Banda Aceh (ANTARA) - Psikolog anak Endang Setianingsih menyatakan bahwa permainan game dengan konten kekerasan yang dimainkan oleh anak atau remaja bisa berdampak pada emosi hingga mentalnya, sehingga mereka terbiasa dengan yang dimainkan.
"Game konten kekerasan paling senang dimainkan. Game yang dimainkan ini bisa berdampak pada aspek emosi atau mental remaja, sehingga terbiasa dengan hal-hal yang sering di mainkan melalui game," kata Endang Setianingsih, di Banda Aceh, Rabu.
Hal tersebut dijelaskan Endang merespon fenomena adanya dugaan kelompok remaja di Banda Aceh atau gangster yang mulai melakukan kegiatan tawuran di ibu kota provinsi Aceh itu.
Game konten kekerasan, kata Endang, menjadi sarana melampiaskan keresahan para remaja, dan tentu berdampak pada perilaku mereka sehari-hari seperti sikap agresif yang ditunjukan.
"Mereka juga bisa memiliki sifat yang temperamen tinggi, serta mudah terpicu hal yang dapat menimbulkan masalah sosial," ujarnya.
Endang menyampaikan, usia remaja merupakan fase di mana mereka ingin mencari identitas diri dan berusaha memahami bagaimana peran yang harus dilakukan.
Di mana, mereka ingin dianggap sudah dewasa atau ingin diakui eksistensinya. Untuk memperoleh itu tentunya para remaja melakukan tindakan yang mengarah pada aksi-aksi kekerasan, tawuran dan lain sebagainya. Artinya usia remaja sangat rentan terpengaruh.
Endang menuturkan, terjadinya bentukan kelompok remaja juga dipengaruhi pola asuh orang tua yang tidak tepat. Kurangnya pengontrolan, hingga perhatian orang tua.
Sehingga, mereka ingin mencari identitas diri dan perhatian lingkungan luar yang bisa membuat remaja bebas bercerita menyampaikan keinginan dan keresahan bersama teman di tempat tongkrongan.
"Kalau lingkungannya positif maka remaja akan menyalurkan energi yang positif, tetapi bila negatif, maka bisa menjadi masalah sosial," katanya.
Kemudian, lanjut Endang, kurangnya pengawasan lingkungan juga membuat remaja mudah melanggar norma atau aturan di masyarakat. Seakan-akan apa yang dilakukan remaja bukan urusan masyarakat lainnya sehingga tak perlu diurus.
Sebagai solusi terhadap masalah remaja ini, Endang menuturkan bahwa keluarga merupakan madrasah pertama bagi anak, sehingga orang tua dan peran ayah harus difungsikan, berikan kasih sayang yang dibutuhkan anak.
"Orang tua harus menjadi sumber perhatian sekaligus sebagai tempat curhat yang nyaman buat anak, bukan di luar rumah, dan harus mampu menjadi teladan buat anak-anaknya," ujarnya.
Selain itu, tambah Endang, dunia pendidikan juga perlu membangun koordinasi dengan orang tua dan guru terkait perkembangan dan pergaulan anak, langkah ini bisa membantu mendeteksi dini arah pergaulan anak.
"Pentingnya melibatkan anak atau remaja dalam program -program yang positif," demikian Endang Setianingsih.
"Game konten kekerasan paling senang dimainkan. Game yang dimainkan ini bisa berdampak pada aspek emosi atau mental remaja, sehingga terbiasa dengan hal-hal yang sering di mainkan melalui game," kata Endang Setianingsih, di Banda Aceh, Rabu.
Hal tersebut dijelaskan Endang merespon fenomena adanya dugaan kelompok remaja di Banda Aceh atau gangster yang mulai melakukan kegiatan tawuran di ibu kota provinsi Aceh itu.
Game konten kekerasan, kata Endang, menjadi sarana melampiaskan keresahan para remaja, dan tentu berdampak pada perilaku mereka sehari-hari seperti sikap agresif yang ditunjukan.
"Mereka juga bisa memiliki sifat yang temperamen tinggi, serta mudah terpicu hal yang dapat menimbulkan masalah sosial," ujarnya.
Endang menyampaikan, usia remaja merupakan fase di mana mereka ingin mencari identitas diri dan berusaha memahami bagaimana peran yang harus dilakukan.
Di mana, mereka ingin dianggap sudah dewasa atau ingin diakui eksistensinya. Untuk memperoleh itu tentunya para remaja melakukan tindakan yang mengarah pada aksi-aksi kekerasan, tawuran dan lain sebagainya. Artinya usia remaja sangat rentan terpengaruh.
Endang menuturkan, terjadinya bentukan kelompok remaja juga dipengaruhi pola asuh orang tua yang tidak tepat. Kurangnya pengontrolan, hingga perhatian orang tua.
Sehingga, mereka ingin mencari identitas diri dan perhatian lingkungan luar yang bisa membuat remaja bebas bercerita menyampaikan keinginan dan keresahan bersama teman di tempat tongkrongan.
"Kalau lingkungannya positif maka remaja akan menyalurkan energi yang positif, tetapi bila negatif, maka bisa menjadi masalah sosial," katanya.
Kemudian, lanjut Endang, kurangnya pengawasan lingkungan juga membuat remaja mudah melanggar norma atau aturan di masyarakat. Seakan-akan apa yang dilakukan remaja bukan urusan masyarakat lainnya sehingga tak perlu diurus.
Sebagai solusi terhadap masalah remaja ini, Endang menuturkan bahwa keluarga merupakan madrasah pertama bagi anak, sehingga orang tua dan peran ayah harus difungsikan, berikan kasih sayang yang dibutuhkan anak.
"Orang tua harus menjadi sumber perhatian sekaligus sebagai tempat curhat yang nyaman buat anak, bukan di luar rumah, dan harus mampu menjadi teladan buat anak-anaknya," ujarnya.
Selain itu, tambah Endang, dunia pendidikan juga perlu membangun koordinasi dengan orang tua dan guru terkait perkembangan dan pergaulan anak, langkah ini bisa membantu mendeteksi dini arah pergaulan anak.
"Pentingnya melibatkan anak atau remaja dalam program -program yang positif," demikian Endang Setianingsih.