Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyebut love scamming atau penipuan berkedok asmara dapat dikategorikan ke dalam Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), karena biasanya pelaku menjalankan aksinya melalui media sosial atau aplikasi percakapan online.
"Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pelaku kekerasan berbasis gender online bisa diancam masuk penjara paling lama empat tahun, kemudian dikenakan denda sebanyak Rp200 juta rupiah," kata Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian PPPA Eni Widiyanti dalam keterangan, Jakarta, Sabtu.
Ia mengatakan apabila kekerasan seksual berbasis elektronik tersebut dilakukan dengan maksud untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa, atau menyesatkan, dan/atau memperdaya, seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp300 juta.
Pihaknya mengingatkan agar para perempuan lebih meningkatkan kewaspadaannya agar tidak menjadi korban penipuan love scamming.
Sejumlah hal yang bisa dilakukan, kata dia, diantaranya dengan tidak mudah percaya pada orang yang belum dikenal dan tidak mudah percaya pada rayuan. Kemudian dengan lebih detil mencari profil maupun latar belakang seseorang sebelum menjalin hubungan dekat, dan tidak menyebarkan informasi pribadi, apalagi sampai mengirimkan uang.
"Harus lebih meningkatkan kewaspadaan agar jangan sampai menjadi korban penipuan ini. Pelaku biasanya hanya akan menggunakan media sosial atau aplikasi percakapan dalam berkomunikasi, selalu beralasan untuk tidak mau melakukan video call, telepon, apalagi bertemu di dunia nyata, identitas online palsu, terlalu cepat mengatakan cinta hingga mengajak ke jenjang lebih serius, dan selalu memiliki alasan darurat membutuhkan uang," katanya.
"Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pelaku kekerasan berbasis gender online bisa diancam masuk penjara paling lama empat tahun, kemudian dikenakan denda sebanyak Rp200 juta rupiah," kata Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian PPPA Eni Widiyanti dalam keterangan, Jakarta, Sabtu.
Ia mengatakan apabila kekerasan seksual berbasis elektronik tersebut dilakukan dengan maksud untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa, atau menyesatkan, dan/atau memperdaya, seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp300 juta.
Pihaknya mengingatkan agar para perempuan lebih meningkatkan kewaspadaannya agar tidak menjadi korban penipuan love scamming.
Sejumlah hal yang bisa dilakukan, kata dia, diantaranya dengan tidak mudah percaya pada orang yang belum dikenal dan tidak mudah percaya pada rayuan. Kemudian dengan lebih detil mencari profil maupun latar belakang seseorang sebelum menjalin hubungan dekat, dan tidak menyebarkan informasi pribadi, apalagi sampai mengirimkan uang.
"Harus lebih meningkatkan kewaspadaan agar jangan sampai menjadi korban penipuan ini. Pelaku biasanya hanya akan menggunakan media sosial atau aplikasi percakapan dalam berkomunikasi, selalu beralasan untuk tidak mau melakukan video call, telepon, apalagi bertemu di dunia nyata, identitas online palsu, terlalu cepat mengatakan cinta hingga mengajak ke jenjang lebih serius, dan selalu memiliki alasan darurat membutuhkan uang," katanya.