Palembang (ANTARA) - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hingga kini masih menjadi ancaman di sejumlah daerah di Tanah Air, khususnya saat musim kemarau.
Meski Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim luas areal karhutla menurun signifikan dalam enam tahun atau sejak karhutla hebat pada 2015, tapi zero karhutla belum bisa dicapai hingga kini.
Indonesia pun secara simultan memperbaiki sistem penanggulangannya. Kini, negara yang memiliki 22,2 juta hektare lahan gambut (berdasarkan data Global Wetlands yang diakses pada 16 April 2019) menilai perlu adanya standardisasi dalam penanganan karhutla yang dapat menjadi acuan semua pihak.
Kepala Pusat Standardisasi Instrumen Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim KLHK Kirsfianti Linda Ginoga mengatakan negara membutuhkan standardisasi yang berlaku secara umum sehingga dapat menjadi acuan dasar para pelaku usaha di bidang perkebunan dan kehutanan.
KLHK kini mengumpulkan input dari berbagai pihak terkait, mulai dari perusahaan, asosiasi, akademisi, lembaga sosial kemasyarakatan, hingga masyarakat untuk membuat buku panduan bersama dalam penanganan karhutla.
Ia yang dijumpai dalam diskusi bertema “Peran para pihak dalam mendukung penerapan standard instrumen pengendalian karhutla di tingkat tapak” di Palembang, Selasa, mengatakan pembuatan standardisasi ini akan mengedepankan norma-norma yang berlaku di masyarakat dalam pemanfaatan dan perlindungan lingkungan.
Dari norma-norma itu akan mengerucut menjadi pedoman yang bisa diterima oleh semua pihak sehingga Indonesia dapat mengejar target net zero carbon pada 2060.
Tapi patut digarisbawahi bahwa standardisasi ini dituntut detail dan dinamis karena seiring dengan kemajuan teknologi dalam upaya penanganan karhutla di Tanah Air.
“Kami sangat menyadari itu seperti penggunaan drone untuk memantau areal perkebunan. Dulu belum ada, dan kini hampir digunakan semua perusahaan,” kata dia.
Oleh karena itu, ia tak menyangkal bahwa pembuatan standardisasi ini bakal memakan waktu yang relatif lama. Meski demikian, pada tahun ini pihaknya menargetkan sudah bisa melahirkan panduan secara umum.
Sementara itu, Ketua Bidang Komunikasi dan Publikasi Kampanye Positif Gapki Sumsel Anung Riyanta mengatakan sebenarnya pemerintah sudah banyak mengeluarkan peraturan terkait penanganan karhutla, termasuk mengenai standardisasi penyediaan sarana dan prasarana, standardisasi perizinan, dan lainnya.
Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 32 Tahun 2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan bahkan sudah dijelaskan secara detail mengenai kewajiban sarana dan prasarana yang harus disiapkan perusahaan usaha perkebunan dan kehutanan.
Namun, ia sepakat jika harus dibuat standardisasi yang berlaku untuk semua sektor yang bersifat dinamis atau mengikuti kemajuan teknologi.
“Seperti di menara api, dulu itu tidak ada drone-nya, tapi sekarang sudah pakai semua. Jika mau dimasukkan sebagai standardisasi, ya mungkin bisa tapi bagaimana ketentuan lainnya seperti berapa luas minimal lahannya,” kata dia.
Sementara itu, Fire Operation Management APP Sinarmas Wilayah Ogan Komering Ilir (OKI) Mares Prabadi mengatakan pihaknya kini bukan hanya melengkapi sarana dan prasarana sesuai peraturan pemerintah tapi telah menerapkan teknologi terkini dalam penanganan karhutla.
Melalui Strategi Penanggulangan Kebakaran Hutan Terpadu (Integrated Fire Management/ IFM), kini perusahaan-perusahaan mitra APP sudah menggunakan tiga drone UAV Fixed Wing Flying Dragon untuk memantau lokasi-lokasi yang sulit dijangkau hingga radius 10 kilometer dari stasiun pemantau.
Sebanyak tiga drone ini juga diterbangkan setiap hari layaknya helikopter patroli tapi dikhususkan untuk menjangkau wilayah tertentu yang tidak terawasi oleh helikopter patroli.
Perusahaan yang menjadi mitra APP Sinar Mas diwajibkan menerapkan strategi deteksi dini dengan memanfaatkan beragam sumber daya, di antaranya satelit dan perangkat Authomatic Weather System (AWS), menara api, pos pantau dan pos taktis, dan Regu Pemadam Kebakaran (RPK) untuk satgas darat dan udara.
Respons positif
Peneliti lembaga nonprofit World Agroforestry (Icraf) merespons positif rencana pemerintah untuk melahirkan standardisasi penanganan karhutla.
Saat ini dunia sedang dihadapkan pada tantangan perubahan iklim yakni krisis lingkungan dan krisis pangan, tak terkecuali Sumatera Selatan yang memiliki areal gambut dengan luas mencapai satu juta hektare.
Perubahan yang terjadi, seperti pengalihan fungsi gambut lindung menjadi gambut budi daya tentunya akan berpengaruh bagi lingkungan.
Alih fungsi itu terjadi di Sumsel sehingga daerah ini dipastikan menghadapi tantangan perubahan iklim akibat penurunan daya dukung lingkungan.
Oleh karena itu, Icraf yang memiliki sejumlah program di Sumsel “Land4lives” mendorong para pengambil kebijakan menyusun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) yang ditargetkan selesai pada 2022.
Unit Drone UAV Fixed Wing Flying Dragon ditampilkan pada gelar sarana dan prasarana persiapan menghadapi bencana karhutla 2022 di Griya Agung, Palembang, Rabu (21/6/2022). (ANTARA/Dolly Rosana)
Selain itu, Icraf juga turut ambil bagian dalam memberikan masukan kepada pemerintah yang saat ini mulai merevisi Perda Rencana Tata Ruang Wilayah.
Gambut dengan potensi kontribusi pada target pemerintah untuk mencapai FoLU Net Carbon Sink di 2030 harus dikelola dengan bijak.
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan mencatat hingga kini 67 persen wilayah setempat kategori kerawanan tinggi karhutla dari total luas daerah 91 ribu kilometer persegi.
Kepala Bidang Perlindungan Konservasi SDM Ekosistem Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan yang juga Ketua Forum DAS Sumsel Safrul Yunardy mengatakan salah satu penyebab utama karhutla di daerah itu karena Sumsel memiliki setidaknya satu juta hektare gambut.
Pemadaman kebakaran lahan gambut lebih sulit ketimbang areal lainnya. Sebelumnya, Sumsel mengalami karhutla hebat pada 2015 yang menghanguskan sekitar 700 ribu hektare.
KLHK mencatat luas areal karhutla menurun signifikan dalam enam tahun sejak Indonesia secara simultan memperbaiki sistem penanggulangan.
Kasubdit Pencegahan Karhutla KLHK Anis Susanti Aliati mengatakan tahun 2014 luas areal terbakar mencapai 1,7 juta hektare, sedangkan tahun 2015 mencapai 2,6 juta hektare atau mengalami kenaikan 46,9 persen.
Pada tiga tahun berikutnya terjadi penurunan signifikan dari angka acuan, yakni tahun 2016 yakni 438.363 ha atau menurun 75,3 persen, 2017 seluas 165.484 ha atau menurun 90,7 persen dan 2018 seluas 510.564 ha atau menurun 71,3 persen.
Namun pada 2019 luas areal karhutla kembali melejit melewati angka acuan sebesar 7,2 persen lantaran terbakarnya 1,6 juta hektare.
Pada dua tahun berikutnya kembali mengalami penurunan yakni pada 2020 seluas 296.942 ha atau menurun 83,3 persen dan pada 2021 seluas 358.864 ha atau menurun 79,8 persen.
"Jika ingin mengamati tahun 2022 ini, maka data yang tersaji juga jauh lebih baik dibandingkan 2019," katanya.
Banyak hal yang sudah dilakukan para pemangku kepentingan untuk mencegah karhutla berkaca pada kejadian hebat pada 2015.
Indonesia membuat strategi penanggulangan karhutla dengan mengoptimalkan multi pihak, mulai dari penguatan koordinasi dari tingkat pemerintah pusat hingga daerah, pengendalian karhutla seperti melakukan Teknologi Modifikasi Cuaca dan upaya pemadaman dini, peningkatan kesiapsiagaan, peningkatan kapasitas, sarana prasarana dan pendanaan, serta kerja sama internasional.
Walau telah melakukan banyak hal, ia tak menyangkal bahwa intaian karhutla selalu mengancam Indonesia setiap musim kemarau lantaran adanya areal gambut seluas 22,2 juta hektare tersebar di lima provinsi.
Salah satu tantangan terbaru yang dijumpai kini terdapat beberapa provinsi, yakni Aceh, Lampung, Sumber dan Kalbar yang sudah terbakar sejak awal tahun dan di wilayah lahan mineral.
Oleh karena itu, pemerintah bermaksud membuat standardisasi mengenai penanganan karhutla di Indonesia yang dapat menjadi acuan para pihak demi mencapai target net zero emission tahun 2060.
Indonesia memiliki lahan gambut sekitar 22,5 juta ha yang sebagian besar tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua atau menjadi yang terluas di dunia.
Keberadaan puluhan juta hektare lahan gambut itu diyakini sama pentingnya dengan hutan Amazon yang membentang di delapan negara di Amerika Selatan. Hutan Amazon sebagai hutan hujan terluas di dunia atau sering kali disebut paru-paru dunia karena mampu menghasilkan 20 persen oksigen.
Lantas bagaimana pula dengan lahan gambut yang bisa terus menyerap karbon dalam jangka waktu lama.
Adanya standardisasi penanganan karhutla ini diharapkan dapat menjaga kemampuan hebat gambut Indonesia itu.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menyusun standardisasi penanganan karhutla
Meski Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim luas areal karhutla menurun signifikan dalam enam tahun atau sejak karhutla hebat pada 2015, tapi zero karhutla belum bisa dicapai hingga kini.
Indonesia pun secara simultan memperbaiki sistem penanggulangannya. Kini, negara yang memiliki 22,2 juta hektare lahan gambut (berdasarkan data Global Wetlands yang diakses pada 16 April 2019) menilai perlu adanya standardisasi dalam penanganan karhutla yang dapat menjadi acuan semua pihak.
Kepala Pusat Standardisasi Instrumen Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim KLHK Kirsfianti Linda Ginoga mengatakan negara membutuhkan standardisasi yang berlaku secara umum sehingga dapat menjadi acuan dasar para pelaku usaha di bidang perkebunan dan kehutanan.
KLHK kini mengumpulkan input dari berbagai pihak terkait, mulai dari perusahaan, asosiasi, akademisi, lembaga sosial kemasyarakatan, hingga masyarakat untuk membuat buku panduan bersama dalam penanganan karhutla.
Ia yang dijumpai dalam diskusi bertema “Peran para pihak dalam mendukung penerapan standard instrumen pengendalian karhutla di tingkat tapak” di Palembang, Selasa, mengatakan pembuatan standardisasi ini akan mengedepankan norma-norma yang berlaku di masyarakat dalam pemanfaatan dan perlindungan lingkungan.
Dari norma-norma itu akan mengerucut menjadi pedoman yang bisa diterima oleh semua pihak sehingga Indonesia dapat mengejar target net zero carbon pada 2060.
Tapi patut digarisbawahi bahwa standardisasi ini dituntut detail dan dinamis karena seiring dengan kemajuan teknologi dalam upaya penanganan karhutla di Tanah Air.
“Kami sangat menyadari itu seperti penggunaan drone untuk memantau areal perkebunan. Dulu belum ada, dan kini hampir digunakan semua perusahaan,” kata dia.
Oleh karena itu, ia tak menyangkal bahwa pembuatan standardisasi ini bakal memakan waktu yang relatif lama. Meski demikian, pada tahun ini pihaknya menargetkan sudah bisa melahirkan panduan secara umum.
Sementara itu, Ketua Bidang Komunikasi dan Publikasi Kampanye Positif Gapki Sumsel Anung Riyanta mengatakan sebenarnya pemerintah sudah banyak mengeluarkan peraturan terkait penanganan karhutla, termasuk mengenai standardisasi penyediaan sarana dan prasarana, standardisasi perizinan, dan lainnya.
Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 32 Tahun 2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan bahkan sudah dijelaskan secara detail mengenai kewajiban sarana dan prasarana yang harus disiapkan perusahaan usaha perkebunan dan kehutanan.
Namun, ia sepakat jika harus dibuat standardisasi yang berlaku untuk semua sektor yang bersifat dinamis atau mengikuti kemajuan teknologi.
“Seperti di menara api, dulu itu tidak ada drone-nya, tapi sekarang sudah pakai semua. Jika mau dimasukkan sebagai standardisasi, ya mungkin bisa tapi bagaimana ketentuan lainnya seperti berapa luas minimal lahannya,” kata dia.
Sementara itu, Fire Operation Management APP Sinarmas Wilayah Ogan Komering Ilir (OKI) Mares Prabadi mengatakan pihaknya kini bukan hanya melengkapi sarana dan prasarana sesuai peraturan pemerintah tapi telah menerapkan teknologi terkini dalam penanganan karhutla.
Melalui Strategi Penanggulangan Kebakaran Hutan Terpadu (Integrated Fire Management/ IFM), kini perusahaan-perusahaan mitra APP sudah menggunakan tiga drone UAV Fixed Wing Flying Dragon untuk memantau lokasi-lokasi yang sulit dijangkau hingga radius 10 kilometer dari stasiun pemantau.
Sebanyak tiga drone ini juga diterbangkan setiap hari layaknya helikopter patroli tapi dikhususkan untuk menjangkau wilayah tertentu yang tidak terawasi oleh helikopter patroli.
Perusahaan yang menjadi mitra APP Sinar Mas diwajibkan menerapkan strategi deteksi dini dengan memanfaatkan beragam sumber daya, di antaranya satelit dan perangkat Authomatic Weather System (AWS), menara api, pos pantau dan pos taktis, dan Regu Pemadam Kebakaran (RPK) untuk satgas darat dan udara.
Respons positif
Peneliti lembaga nonprofit World Agroforestry (Icraf) merespons positif rencana pemerintah untuk melahirkan standardisasi penanganan karhutla.
Saat ini dunia sedang dihadapkan pada tantangan perubahan iklim yakni krisis lingkungan dan krisis pangan, tak terkecuali Sumatera Selatan yang memiliki areal gambut dengan luas mencapai satu juta hektare.
Perubahan yang terjadi, seperti pengalihan fungsi gambut lindung menjadi gambut budi daya tentunya akan berpengaruh bagi lingkungan.
Alih fungsi itu terjadi di Sumsel sehingga daerah ini dipastikan menghadapi tantangan perubahan iklim akibat penurunan daya dukung lingkungan.
Oleh karena itu, Icraf yang memiliki sejumlah program di Sumsel “Land4lives” mendorong para pengambil kebijakan menyusun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) yang ditargetkan selesai pada 2022.
Selain itu, Icraf juga turut ambil bagian dalam memberikan masukan kepada pemerintah yang saat ini mulai merevisi Perda Rencana Tata Ruang Wilayah.
Gambut dengan potensi kontribusi pada target pemerintah untuk mencapai FoLU Net Carbon Sink di 2030 harus dikelola dengan bijak.
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan mencatat hingga kini 67 persen wilayah setempat kategori kerawanan tinggi karhutla dari total luas daerah 91 ribu kilometer persegi.
Kepala Bidang Perlindungan Konservasi SDM Ekosistem Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan yang juga Ketua Forum DAS Sumsel Safrul Yunardy mengatakan salah satu penyebab utama karhutla di daerah itu karena Sumsel memiliki setidaknya satu juta hektare gambut.
Pemadaman kebakaran lahan gambut lebih sulit ketimbang areal lainnya. Sebelumnya, Sumsel mengalami karhutla hebat pada 2015 yang menghanguskan sekitar 700 ribu hektare.
KLHK mencatat luas areal karhutla menurun signifikan dalam enam tahun sejak Indonesia secara simultan memperbaiki sistem penanggulangan.
Kasubdit Pencegahan Karhutla KLHK Anis Susanti Aliati mengatakan tahun 2014 luas areal terbakar mencapai 1,7 juta hektare, sedangkan tahun 2015 mencapai 2,6 juta hektare atau mengalami kenaikan 46,9 persen.
Pada tiga tahun berikutnya terjadi penurunan signifikan dari angka acuan, yakni tahun 2016 yakni 438.363 ha atau menurun 75,3 persen, 2017 seluas 165.484 ha atau menurun 90,7 persen dan 2018 seluas 510.564 ha atau menurun 71,3 persen.
Namun pada 2019 luas areal karhutla kembali melejit melewati angka acuan sebesar 7,2 persen lantaran terbakarnya 1,6 juta hektare.
Pada dua tahun berikutnya kembali mengalami penurunan yakni pada 2020 seluas 296.942 ha atau menurun 83,3 persen dan pada 2021 seluas 358.864 ha atau menurun 79,8 persen.
"Jika ingin mengamati tahun 2022 ini, maka data yang tersaji juga jauh lebih baik dibandingkan 2019," katanya.
Banyak hal yang sudah dilakukan para pemangku kepentingan untuk mencegah karhutla berkaca pada kejadian hebat pada 2015.
Indonesia membuat strategi penanggulangan karhutla dengan mengoptimalkan multi pihak, mulai dari penguatan koordinasi dari tingkat pemerintah pusat hingga daerah, pengendalian karhutla seperti melakukan Teknologi Modifikasi Cuaca dan upaya pemadaman dini, peningkatan kesiapsiagaan, peningkatan kapasitas, sarana prasarana dan pendanaan, serta kerja sama internasional.
Walau telah melakukan banyak hal, ia tak menyangkal bahwa intaian karhutla selalu mengancam Indonesia setiap musim kemarau lantaran adanya areal gambut seluas 22,2 juta hektare tersebar di lima provinsi.
Salah satu tantangan terbaru yang dijumpai kini terdapat beberapa provinsi, yakni Aceh, Lampung, Sumber dan Kalbar yang sudah terbakar sejak awal tahun dan di wilayah lahan mineral.
Oleh karena itu, pemerintah bermaksud membuat standardisasi mengenai penanganan karhutla di Indonesia yang dapat menjadi acuan para pihak demi mencapai target net zero emission tahun 2060.
Indonesia memiliki lahan gambut sekitar 22,5 juta ha yang sebagian besar tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua atau menjadi yang terluas di dunia.
Keberadaan puluhan juta hektare lahan gambut itu diyakini sama pentingnya dengan hutan Amazon yang membentang di delapan negara di Amerika Selatan. Hutan Amazon sebagai hutan hujan terluas di dunia atau sering kali disebut paru-paru dunia karena mampu menghasilkan 20 persen oksigen.
Lantas bagaimana pula dengan lahan gambut yang bisa terus menyerap karbon dalam jangka waktu lama.
Adanya standardisasi penanganan karhutla ini diharapkan dapat menjaga kemampuan hebat gambut Indonesia itu.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menyusun standardisasi penanganan karhutla