Jakarta (ANTARA) - Tak bisa dimungkiri, jika keputusan pemerintah menghentikan sementara distribusi dan penggunaan 448.480 dosis AstraZeneca memicu pertanyaan publik terkait kualitas serta keamanan vaksin COVID-19 bagi para penggunanya di Indonesia.

Vaksin produksi Universitas Oxford di Inggris, Itali, Korea Selatan, dan India itu adalah kumpulan produksi atau 'batch' CTMAV547 yang telah didistribusikan dan sebagian dipakai untuk peserta kalangan TNI, penduduk DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Jawa Timur dan Bali.

Batch tersebut bagian dari 3.852.000 dosis AstraZeneca yang diterima Indonesia pada 26 April 2021 melalui skema Covax Facility/WHO. Sekitar 1,2 juta dosis di antaranya telah disuntikkan kepada penerima manfaat hingga pekan kedua Mei 2021.

Pemerintah sudah seharusnya mengambil langkah hati-hati dalam mengantisipasi risiko fatal dari hubungan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (KIPI) dengan AstraZeneca. Salah satunya pembekuan darah yang disorot sejumlah negara berlangsung pada Maret hingga April 2021, di antaranya di Finlandia, Norwegia, Belanda, Swedia, Denmark dan Kanada.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam kunjungan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Otto Iskandardinata, Kabupaten Bandung, Selasa (18/5), mengungkapkan sudah ada tiga warga di Indonesia yang meninggal dunia usai disuntik vaksin AstraZeneca.

Tentu saja, situasi itu belum bisa dikaitkan langsung dengan vaksin yang mereka terima. Kesimpulan dari kejadian itu masih menunggu investigasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas KIPI).

Proses itu butuh waktu dua hingga tiga pekan sejak pengumpulan data berdasarkan riwayat para penerima vaksin hingga uji toksisitas dan sterilitas dari kandungan AstraZeneca.

Masih perlu analisa mendalam, apakah peserta vaksin yang meninggal itu akibat faktor pembekuan darah, kecemasan akut atau penyakit bawaan yang diderita almarhum.

Dilansir dari laman www.johnhopkinsmedicine.org, dijelaskan pada situasi normal, darah memiliki kemampuan membeku dan menggumpal setelah cedera untuk mencegah kehilangan darah dalam jumlah banyak. Namun, gangguan pembekuan darah bisa terjadi ketika protein pembeku atau platelet bekerja secara berlebihan.

Misalnya, terjadi pada penderita trombofilia yang wajib mengonsumsi obat pengencer darah setiap hari. Hal itu bertujuan untuk menghindari terjadinya penggumpalan darah yang terjadi di dalam pembuluh darah yang sehat, sehingga dapat berisiko menyumbat aliran darah dan berujung pada kondisi berbahaya.

Contoh lain pembekuan darah adalah trombosis vena yang memicu penggumpalan darah di dalam pembuluh darah vena dalam yang besar. Sering menyerang pembuluh darah vena di bagian kaki. Penyakit ini menyebabkan aliran darah melambat bahkan tersumbat, kemudian menyebabkan bagian tubuh bengkak, terasa nyeri, hingga kemerahan.

Dalam kondisi terparah, gumpalan darah bisa menyerang atau bergerak ke bagian tubuh lain, seperti paru-paru, lalu menyebabkan 'emboli' paru hingga berujung pada masalah pernapasan serius.

Kemungkinan lain menurut Ketua Komnas KIPI, Hindra Irawan Satari, adalah kecemasan akut sebagai reaksi dari 'nerveus fanboost', reaksinya berupa napas cepat berhubungan dengan reaksi psikiatrik yang berhubungan dengan stres.

Respons stres yang berhubungan dengan imunisasi bisa berupa stres akut, reaksi 'vasovagal' atau dissosiative neurological. Biasanya ditandai jantung berdebar, kemudian kesemutan, rasa sakit dada, melayang, pusing, sakit kepala dan bisa berulang. Kadang terjadi pingsan, kejang hingga bengong.

Reaksi 'vasovagal' ditunjukkan dengan rasa pusing, namun reaksinya ringan. "Itu akibat dari pelebaran pembuluh darah dan denyut jantung menurun. Pingsan bisa 20 detik atau beberapa menit, terus langsung sadar dan baik," katanya.

Sementara, dissosiative neurological sympton reaction mirip seperti mengalami kelumpuhan, lemas atau gerakan aneh, susah bicara atau kejang. Situasi ini bisa terjadi beberapa hari atau jam setelah imunisasi.

Investigasi

Empat hari usai peristiwa meninggalnya Trio Fauqi Virdaus (22), Komnas KIPI pada Senin (17/5), menemui keluarga almarhum di kawasan Buaran, Duren Sawit, Jakarta Timur, karena keperluan investigasi pengaruh vaksin AstraZeneca terhadap risiko kematian.

Pria yang tercatat sebagai pegawai di PT Pegadaian itu dilaporkan meninggal dunia usai disuntik vaksin AstraZeneca di Sentra Vaksinasi Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta pada Rabu (5/5). Sementara, satu rekannya yang menemani dan disuntik jenis vaksin yang sama, sempat bergejala demam, namun kini telah dinyatakan sehat.

Di rumah sederhana yang beralamat Jalan Buaran III, RT03 RW15, Duren Sawit itu, ibu almarhum, Zakiah, menceritakan kepada Ketua Komnas KIPI, Hindra Irawan Satari, bahwa putra keduanya mengeluh demam, pusing hingga linu di sekujur tubuh beberapa jam setelah disuntik vaksin.

"Saat di sini (rumah), nafasnya saya lihat seperti sesak. Seperti orang kejang, tapi enggak lama. kaki dan tangan saya pegang semuanya lemas. Lalu datang dokter dokter umum, disarankan dibawa ke rumah sakit besar. Itu saya nunggu kendaraan lama banget. Tidak ada penyakit (bawaan) yang aneh-aneh dia itu," kata Zakiah.

Trio sempat mengalami kejang hingga pingsan saat sampai di IGD Rumah Sakit Asta Nugraha, Duren Sawit, Kamis (6/5), pukul 12.30 WIB. Beberapa menit kemudian, Trio dinyatakan meninggal.

Berdasarkan laporan rekam medis dari pihak dokter yang pernah menangani Trio, Komnas KIPI menemukan ada penyakit kronis yang dia derita, namun dipastikan oleh Hindra, bahwa kejadian Trio wafat tidak dipicu oleh penyakit kronis tersebut.

"Kalau terkait penyakit kronisnya apa dan bagaimana, itu rahasia medis yang tidak bisa kami ungkapkan," katanya.

Usai menggali keterangan keluarga, saat ini Komnas KIPI masih membutuhkan data tambahan dengan memeriksa jasad almarhum Trio melalui mekanisme otopsi yang dilakukan oleh dokter forensik.

Data tersebut akan dicocokkan dengan laporan uji sterilisasi dan toksisitas vaksin yang sedang berjalan di Laboratorium BPOM RI hingga penyebab pasti wafatnya Trio bisa segera diungkap.

Klaim efektivitas

Pakar imunisasi sekaligus mantan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, Kementerian Kesehatan, Elizabeth Jane Soepardi, mengatakan saat ini lebih dari 1 miliar dosis AstraZeneca telah diterima sekitar 70 otoritas kesehatan di dunia setelah memperoleh Emergency Use Listing (EUL) WHO dan izin penggunaan darurat (EUA).

Dalam tiga kali rangkaian uji klinis, Astrazeneca dinyatakan WHO telah aman dan efektif untuk melindungi orang dari risiko COVID-19 yang sangat serius, termasuk kematian, rawat inap, dan penyakit parah.

National Institute of Health (ISS) di Itali melaporkan pada 35 hari setelah dosis pertama, terdapat penurunan infeksi hingga 80 persen, penurunan rawat inap 90 persen, dan penurunan kematian 95 persen.

Hasil penelitian di Inggris menunjukkan bahwa 21 hari setelah penyuntikan dosis tunggal vaksin AstraZeneca atau Pfizer-BioNTech, terjadi penurunan angka infeksi COVID-19 sampai 65 persen. Ini termasuk penurunan infeksi dengan gejala sampai 74 persen dan penurunan infeksi tanpa gejala yang dilaporkan sampai 57 persen.

Guru Besar Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tjandra Yoga Aditama mengemukakan sebanyak enam negara tetangga Indonesia memiliki sikap beragam dalam penggunaan AstraZeneca bagi penduduknya.

Pakar dari Malaysia menyampaikan bahwa masyarakat setempat dapat memilih vaksin yang mereka percaya, seperti Pfizer, AstraZeneca, Sinovac, CanSinoBio atau Gamaleya.

Pemerintah Singapura hingga Maret 2021 masih dalam proses komunikasi dengan berbagai perusahaan vaksin, termasuk AstraZeneca tentang kemungkinan penggunaannya di negara itu.

Pada akhir April 2021 Food and Drug Administration (BPOM) Thailand telah memberi persetujuan perusahaan Siam Bioscience untuk memproduksi vaksin COVID-19 AstraZeneca untuk kebutuhan dalam negeri pada Juni 2021.

"Yang menarik, pada awal Mei ini, Korea Disease Control and Prevention Agency (KDCA) menyampaikan hasil penelitiannya bahwa vaksin AstraZeneca efektif 86,0 persen. Analisa ini dibuat berdasar data dari lebih dari 3,5 juta masyarakat negara itu yang berusia 60 tahun ke atas, termasuk 521.133 orang yang sudah mendapat dosis pertama vaksin Pfizer atau AstraZeneca," katanya.

Manfaat lebih besar

Efek samping yang jarang terjadi setelah vaksinasi, seperti kebas dan pegal pada daerah penyuntikan, hingga demam tinggi sebaiknya dibandingkan dengan risiko kematian yang akan terjadi akibat penyakit COVID-19. Hingga saat ini, setidaknya 3,36 juta orang telah meninggal karena COVID-19 di seluruh dunia.

“Penggunaan vaksin AstraZeneca tetap terus berjalan dikarenakan vaksinasi COVID-19 membawa manfaat lebih besar,” kata Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi.

Terkait dengan berbagai pelaporan kasus pembekuan darah pascavaksinasi Astrazeneca di beberapa negara dunia, kata Siti Nadia, telah dikonfirmasi bahwa AstraZeneca tidak memicu pembekuan darah.

Dalam kampanye vaksinasi, merupakan hal yang wajar bagi negara untuk melakukan identifikasi potensi efek simpang setelah imunisasi. Namun, hal tersebut tidak berarti bahwa kejadian tersebut terkait dengan vaksinasi itu sendiri.

Kejadian tersebut perlu terus diselidiki untuk memastikan bahwa setiap masalah keamanan vaksin segera ditangani dengan cepat. Tentunya pemberian vaksin didasarkan pada analisis risiko versus manfaat.*
 

Pewarta : Andi Firdaus
Editor : Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024