Jakarta (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengatakan krisis iklim semakin nyata membuat kota-kota besar merasakan suhu panas dan beberapa daerah pesisir mulai tenggelam, sehingga butuh mitigasi perubahan iklim dengan mengurangi pelepasan karbon.
"Penyebab utama bumi semakin panas adalah pelepasan karbon yang berlebihan, sehingga bumi tidak mampu menyerapnya. Maka solusinya mengurangi pelepasan karbon," ujar Deputi Internal Walhi Muhammad Islah pada diskusi perdagangan karbon di Jakarta, Jumat.
Selama tiga abad terakhir, lanjutnya, umat manusia telah melepaskan karbon dengan jumlah yang sangat besar melebihi kemampuan bumi untuk menyerap.
Ketika karbon yang dilepas terlalu besar dan bumi tidak mampu menyerapnya, maka jumlah karbon yang besar tersebut menyelubungi bumi menyebabkan panas matahari terhalang yang disebut efek rumah kaca.
"Proses pelepasan karbon yang sangat besar terjadi dalam 300 tahun terakhir dan para ahli menyebutnya pasca-revolusi industri, yaitu proses semakin cepat dan kerusakan juga semakin cepat kita rasakan," ucapnya.
Islah menyoroti negara-negara industri yang enggan menurunkan produksi demi mengurangi emisi karbon. Bila negara-negara maju itu masih berproduksi, kata dia, maka emisi tidak akan berkurang karena karbon terus dihasilkan dari mesin-mesin industri mereka.
Sementara itu negara-negara dunia ketiga diminta untuk tidak melakukan ekstraksi terhadap alam dengan tidak melakukan penebangan hutan, tidak melalukan penambangan, dan berbagai larangan lainnya.
Perbedaan itu lantas melahirkan proses tukar guling antara negara-negara maju dengan negara-negara dunia ketiga. Inilah yang biasa orang menyebutnya mekanisme offset.
Bagi Walhi, proses offset dalam perdagangan karbon menjadi salah satu hal yang sangat menyesatkan karena offset tidak bisa menghambat pemanasan global.
"Kenapa demikian? karena emisi yang dikeluarkan oleh industri tidak berkurang. Proses penciptaan barang-barang tidak berkurang, terus-menerus terjadi, dan terus-menerus semakin masif, maka konsumen juga akan terus-menerus mengkonsumsi lebih besar daripada yang dia butuhkan," katanya.
Mekanisme pasar karbon telah menempatkan karbon sebagai komoditas dagang. Para pemilik modal yang memiliki sumber daya besar dapat menguasai hutan-hutan dalam jangka panjang hanya demi mesin-mesin industri mereka tetap menyala dan berproduksi.
Mekanisme offset pasar karbon, menurutnya, berpotensi menghancurkan wilayah yang menjalankan berbagai kegiatan industri, lalu membayar uang kepada para penjaga hutan sebagai alat penebus dosa mereka.
Sementara itu, lanjutnya, hak-hak masyarakat yang berada di wilayah industri tersebut dalam posisi yang sangat mengerikan dan menderita karena alam mereka yang rusak akibat aktivitas industri.
"Kita membayar untuk bernafas dan menurut saya ini paling mengerikan," ujar Islah.