk paling sempurna di dunia. Berikut beberapa jenis humor yang dapat digolongkan sebagai kelainan.
- Julukan merendahkan. Di sekolah, kampus, atau kantor terkesan lumrah ketika seseorang memanggil teman atau rekan kerja dengan berbagai julukan yang merujuk pada kondisi fisiknya. Semisal “si gendut”, “cungkring”, “kriting”, bahkan nama aneka satwa turut disematkan sebagai panggilan akrab. Memang maksudnya sebagai candaan, namun olokan yang berkonotasi merendahkan tentu bukan hal yang baik untuk menjadi kebiasaan dan dianggap tak masalah.
- Candaan berbahaya. Kasus orang mengalami celaka karena bercanda sudah tak terhitung jumlahnya. Salah satunya oknum polisi di Sumba Barat NTT Briptu ER, tanpa sengaja menembak warga sipil yang merupakan temannya sendiri. Korban bernama Ferdinandus Lango Bili awalnya bercanda dengan mengacungkan sebilah pisau menantang tersangka untuk menembak dirinya. ER membalas tantangan korban dengan menarik pistol dari saku celana, dan dengan maksud bercanda pula, ia menembakkan senjata laras pendeknya yang ternyata benar-benar meletus dan menewaskan korban.
Contoh lain dari horseplay, seperti aksi iseng menarik kursi yang hendak diduduki teman. Korban yang jatuh terduduk dapat mengalami kelumpuhan, dan itu sudah banyak terjadi. Atau teman yang sedang berulang tahun dikerjai habis-habisan sampai diceburkan ke kolam di tengah malam yang dingin. Semua aksi bercanda yang keterlaluan bisa berakibat fatal bagi korban.
- Prank. Atau lelucon praktikal kadang diterapkan untuk hal-hal yang tidak pantas. Dulu pernah ada Youtuber di Bandung yang menuai kecaman gara-gara mengerjai seorang transgender (waria) dengan memberikan kardus sumbangan sembako tapi berisi batu bata dan sampah. Kasus prank lain yang juga dikecam banyak orang adalah menirukan adegan KDRT yang menimpa pasangan selebritas.
- Canda membawa karma. Perkataan adalah doa, maka berucaplah yang baik karena Tuhan Maha Mendengar. Di media sosial saat ini tengah ramai menggunjingkan kasus warganet yang bercanda berlebihan lalu menjadi karma di kemudian hari.
Ada yang berkata: “Aku pengin opname di RS karena makanannya enak-enak”. Keesokan harinya dia benar-benar dirawat di rumah sakit karena kecelakaan.
Pada kasus lain, seorang pria yang tengah jalan-jalan dengan kekasihnya, bergurau dengan berjalan terseok-seok menirukan cara jalan orang pincang. Setahun kemudian (2023) pria tersebut berjalan pincang menggunakan tongkat akibat kecelakaan yang dialaminya.
- Humor receh. Selera humor berkaitan dengan tingkat kecerdasan seseorang. Maka pelawak atau komedian yang menyuguhkan lelucon receh dan audiens yang terbahak-bahak oleh sesuatu yang tidak lucu, bisa jadi merupakan kelainan.
- Terkait penyakit. Penelitian tim ahli University College London yang dipublikasikan dalam jurnal Alzheimer mengungkap bahwa selera humor yang datar alias kurang lucu merupakan tanda-tanda awal penyakit demensia. Dalam tingkat yang lebih parah, calon penderita demensia lebih menyukai komedi yang gelap dan tidak normal. Ternyata, gejala demensia tidak melulu kepikunan tetapi juga pergeseran selera humor.
Strategi koping
Laughter is the best medicine, sebab saat tertawa tubuh akan melepas hormon endorfin yang bisa membuat suasana hati menjadi lebih baik. Perspektif lucu dalam menghadapi kesulitan dapat meringankan segala beban dalam kehidupan.
Bahagia itu hanya persoalan perspektif, apa pun kondisinya bila seseorang memiliki cara pandang dan cara memilih rasa yang positif, dia tidak punya waktu untuk meratap. Pada tingkat ahli, bahkan seseorang mampu menertawakan kenestapaan yang menimpanya.
Bisa berdamai dengan kenyataan pahit serta mengubahnya menjadi lelucon adalah kemampuan yang tidak mudah.
Orang dengan rasa humor yang tinggi kemungkinan lebih mampu mengatasi tekanan hidup, lebih cair dalam bersosialisasi, dan koping terhadap penyakit yang dideritanya.
Jadi, perbanyaklah tertawa agar hidup terasa ringan dan menyenangkan. Untuk menghadirkan banyak tawa, sekarang ini panggung komedi digelar di mana-mana. Bisa jadi, itu pertanda bangsa Indonesia kian jenaka.