Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melimpahkan berkas perkara terdakwa mantan Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Manado, Rabu.
Sri Wahyumi adalah terdakwa perkara dugaan penerimaan gratifikasi oleh penyelenggara negara terkait proyek pekerjaan infrastruktur di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara Tahun 2014 sampai dengan Tahun 2017.
"Hari ini, Jaksa KPK Andry Lesmana melimpahkan berkas perkara terdakwa Sri Wahyumi Maria Manalip ke Pengadilan Tipikor pada PN Manado," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta.
Saat ini, kata dia, penahanan terhadap terdakwa Sri Wahyumi telah sepenuhnya menjadi kewenangan Pengadilan Tipikor Manado dan selama proses persidangan terdakwa dititipkan tempat penahanannya di Rutan Polda Sulawesi Utara.
"Selanjutnya tim JPU (Jaksa Penuntut Umum) akan menunggu penetapan penunjukan Majelis Hakim dan penetapan hari sidang dengan agenda pembacaan surat dakwaan," ucap Ali.
Sri Wahyumi didakwa dengan dakwaan pertama Pasal 12 B jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 65 ayat (1) KUHP atau kedua Pasal 11 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
KPK pada 29 April 2021 kembali menahan Sri Wahyumi setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan gratifikasi.
Diketahui, Sri Wahyumi telah menjalani masa hukuman 2 tahun penjara terkait perkara yang menjeratnya sebelumnya, yakni suap lelang pekerjaan revitalisasi Pasar Lirung dan pekerjaan revitalisasi Pasar Beo Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2019.
KPK pun kemudian langsung menangkap dan menahan Sri Wahyumi kembali. Sri Wahyumi diduga menerima gratifikasi senilai Rp9,5 miliar.
Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan bahwa sejak Sri Wahyumi dilantik sebagai Bupati Kepulauan Talaud periode 2014-2019, yang bersangkutan berulang kali melakukan pertemuan di rumah dinas jabatan dan rumah kediaman pribadi dengan para Ketua Pokja Pengadaan Barang dan Jasa Kepulauan Talaud.
Para ketua pokja tersebut, yakni John Rianto Majampoh selaku Ketua Pokja Tahun 2014 dan 2015, Azarya Ratu Maatui selaku Ketua Pokja Tahun 2016, dan Frans Weil Lua selaku Ketua Pokja Tahun 2017.
Sri Wahyumi juga selalu aktif menanyakan daftar paket pekerjaan pengadaan barang dan jasa di Pemkab Kepulauan Talaud yang belum dilakukan lelang dan memerintahkan kepada para Ketua Pokja Pengadaan Barang dan Jasa Kepulauan Talaud untuk memenangkan rekanan tertentu sebagai pelaksana paket pekerjaan tertentu dalam proses lelang.
Selain itu, Sri Wahyumi juga diduga memberikan catatan dalam lembaran kertas kecil berupa tulisan tangan berisi informasi nama paket pekerjaan dan rekanan yang ditunjuk langsung.
Sri Wahyumi memerintahkan kepada para Ketua Pokja Pengadaan Barang dan Jasa Kepulauan Talaud meminta "commitment fee" sebesar 10 persen dari nilai pagu anggaran masing-masing paket pekerjaan sekaligus melakukan pencatatan atas pemberian "commitment fee" para rekanan tersebut.
Sri Wahyumi adalah terdakwa perkara dugaan penerimaan gratifikasi oleh penyelenggara negara terkait proyek pekerjaan infrastruktur di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara Tahun 2014 sampai dengan Tahun 2017.
"Hari ini, Jaksa KPK Andry Lesmana melimpahkan berkas perkara terdakwa Sri Wahyumi Maria Manalip ke Pengadilan Tipikor pada PN Manado," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta.
Saat ini, kata dia, penahanan terhadap terdakwa Sri Wahyumi telah sepenuhnya menjadi kewenangan Pengadilan Tipikor Manado dan selama proses persidangan terdakwa dititipkan tempat penahanannya di Rutan Polda Sulawesi Utara.
"Selanjutnya tim JPU (Jaksa Penuntut Umum) akan menunggu penetapan penunjukan Majelis Hakim dan penetapan hari sidang dengan agenda pembacaan surat dakwaan," ucap Ali.
Sri Wahyumi didakwa dengan dakwaan pertama Pasal 12 B jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 65 ayat (1) KUHP atau kedua Pasal 11 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
KPK pada 29 April 2021 kembali menahan Sri Wahyumi setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan gratifikasi.
Diketahui, Sri Wahyumi telah menjalani masa hukuman 2 tahun penjara terkait perkara yang menjeratnya sebelumnya, yakni suap lelang pekerjaan revitalisasi Pasar Lirung dan pekerjaan revitalisasi Pasar Beo Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2019.
KPK pun kemudian langsung menangkap dan menahan Sri Wahyumi kembali. Sri Wahyumi diduga menerima gratifikasi senilai Rp9,5 miliar.
Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan bahwa sejak Sri Wahyumi dilantik sebagai Bupati Kepulauan Talaud periode 2014-2019, yang bersangkutan berulang kali melakukan pertemuan di rumah dinas jabatan dan rumah kediaman pribadi dengan para Ketua Pokja Pengadaan Barang dan Jasa Kepulauan Talaud.
Para ketua pokja tersebut, yakni John Rianto Majampoh selaku Ketua Pokja Tahun 2014 dan 2015, Azarya Ratu Maatui selaku Ketua Pokja Tahun 2016, dan Frans Weil Lua selaku Ketua Pokja Tahun 2017.
Sri Wahyumi juga selalu aktif menanyakan daftar paket pekerjaan pengadaan barang dan jasa di Pemkab Kepulauan Talaud yang belum dilakukan lelang dan memerintahkan kepada para Ketua Pokja Pengadaan Barang dan Jasa Kepulauan Talaud untuk memenangkan rekanan tertentu sebagai pelaksana paket pekerjaan tertentu dalam proses lelang.
Selain itu, Sri Wahyumi juga diduga memberikan catatan dalam lembaran kertas kecil berupa tulisan tangan berisi informasi nama paket pekerjaan dan rekanan yang ditunjuk langsung.
Sri Wahyumi memerintahkan kepada para Ketua Pokja Pengadaan Barang dan Jasa Kepulauan Talaud meminta "commitment fee" sebesar 10 persen dari nilai pagu anggaran masing-masing paket pekerjaan sekaligus melakukan pencatatan atas pemberian "commitment fee" para rekanan tersebut.