Jakarta (ANTARA) - Belasan angkutan kota (angkot) berwarna biru dan hijau yang melayani rute Citeureup-Pasar Anyar, maupun Cibinong-Cileungsi, silih berganti mengantre di stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Salah satu yang mengantre di SPBG yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Monumen Selamat Datang, salah satu ikon Jakarta, itu adalah angkot yang dikendarai Muhammad Ilham, sopir berusia 30 tahun.
Selama mengantre di SPBG yang terletak di Citeureup, Kabupaten Bogor, tampak seorang petugas SPBG berseragam biru tua bersiaga untuk memasang selang pengisian bahan bakar gas (BBG). Mencabut selang, maupun menagih uang bayaran yang sesuai dengan pengisian BBG menjadi kegiatan petugas tersebut, termasuk kepada angkot Ilham.
Ilham mengisi angkotnya sebanyak 6,96 liter setara premium (LSP) gas atau seharga Rp32 ribu setelah melakukan perjalanan dari Tajur, Kota Bogor, menuju Citeureup. Usai mengisi gas, Ilham memutuskan untuk menuntaskan satu rit atau satu perjalanan bolak-balik dengan pergi ke arah Pasar Anyar, Bogor.
Awal perjalanan, ia bercerita bahwa dia telah memakai BBG sejak 2014. Dalam kurun waktu kurang lebih sembilan tahun, Ilham mengaku merasakan manfaat dari penggunaan BBG, salah satunya menghemat biaya operasional.
Untuk perjalanan satu rit menggunakan bahan bakar minyak (BBM) menghabiskan biaya sebesar Rp90 ribu, yang per liter dihargai Rp10 ribu. Namun, jika menggunakan BBG hanya mengeluarkan Rp32 ribu, atau dikenakan Rp4.500 per liter. Dengan kata lain, menghemat 64,4 persen biaya operasional.
Angkot yang sedang dikendarai Ilham memiliki konverter kit bensin ke gas, serta memiliki satu tabung BBG yang dapat menampung 12 LSP gas. Satu tabung dapat digunakan untuk dua rit.
Ilham merupakan salah satu pengguna bahan bakar gas bermerek Envogas, milik PT Pertamina (Persero), yang diluncurkan pada 6 Desember 2012 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di Jakarta.
Komitmen pemerintah
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan sejumlah regulasi yang mengatur penggunaan BBG. Regulasi itu di antaranya Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 6 Tahun 2016 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi, yang salah satu isinya mengatur pemanfaatan gas bumi untuk sektor transportasi.
Kemudian, Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2017 tentang Percepatan Pemanfaatan Bahan Bakar Gas untuk Transportasi Jalan. Permen tersebut mewajibkan penyalur BBM berupa stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang berada di daerah tertentu untuk menyediakan sarana pengisian BBG paling sedikit satu dispenser.
Selain itu, Keputusan Menteri Nomor 82 Tahun 2022 tentang Harga Jual Bahan Bakar Gas yang Digunakan untuk Transportasi. Peraturan ini menetapkan harga terkini 1 LSP sebesar Rp4.500.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji, menjelaskan bahwa pemerintah menyadari pentingnya diversifikasi atau alternatif bahan bakar kendaraan. Pemerintah menilai diversifikasi dapat membantu mengurangi ketergantungan pada impor, dan mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan di Indonesia.
Pemerintah juga melihat perlunya pengurangan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil konvensional seperti bensin dan diesel yang berdampak negatif kepada lingkungan. Apalagi terbatasnya ketersediaan sumber daya tersebut di alam.
Adanya alternatif bahan bakar kendaraan, seperti BBG, dapat membuat negara bergerak menuju sumber daya energi yang berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Pemanfaatan BBG juga sejalan dengan upaya mengurangi emisi gas rumah kaca, dan merespons perubahan iklim global.
Di sisi lain, pemanfaatan BBG sebagai salah satu upaya diversifikasi penggunaan BBM sangat berpotensi untuk meningkatkan perekonomian nasional. Oleh sebab itu, pemanfaatan BBG untuk transportasi jalan tetap dipertahankan sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2015.
Perpres Nomor 125 Tahun 2015 merupakan perubahan atas Perpres Nomor 64 Tahun 2012 yang mengatur tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Bahan Bakar Gas untuk Transportasi Jalan.
Sementara pemanfaatan gas bumi untuk sektor transportasi juga termasuk prioritas dalam pengalokasian gas bumi, mengacu pada Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 6 Tahun 2016 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi. Salah satu isinya mengatur pemanfaatan gas bumi untuk sektor transportasi.
Untuk sektor transportasi, pemerintah saat ini fokus mengoptimalkan SPBG yang sudah ada. Kementerian ESDM mencatat saat ini terdapat 62 SPBG dan Mobile Refueling Unit (MRU), dengan rincian 47 dibangun dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Pertamina, serta 15 dibuat PT Perusahaan Gas Negara (PGN).
Selain itu, pemerintah fokus mengupayakan pemanfaatan BBG untuk kendaraan-kendaraan besar, seperti truk yang mempunyai jalur tetap. Terlebih, teknologi baterai atau kendaraan listrik belum tersedia untuk kendaraan besar.
Dalam upayanya meningkatkan pemanfaatan BBG untuk transportasi jalan, pemerintah turut bekerja sama dengan pemerintah daerah (pemda) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Salah satunya adalah kerja sama dengan Pemerintah Kota Semarang, dengan merevitalisasi SPBG Kaligawe, Mangkang, dan Penggaron, untuk menyuplai BBG bus Trans Semarang.
Pemerintah juga sedang dalam tahap uji coba penggunaan BBG untuk kendaraan pengangkut BBM Pertamina Patra Niaga, yang “pilot project”-nya dilakukan di terminal bahan bakar minyak (TBBM) Plumpang.
Sementara pengembangan pemanfaatan BBG diprioritaskan pemerintah pada lokasi yang sudah mempunyai infrastruktur SPBG atau gas, seperti Jakarta, Palembang, Surabaya, Balikpapan, maupun wilayah yang secara keekonomian memungkinkan.
Khusus konversi kendaraan, targetnya di antaranya adalah kendaraan dinas, truk logistik, truk pengangkut sampah, truk pertambangan, serta angkutan umum yang dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMD). Adapun saat ini, program konversi yang sudah berjalan antara lain dengan penyediaan konverter kit kendaraan maupun konverter kit bagi nelayan dan petani.
Berikutnya, pemerintah memonitor pemanfaatan BBG dengan cara pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha yang memiliki izin usaha niaga BBG, seperti mengunjungi fasilitas SPBG secara sampling untuk evaluasi harga BBG. Selain itu, badan usaha secara berkala turut melaporkan realisasi penyaluran BBG kepada Ditjen Migas Kementerian ESDM.
Kendati demikian, keselarasan antara pasokan dengan permintaan BBG tetap diperlukan, baik dari segi teknis maupun kebijakan pemerintah pusat dan pemda. Hal tersebut perlu agar BBG yang sudah dialokasikan dapat terserap secara optimal.
Selain itu, menjadi tugas bersama antara pusat dan daerah untuk menciptakan permintaan, dan mengawal percepatan pemanfaatan BBG agar menjadi salah satu sumber energi alternatif selain BBM. Terlebih, terciptanya emisi nol pada 2060 juga menjadi agenda penting yang harus terus diupayakan oleh berbagai pihak.
Dukungan industri
Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, mengungkapkan saat ini Pertamina memiliki 20 SPBG dengan BBG yang disediakan berjumlah 630.000 LSP per harinya. Adapun saat ini konsumen terbesar BBG adalah sektor transportasi publik, dan DKI Jakarta menjadi daerah yang menggunakan BBG terbanyak.
Kendati demikian, komitmen dalam penyediaan energi bersih yang ramah lingkungan membuat Pertamina tetap mempertahankan ketersediaan BBG untuk masyarakat, terutama mendukung program pemerintah guna mendiversifikasi energi, serta sejalan dengan peta jalan menuju terciptanya emisi nol pada 2060.
Penambahan SPBG juga dipertimbangkan oleh Pertamina. Apalagi sejak 2012, adanya aturan pemerintah yang mewajibkan transportasi publik menggunakan BBG, turut mendorong peningkatan daya beli dan konsumsi BBG.
Selain Pertamina, PT PGN melalui afiliasinya PT Gagas Energi Indonesia (Gagas) menyediakan BBG dengan merek “Gasku”, dan mengoperasikan 11 SPBG yang tersebar di provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Lampung, hingga Kepulauan Riau.
Kepala Departemen Legal and Corporate Support Gagas, Irlita Findyasari mengatakan, selama 3 tahun terakhir, rata-rata pengguna harian BBG di SPBG yang dikelolanya mencapai 1.943 kendaraan per hari yang didominasi transportasi umum.
Sementara total penyaluran BBG pada 2022 adalah sebesar 9,8 juta meter kubik per tahun atau sekitar 0,94 billion british thermal unit per day (BBTUD).
BBG diperkenalkan oleh pemerintah sejak 1986, dan mulai diintensifkan melalui program Langit Biru pada 1992. Lalu, pada Mei 2012, kembali digalakkan oleh Presiden SBY dengan mengeluarkan lima kebijakan penghematan BBM dan listrik, yang salah satu kebijakannya adalah konversi BBM ke BBG untuk transportasi sebagai upaya mengurangi ketergantungan BBM.
Sebagai langkah awal, pemerintahan membagikan sebanyak 15.000 konverter kit kepada angkutan umum secara bertahap, serta menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2012.
Selanjutnya, pada 6 Desember 2012 di Jakarta, Presiden SBY bersama Pertamina meluncurkan Pertamina Envogas untuk memenuhi kebutuhan BBG masyarakat. Sementara pada 24 Desember 2013, SPBG perdana milik PT Perusahaan Gas Negara atau PGN (Persero) secara resmi hadir di Kota Bekasi, Jawa Barat.
Upaya-upaya yang terus digulirkan pemerintah dalam pemanfaatan bahan bakar gas di Tanah Air itu diharapkan dapat menjadi akselerasi penggunaan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan ini, sehingga dalam jangka panjang akan mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat. Apalagi, penyediaan komoditas tersebut bersumber dari dalam negeri, dan infrastruktur distribusinya juga telah tersedia serta siap digunakan.