Palembang, Sumatera Selatan (ANTARA) - Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan berharap jumlah produksi sampah organik rumah tangga di daerah itu bisa ditekan secara efektif setelah ditemukan inovasi pupuk "biowash".
Kepala DLH Kabupaten Banyuasin Izromaita, kepada wartawan di Banyuasin, Sumatera Selatan, Selasa, mengatakan pupuk biowash adalah pupuk cair berbahan dasar sampah organik rumah tangga, seperti sisa makanan, berupa nasi basi, tulang, daging ikan dan daun pisang, akar tanaman semacamnya.
Pupuk cair organik biowash tersebut dikembangkan secara mandiri oleh warga Desa Talang Buluh, Kecamatan Talang Kelapa, Banyuasin satu tahun terakhir memanfaatkan bidang tanah kurang dari satu hektar di daerah setempat.
Menurut dia, keilmuan membuat pupuk tersebut didapatkan warga atas bimbingan penggiat pertanian Indonesia dalam pengawasan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi dan Kabupaten Banyuasin.
“Hasilnya sudah sekitar 70 ton sampah yang diolah menjadi pupuk biowash, yang per liternya bisa membantu penyuburan tanaman hingga belasan hektar,” kata dia.
Selain bermanfaat untuk produksi pertanian, dia menyebutkan, kegiatan pembuatan pupuk ini juga dinilai efektif untuk menekan sekitar 20-30 persen jumlah produksi sampah di Kabupaten Banyuasin.
Untuk diketahui, Pemerintah Kabupaten Banyuasin mencatat jumlah produksi sampah organik rumah tangga di kabupaten setempat cukup tinggi mencapai 400 ton per hari, pada tahun 2022.
“Pupuk ini besar manfaatnya, sekaligus solusi mengatasi sampah. Pemerintah berencana supaya hal tersebut bisa dikembangkan sedemikian rupa, lebih banyak lagi warga yang mengkonversi sampah jadi pupuk,” ujarnya, disela peringatan Hari Peduli Sampah Nasional 2023.
Sementara itu, penggiat pertanian Ivonne, menjelaskan pemanfaatan pupuk biowash sangatlah sederhana dan bisa dilakukan oleh masyarakat secara mandiri di lahan pekarangan rumah masing-masing.
Berdasarkan pengalamannya sejak tahun 2020, untuk mengkonversi sampah menjadi pupuk Biowash itu hanya butuh waktu selama sekitar tiga hari.
Dalam proses tersebut, menurut dia, sampah sampah organik rumah tangga seperti kulit buah dan sisa makanan ditebarkan di sebuah lahan untuk kemudian difermentasi bersama campuran air dan bahan khusus pupuk dengan perbandingan 1:3.
“Tidak ada bau sama sekali bahkan salam waktu 1 detik sampah itu menjadi cairan yang kemudian menjadi pupuk dalam media tanah. Butuh waktu tiga hari untuk dapat hasil sempurna,” kata dia, pupuk ini tidak ada masa kadaluarsa dan bisa digunakan untuk semua jenis tanaman dengan cara disiram dua kali sepekan.
Menurut dia, sebenarnya pupuk ini sudah dimanfaatkan oleh masyarakat desa di Pulau Jawa dan Sumatera sejak 20 tahun lalu untuk menyuburkan tanaman.
Hanya saja karena sebagian besar masyarakat menganggap proses pembuatannya rumit sehingga belakangan ini lebih memilih menggunakan pupuk tinggal pakai, yakni kimia yang sudah banyak dipasarkan.
“Perspektif masyarakat itu kita ubah, kita ajak mereka praktik langsung dan ternyata sederhana sekali dan ongkosnya pun murah memanfaatkan sampah. Kelebihannya tanah menjadi lebih subur ketimbang pupuk kimia,” tandasnya.