Jakarta (ANTARA) - Komite Pusat Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT) menyoroti harga alat bantu dengar bagi penyandang tuna rungu di Indonesia yang masih relatif mahal.
"Rangkaian penanganan tuli kongenital ada missing link dalam penanganannya, yaitu alat implan Koklea yang diperlukan untuk bayi lahir tuli berat, belum disediakan pemerintah maupun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)," kata Kepala Komite PGPKT Damayanti Soetjipto dalam Konferensi Pers Hari Pendengaran Sedunia 2023 yang diikuti dalam jaringan di Jakarta, Rabu.
Implan Koklea merupakan alat bantu dengar berbasis elektronik canggih yang ditanamkan ke dalam rongga kepala.
Damayanti mengatakan harga alat tersebut sekitar Rp200 juta di pasaran. "Tapi, di luar negeri seperti Malaysia, alat itu sudah ditanggung pemerintah," katanya.
Ia mengatakan alat tersebut saat ini sangat dibutuhkan untuk menangani bayi baru lahir dengan risiko tuna rungu dalam mengatasi masalah pendengaran.
Namun, harga yang relatif mahal di pasaran, membuat mayoritas keluarga tidak mampu kesulitan mengakses alat tersebut.
"Terpaksa anak ini (tuna rungu) tidak bisa memakai alat bantu dengar yang sesuai, sehingga dia terpaksa telantar dan jadi anak tuna rungu, tuna wicara dengan masa depan yang gemilang," katanya.
Damayanti melaporkan saat ini sekitar 5.200 anak di Indonesia terlahir dengan risiko tidak bisa mendengar, sehingga perlu menjadi perhatian pemerintah.
Pada acara yang sama, Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala Leher Indonesia (PERHATI-KL), Yussy Afriani Dewi mengatakan pemerintah masih memberlakukan dana subsidi senilai Rp1 juta per alat untuk membantu masyarakat memperoleh alat bantu dengar. Sisanya ditanggung pasien.
"Alat bantu dengar memang relatif mahal," katanya.
PERHATI-KL bersama sejumlah peneliti telah melakukan kajian terhadap alat bantu dengar yang masuk dalam skema pembiayaan BPJS Kesehatan masih jauh dari standar.
"Dampaknya, alat bantu dengar jadi kurang enak dipakai pasien, tidak nyaman, sehingga sangat disayangkan banyak pengguna dari kalangan pasien yang melepas alat tersebut," katanya.
Yussy mengatakan alat bantu dengar di pasaran masih relatif mahal, sebab belum diproduksi di Indonesia. Mayoritas yang beredar saat ini masih produk impor.
"Rangkaian penanganan tuli kongenital ada missing link dalam penanganannya, yaitu alat implan Koklea yang diperlukan untuk bayi lahir tuli berat, belum disediakan pemerintah maupun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)," kata Kepala Komite PGPKT Damayanti Soetjipto dalam Konferensi Pers Hari Pendengaran Sedunia 2023 yang diikuti dalam jaringan di Jakarta, Rabu.
Implan Koklea merupakan alat bantu dengar berbasis elektronik canggih yang ditanamkan ke dalam rongga kepala.
Damayanti mengatakan harga alat tersebut sekitar Rp200 juta di pasaran. "Tapi, di luar negeri seperti Malaysia, alat itu sudah ditanggung pemerintah," katanya.
Ia mengatakan alat tersebut saat ini sangat dibutuhkan untuk menangani bayi baru lahir dengan risiko tuna rungu dalam mengatasi masalah pendengaran.
Namun, harga yang relatif mahal di pasaran, membuat mayoritas keluarga tidak mampu kesulitan mengakses alat tersebut.
"Terpaksa anak ini (tuna rungu) tidak bisa memakai alat bantu dengar yang sesuai, sehingga dia terpaksa telantar dan jadi anak tuna rungu, tuna wicara dengan masa depan yang gemilang," katanya.
Damayanti melaporkan saat ini sekitar 5.200 anak di Indonesia terlahir dengan risiko tidak bisa mendengar, sehingga perlu menjadi perhatian pemerintah.
Pada acara yang sama, Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala Leher Indonesia (PERHATI-KL), Yussy Afriani Dewi mengatakan pemerintah masih memberlakukan dana subsidi senilai Rp1 juta per alat untuk membantu masyarakat memperoleh alat bantu dengar. Sisanya ditanggung pasien.
"Alat bantu dengar memang relatif mahal," katanya.
PERHATI-KL bersama sejumlah peneliti telah melakukan kajian terhadap alat bantu dengar yang masuk dalam skema pembiayaan BPJS Kesehatan masih jauh dari standar.
"Dampaknya, alat bantu dengar jadi kurang enak dipakai pasien, tidak nyaman, sehingga sangat disayangkan banyak pengguna dari kalangan pasien yang melepas alat tersebut," katanya.
Yussy mengatakan alat bantu dengar di pasaran masih relatif mahal, sebab belum diproduksi di Indonesia. Mayoritas yang beredar saat ini masih produk impor.