Jakarta (ANTARA) - Bagi sebagian orang, menjalani tes usap di hidung atau tenggorokan (swab test) untuk menguji COVID-19 telah menjadi hal yang rutin dan bahkan mengganggu.
Di sisi lain, seiring waktu, pejabat kesehatan di beberapa negara mulai mempertanyakan manfaat pengujian massal berulang kali dalam hal pengendalian infeksi, terutama mengingat biayanya yang mencapai miliaran.
Jepang menghindari pengujian skala besar namun mengatasi pandemi dengan relatif baik, berdasarkan tingkat infeksi dan kematian. Negara-negara lain, termasuk Inggris dan Spanyol juga telah mengurangi pengujian.
Namun, pengujian berulang di seluruh kota tetap menjadi bagian utama dari rencana "nol-COVID" di China.
"Kita perlu belajar, dan tidak ada yang melakukannya dengan sempurna," kata pejabat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dale Fisher seperti dikutip dari Medical Daily, Minggu.
WHO mendesak negara-negara untuk melakukan pengujian pada semua kasus yang dicurigai setelah virus corona pertama kali terindentifikasi. Pengawasan global membantu para ilmuwan memahami risiko penyakit parah atau kematian serta risiko penularan.
Sekarang, menurut para ahli kesehatan, dengan dominasi varian Omicron yang dikatakan menyebabkan gejala relatif lebih ringan dan ketersediaan vaksin serta perawatan yang lebih efektif, pemerintah harus mempertimbangkan kebijakan yang lebih strategis, seperti pengambilan sampel populasi.
Sebenarnya, WHO tidak pernah merekomendasikan skrining massal individu tanpa gejala, seperti yang saat ini terjadi di China karena masalah biaya dan kurangnya data tentang keefektifannya.
Satu studi di Denmark yang diterbitkan tahun lalu menyimpulkan, program pengujian dan isolasi dari kasus yang dikonfirmasi membantu mengurangi penularan hingga 25 persen.
Tetapi, pakar kesehatan mempertanyakan perkiraan tersebut. Sebuah tinjauan yang diterbitkan dalam Medical Virology pada akhir Maret lalu tentang penggunaan tes cepat untuk orang tanpa gejala dalam inisiatif skrining massal justru menemukan ketidakpastian atas dampaknya.
"Klaimnya (pengujian massal) akan menghentikan pandemi, dan itu akan memotong penularan hingga 90 persen. Dan ternyata tidak," kata Angela Raffle, dosen senior di Bristol University Medical School.
Ada beberapa kemungkinan penjelasan mengapa pengujian tidak menghasilkan manfaat yang lebih besar antara lain fakta tes tidak sempurna dan banyak orang yang tidak mau atau tidak dapat mengisolasi diri setelah dites positif.
Sebuah tinjauan di British Medical Journal kala pra-Omicron menemukan, hanya 42,5 persen dari pasien yang tinggal di rumah selama seluruh periode isolasi.
Di Inggris, tes COVID-19 gratis saat ini hanya tersedia untuk petugas kesehatan pemerintah, mereka yang memiliki kondisi kesehatan tertentu, dan orang yang masuk rumah sakit.
Sementara bagi orang-orang dengan gejala harus membayar biaya tes atau hanya disarankan untuk tinggal di rumah sampai mereka merasa lebih baik.
Profesor kesehatan global di McGill University di Kanada Madhu Pai, menilai ini akan menjadi bencana, karena orang-orang akan benar-benar lengah jika varian yang lebih berbahaya muncul.
Di sisi lain, seiring waktu, pejabat kesehatan di beberapa negara mulai mempertanyakan manfaat pengujian massal berulang kali dalam hal pengendalian infeksi, terutama mengingat biayanya yang mencapai miliaran.
Jepang menghindari pengujian skala besar namun mengatasi pandemi dengan relatif baik, berdasarkan tingkat infeksi dan kematian. Negara-negara lain, termasuk Inggris dan Spanyol juga telah mengurangi pengujian.
Namun, pengujian berulang di seluruh kota tetap menjadi bagian utama dari rencana "nol-COVID" di China.
"Kita perlu belajar, dan tidak ada yang melakukannya dengan sempurna," kata pejabat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dale Fisher seperti dikutip dari Medical Daily, Minggu.
WHO mendesak negara-negara untuk melakukan pengujian pada semua kasus yang dicurigai setelah virus corona pertama kali terindentifikasi. Pengawasan global membantu para ilmuwan memahami risiko penyakit parah atau kematian serta risiko penularan.
Sekarang, menurut para ahli kesehatan, dengan dominasi varian Omicron yang dikatakan menyebabkan gejala relatif lebih ringan dan ketersediaan vaksin serta perawatan yang lebih efektif, pemerintah harus mempertimbangkan kebijakan yang lebih strategis, seperti pengambilan sampel populasi.
Sebenarnya, WHO tidak pernah merekomendasikan skrining massal individu tanpa gejala, seperti yang saat ini terjadi di China karena masalah biaya dan kurangnya data tentang keefektifannya.
Satu studi di Denmark yang diterbitkan tahun lalu menyimpulkan, program pengujian dan isolasi dari kasus yang dikonfirmasi membantu mengurangi penularan hingga 25 persen.
Tetapi, pakar kesehatan mempertanyakan perkiraan tersebut. Sebuah tinjauan yang diterbitkan dalam Medical Virology pada akhir Maret lalu tentang penggunaan tes cepat untuk orang tanpa gejala dalam inisiatif skrining massal justru menemukan ketidakpastian atas dampaknya.
"Klaimnya (pengujian massal) akan menghentikan pandemi, dan itu akan memotong penularan hingga 90 persen. Dan ternyata tidak," kata Angela Raffle, dosen senior di Bristol University Medical School.
Ada beberapa kemungkinan penjelasan mengapa pengujian tidak menghasilkan manfaat yang lebih besar antara lain fakta tes tidak sempurna dan banyak orang yang tidak mau atau tidak dapat mengisolasi diri setelah dites positif.
Sebuah tinjauan di British Medical Journal kala pra-Omicron menemukan, hanya 42,5 persen dari pasien yang tinggal di rumah selama seluruh periode isolasi.
Di Inggris, tes COVID-19 gratis saat ini hanya tersedia untuk petugas kesehatan pemerintah, mereka yang memiliki kondisi kesehatan tertentu, dan orang yang masuk rumah sakit.
Sementara bagi orang-orang dengan gejala harus membayar biaya tes atau hanya disarankan untuk tinggal di rumah sampai mereka merasa lebih baik.
Profesor kesehatan global di McGill University di Kanada Madhu Pai, menilai ini akan menjadi bencana, karena orang-orang akan benar-benar lengah jika varian yang lebih berbahaya muncul.