Banjarmasin (ANTARA) - Ekonom dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Dr Muzdalifah SE MSi mengatakan kebijakan memasok ke dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) lebih memberikan solusi terhadap konsumen dan petani ketimbang pelarangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya.
"Dengan kenaikan DMO dari 20 persen menjadi 30 persen sebenarnya sudah cukup baik untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri," kata dia di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Selasa.
Diakui Muzdalifah, larangan ekspor bagi konsumen akhir tentunya menggembirakan karena terjamin ketersediaan minyak goreng di pasaran.
Bahkan berpeluang besar akan terjadi penurunan harga, sehingga minyak goreng di tingkat konsumen lebih terjangkau oleh masyarakat.
Namun di sisi lain, pelarangan ekspor berdampak pada turunnya harga sawit bagi petani pekebun. Mengingat kebijakan ini tidak ada batas waktu pelaksanaannya, maka dikhawatirkan terjadinya penurunan signifikan kontribusi sektor pertanian subsektor perkebunan terhadap perekonomian, khususnya di daerah penghasil minyak kelapa sawit mentah (CPO).
Muzdalifah mencontohkan Kalimantan Selatan yang masuk dalam 10 besar produksi kelapa sawit Indonesia. Provinsi ini di urutan ke-8 dilihat pada level kabupaten atau kota. Adapun 3 besar daerah penghasil kelapa sawit yaitu Kabupaten Kotabaru, Kabupaten Tanah Bumbu, dan Kabupaten Tanah Laut.
"Jika kebijakan ini dijalankan hingga akhir tahun maka berdampak terhadap kemungkinan merosotnya perekonomian Kalsel," jelas Ketua Lembaga Kajian Ekonomi dan Pembangunan Daerah (LKEPD) FEB ULM itu.
Untuk itulah, doktor bidang ilmu ekonomi jebolan Universitas Airlangga itu berharap kepatuhan produsen dan distributor terkait kebijakan DMO bisa dikembalikan dengan dibarengi pengawasannya secara ketat dan lebih tegas.
Diketahui Presiden Joko Widodo mengumumkan Indonesia melarang ekspor minyak goreng dan bahan bakunya yang berlaku mulai 28 April 2022 hingga batas waktu yang belum ditentukan.
Indonesia sendiri merupakan salah satu negara eksportir CPO terbesar yang mencakup 60 persen pasokan dunia, sehingga kebijakan larangan ekspor pastinya berdampak pada stabilitas pangan global dan produk turunannya.
"Dengan kenaikan DMO dari 20 persen menjadi 30 persen sebenarnya sudah cukup baik untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri," kata dia di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Selasa.
Diakui Muzdalifah, larangan ekspor bagi konsumen akhir tentunya menggembirakan karena terjamin ketersediaan minyak goreng di pasaran.
Bahkan berpeluang besar akan terjadi penurunan harga, sehingga minyak goreng di tingkat konsumen lebih terjangkau oleh masyarakat.
Namun di sisi lain, pelarangan ekspor berdampak pada turunnya harga sawit bagi petani pekebun. Mengingat kebijakan ini tidak ada batas waktu pelaksanaannya, maka dikhawatirkan terjadinya penurunan signifikan kontribusi sektor pertanian subsektor perkebunan terhadap perekonomian, khususnya di daerah penghasil minyak kelapa sawit mentah (CPO).
Muzdalifah mencontohkan Kalimantan Selatan yang masuk dalam 10 besar produksi kelapa sawit Indonesia. Provinsi ini di urutan ke-8 dilihat pada level kabupaten atau kota. Adapun 3 besar daerah penghasil kelapa sawit yaitu Kabupaten Kotabaru, Kabupaten Tanah Bumbu, dan Kabupaten Tanah Laut.
"Jika kebijakan ini dijalankan hingga akhir tahun maka berdampak terhadap kemungkinan merosotnya perekonomian Kalsel," jelas Ketua Lembaga Kajian Ekonomi dan Pembangunan Daerah (LKEPD) FEB ULM itu.
Untuk itulah, doktor bidang ilmu ekonomi jebolan Universitas Airlangga itu berharap kepatuhan produsen dan distributor terkait kebijakan DMO bisa dikembalikan dengan dibarengi pengawasannya secara ketat dan lebih tegas.
Diketahui Presiden Joko Widodo mengumumkan Indonesia melarang ekspor minyak goreng dan bahan bakunya yang berlaku mulai 28 April 2022 hingga batas waktu yang belum ditentukan.
Indonesia sendiri merupakan salah satu negara eksportir CPO terbesar yang mencakup 60 persen pasokan dunia, sehingga kebijakan larangan ekspor pastinya berdampak pada stabilitas pangan global dan produk turunannya.