Barabai (ANTARA) - Warga Dayak di Desa Labuhan Kecamatan Batang Alai Selatan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan menggelar aruh adat baduduk yaitu upacara sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa karena musim panen telah selesai dan sebagai wujud mematuhi protokol kesehatan acara itu digelar di rumah masing-masing.
"Di masa pandemi COVID-19 ini kami mematuhi protokol kesehatan (prokes), dengan melaksanakan aruh adat di rumah masing-masing tidak di balai," kata Kepala Lembaga Adat Dayak Desa Labuhan, Suan, di Barabai, Jumat.
Musim panen padi sudah selesai, bagi warga Dayak pantang memakai apalagi menjual hasil panen sebelum pelaksanaan aruh adat.
"Itulah budaya dan kepercayaan yang dijunjung oleh warga Dayak di Desa Labuhan," katanya.
Desa Labuhan berjarak sekitar 23 kilometer dari pusat Kota Barabai atau memerlukan waktu tempuh sekitar 40 menit berkendara.
Suan menjelaskan, meski di tengah pandemi COVID-19, warga Dayak tetap mengupayakan melaksanakan aruh adat, walaupun pelaksanaannya terbatas.
Biasanya, Suku Dayak Desa Labuhan melaksanakan aruh adat secara besaran-besaran, karena khawatir akan terjadi penularan COVID-19, warga memilih melaksanakan aruh adat secara sederhana dengan tetap mengutamakan protokol kesehatan.
"Biasanya kami membuat lamang (makanan terbuat dari ketan yang dimasak menggunakan bambu), bisa mencapai 400 hingga 500 bumbung (batang bambu). Kali ini hanya 150 bumbung. Beras yang biasanya mencapai 20 blek (1 blek setara 20 liter), kini hanya empat blek," katanya.
Menurutnya, penting pelaksanaan aruh adat saat musim panen berakhir. Ia bersyukur meski tak dapat mengundang banyak warga adat lainnya, pihaknya dapat melaksanakan aruh adat bersama keluarga terdekat.
"Kami juga memperhatikan protokol kesehatan. Yang memasak orangnya juga terbatas. Biasanya kami memasak dalam jumlah besar. Sekarang seadanya, yang penting kami bisa mengucapkan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa," katanya.
(Antaranews Kalsel/M Taupik Rahman)
Dalam aruh adat, selain pelaksanaan bersama warga adat Dayak, juga diperlukan sesajen.
Persembahan atau sesajen dalam aruh ada di Desa Labuhan, seperti lamang, kue pupudak, dodol, ayam kampung, wajik, kelapa, dodol putih, cangkaruk, cucur, pisang amas, pisang paleng, hingga gula merah. Sedangkan aruh ganal biasanya menggunakan hadangan dan kambing.
"Untuk aruh adat bahan utama yang tak boleh ketinggalan yakni ketan. Ketan ini dimasak untuk berbagai menu seperti lamang, dodol dan wajik. Sedangkan kue lainnya terbuat dari tepung beras," kata Suan.
Filosofi mengapa ketan menjadi bahan wajib, katanya, karena menurut kepercayaan Suku Dayak, ketan memiliki filosofi kesejahteraan dan kerakatan atau keakraban.
"Makanya ketan itu wajib ada. Jadi supaya rakat dan sejahtera," ujarnya.
Selain itu, bunga tahun wajib ada dalam acara sakral ini. Bunga tahun merupakan bunga tahunan di Pegunungan Meratus. Bunga ini hanya berbunga setahun sekali.
Warga Dayak Desa Labuhan percaya, jika bunga tahun ini mekar artinya ritual aruh adat harus dilaksanakan.
"Aruh adat baduduk ini kami laksanakan di rumah masing-masing tidak di balai dan waktunya satu hari satu malam saja. Karena mematuhi anjuran pemerintah menerapkan prokes," katanya.
"Di masa pandemi COVID-19 ini kami mematuhi protokol kesehatan (prokes), dengan melaksanakan aruh adat di rumah masing-masing tidak di balai," kata Kepala Lembaga Adat Dayak Desa Labuhan, Suan, di Barabai, Jumat.
Musim panen padi sudah selesai, bagi warga Dayak pantang memakai apalagi menjual hasil panen sebelum pelaksanaan aruh adat.
"Itulah budaya dan kepercayaan yang dijunjung oleh warga Dayak di Desa Labuhan," katanya.
Desa Labuhan berjarak sekitar 23 kilometer dari pusat Kota Barabai atau memerlukan waktu tempuh sekitar 40 menit berkendara.
Suan menjelaskan, meski di tengah pandemi COVID-19, warga Dayak tetap mengupayakan melaksanakan aruh adat, walaupun pelaksanaannya terbatas.
Biasanya, Suku Dayak Desa Labuhan melaksanakan aruh adat secara besaran-besaran, karena khawatir akan terjadi penularan COVID-19, warga memilih melaksanakan aruh adat secara sederhana dengan tetap mengutamakan protokol kesehatan.
"Biasanya kami membuat lamang (makanan terbuat dari ketan yang dimasak menggunakan bambu), bisa mencapai 400 hingga 500 bumbung (batang bambu). Kali ini hanya 150 bumbung. Beras yang biasanya mencapai 20 blek (1 blek setara 20 liter), kini hanya empat blek," katanya.
Menurutnya, penting pelaksanaan aruh adat saat musim panen berakhir. Ia bersyukur meski tak dapat mengundang banyak warga adat lainnya, pihaknya dapat melaksanakan aruh adat bersama keluarga terdekat.
"Kami juga memperhatikan protokol kesehatan. Yang memasak orangnya juga terbatas. Biasanya kami memasak dalam jumlah besar. Sekarang seadanya, yang penting kami bisa mengucapkan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa," katanya.
Dalam aruh adat, selain pelaksanaan bersama warga adat Dayak, juga diperlukan sesajen.
Persembahan atau sesajen dalam aruh ada di Desa Labuhan, seperti lamang, kue pupudak, dodol, ayam kampung, wajik, kelapa, dodol putih, cangkaruk, cucur, pisang amas, pisang paleng, hingga gula merah. Sedangkan aruh ganal biasanya menggunakan hadangan dan kambing.
"Untuk aruh adat bahan utama yang tak boleh ketinggalan yakni ketan. Ketan ini dimasak untuk berbagai menu seperti lamang, dodol dan wajik. Sedangkan kue lainnya terbuat dari tepung beras," kata Suan.
Filosofi mengapa ketan menjadi bahan wajib, katanya, karena menurut kepercayaan Suku Dayak, ketan memiliki filosofi kesejahteraan dan kerakatan atau keakraban.
"Makanya ketan itu wajib ada. Jadi supaya rakat dan sejahtera," ujarnya.
Selain itu, bunga tahun wajib ada dalam acara sakral ini. Bunga tahun merupakan bunga tahunan di Pegunungan Meratus. Bunga ini hanya berbunga setahun sekali.
Warga Dayak Desa Labuhan percaya, jika bunga tahun ini mekar artinya ritual aruh adat harus dilaksanakan.
"Aruh adat baduduk ini kami laksanakan di rumah masing-masing tidak di balai dan waktunya satu hari satu malam saja. Karena mematuhi anjuran pemerintah menerapkan prokes," katanya.