Jakarta (ANTARA) - Sosok Teguh Esha, penulis novel populer "Ali Topan Anak Jalanan" yang meninggal pada Senin (17/5) pukul 05.30 WIB akibat COVID-19 punya kesan khusus bagi wartawan sekaligus pengusaha Ilham Bintang.
Ilham mengenal Teguh sekitar empat puluh tahun lalu di Press Club/ Kantor PWI Pusat, jalan Veteran, Jakarta Pusat. Saat itu, sedang berlangsung diskusi yang menampilkan Teguh sebagai salah sebagai satu pembicara.
"Saya ingat persis tanggalnya 27 Mei 1980, karena putera saya yang pertama Rezanades Mohammad lahir di RS Budi Kemuliaan hari itu," kata Ilham dalam pernyataanya, Senin.
Teguh sempat mengucapkan selamat pada Ilham dan menyelipkan amplop sebagai kado atas kelahiran puteranya. Bagi Ilham, bukan hanya kadonya yang berkesan (sebanyak Rp50 ribu) yang nilainya masa itu sepertiga biaya persalinan kelas 1 di RS Budi Kemuliaan, tetapi cara Teguh menunjukkan persahabatan.
"Saya nilai luar biasa. Maka itu akan saya kenang selalu sampai kapan pun. Tiap kali Teguh berkunjung ke rumah atau pun ke kantor, saya selalu ingatkan kisah itu. Dia cuma senyum tersipu khas Teguh. Sampai hari ini saya merasa belum pernah membalas kebaikannya," tutur Ilham.
Ilham mengatakan, sikap solider Teguh yang tinggi kepada kawan, tampaknya berkait dengan latar belakangnya yang cukup pahit di masa lalu.
Ayahnya, Achmad Adrai, seorang tukang listrik, meninggal waktu Teguh Esha masih berusia empat tahun. Sejak itulah ibu merangkap jadi bapak, kata Teguh pada Ilham suatu hari.
Pada tahun 1959, ibu Teguh, Wilujeng A. Adrai mengajak keluarganya pindah dari Bangil, Jawa Timur ke Jakarta atas alasan demi pendidikan anak-anaknya.
Ilham berkisah, pada usia belasan tahun di Jakarta itu, Teguh merasakan masa tantangan hidup. Dia dan kakak dan adiknya harus menjajakan pakaian anak-anak yang dijahit ibunya ke Pasar Tanah Abang, atau menjual kantung kertas ke beberapa toko di situ.
Dalam kehidupan yang sulit dan keras, ibunya menetapkan tujuan, yaitu paling tidak anak-anak harus lulus SMA. Upaya itu berhasil.
"Sampai mati pun saya akan mengenang kegigihan ibu. Beliau wanita mulia, sangat memperhatikan pendidikan, moral, dan agama," kata Ilham menirukan ucapan Teguh yang kala itu bersemangat.
Inilah alasan kebanyakan novel Teguh membicarakan soal agama dan moral. Karena pengaruh Ibu, kata Teguh pada Ilham.
"Teguh sering menceritakan alasan yang membuatnya merasa dekat dan bersimpati kepada saya. 'Ada kesamaan dalam keluarga kita Bung Ilham'. Kami juga tiga bersaudara terjun di dunia pers, dari nol," demikian tutur Ilham.
Perjalanan hidup Teguh
Teguh Esha memiliki nama lengkap Teguh Slamet Hidayat Adrai. Pria kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur pada 8 Mei 1947 ini anak ketujuh dari delapan bersaudara. Dua saudaranya yakni sang kakak Kadjat Adrai dan Djoko Prayitno menggumuli dunia jurnalistik dan sastra.
Pria yang pernah menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Departemen Ilmu Politik, Universitas Indonesia dan menjabat sebagai Ketua IMADA (Ikatan Mahasiswa Jakarta) tahun 1973-1975, Wakil Sekretaris Jendral SOMAL (Sekretariat bersama organisasi-organisasi mahasiswa lokal di Indonesia) tahun 1975-1976 itu bersama Kadjat paling dikenal dan produktif menulis novel di tahun 1970-an dan 1980-an.
Karya-karya mereka banyak diangkat menjadi skenario film nasional, salah satunya "Ali Topan Anak Jalanan" yang diadaptasi dari novel berjudul serupa.
Novel "Ali Topan Anak Jalanan" (dirilis pada 1977) inilah yang mengangkat nama Teguh ke puncak popularitas sebagai sosok pengarang penting Indonesia pada masanya.
Lewat novel itu, Teguh memperlihatkan sikapnya yang bebas, dengan gaya bahasa yang kuat dan orisinil. Ia menceritakan dengan lancar kehidupan anak muda Ibukota. Pembangunan watak-watak tokohnya menunjukkan pengetahuannya yang luas mengenai kehidupan serta aspirasi kalangan muda kota MetropolitanJakarta.
Tak hanya versi novel dan film, "Ali Topan Anak Jalanan" juga dihadirkan dalam versi sinetron.
Selain "Ali Topan Anak Jalanan", Teguh juga diketahui mengeluarkan novel "Ali Topan Detektif Partikelir" (1978), "Dewi Beser" (1979), "Dari Januari sampai Desember" (1980), "Izinkan Kami Bercinta (1981)", "Anak Gedongan" (1981), "Dan Penembak Bintang" (1981) dan "Ali Topan Wartawan Jalanan" (2000) .
Teguh Esha mengembuskan napas terakhir pada Senin (17/5) pukul 05.30 WIB di RS Suyoto, Bintaro, Jakarta setelah dirawat sejak 10 Mei 2021 akibat COVID-19. Dia dimakamkan pukul 14.30 WIB dimakamkan di TPU Tanah Kusir dengan protokol COVID-19.
"Saya terakhir kontak dengan ayah tanggal 10 Mei itu melalui telepon. Maklum, karena positif pihak RS melarang keluarga besoek," ujar putra sulung Teguh, Muhammad.
Menurut Muhammad, mendiang Teguh memiliki penyakit penyerta (komorbid) diabetes dan pernah mendapat serangan stroke.
"Sejak dirawat di RS tidak ada kontak dengan almarhum. Tadi sekitar jam 5 subuh lebih sedikit pihak RS mengabarkan ayah sudah tiada," kata Muhammad.
Mendiang Teguh meninggalkan seorang isteri, Ratnanindia Irawati, tujuh anak putra-putri, serta seorang cucu. Muhammad mengatakan, ayahnya sempat berwasiat agar anak dan cucunya rajin membaca Al-Quran.
Ilham mengenal Teguh sekitar empat puluh tahun lalu di Press Club/ Kantor PWI Pusat, jalan Veteran, Jakarta Pusat. Saat itu, sedang berlangsung diskusi yang menampilkan Teguh sebagai salah sebagai satu pembicara.
"Saya ingat persis tanggalnya 27 Mei 1980, karena putera saya yang pertama Rezanades Mohammad lahir di RS Budi Kemuliaan hari itu," kata Ilham dalam pernyataanya, Senin.
Teguh sempat mengucapkan selamat pada Ilham dan menyelipkan amplop sebagai kado atas kelahiran puteranya. Bagi Ilham, bukan hanya kadonya yang berkesan (sebanyak Rp50 ribu) yang nilainya masa itu sepertiga biaya persalinan kelas 1 di RS Budi Kemuliaan, tetapi cara Teguh menunjukkan persahabatan.
"Saya nilai luar biasa. Maka itu akan saya kenang selalu sampai kapan pun. Tiap kali Teguh berkunjung ke rumah atau pun ke kantor, saya selalu ingatkan kisah itu. Dia cuma senyum tersipu khas Teguh. Sampai hari ini saya merasa belum pernah membalas kebaikannya," tutur Ilham.
Ilham mengatakan, sikap solider Teguh yang tinggi kepada kawan, tampaknya berkait dengan latar belakangnya yang cukup pahit di masa lalu.
Ayahnya, Achmad Adrai, seorang tukang listrik, meninggal waktu Teguh Esha masih berusia empat tahun. Sejak itulah ibu merangkap jadi bapak, kata Teguh pada Ilham suatu hari.
Pada tahun 1959, ibu Teguh, Wilujeng A. Adrai mengajak keluarganya pindah dari Bangil, Jawa Timur ke Jakarta atas alasan demi pendidikan anak-anaknya.
Ilham berkisah, pada usia belasan tahun di Jakarta itu, Teguh merasakan masa tantangan hidup. Dia dan kakak dan adiknya harus menjajakan pakaian anak-anak yang dijahit ibunya ke Pasar Tanah Abang, atau menjual kantung kertas ke beberapa toko di situ.
Dalam kehidupan yang sulit dan keras, ibunya menetapkan tujuan, yaitu paling tidak anak-anak harus lulus SMA. Upaya itu berhasil.
"Sampai mati pun saya akan mengenang kegigihan ibu. Beliau wanita mulia, sangat memperhatikan pendidikan, moral, dan agama," kata Ilham menirukan ucapan Teguh yang kala itu bersemangat.
Inilah alasan kebanyakan novel Teguh membicarakan soal agama dan moral. Karena pengaruh Ibu, kata Teguh pada Ilham.
"Teguh sering menceritakan alasan yang membuatnya merasa dekat dan bersimpati kepada saya. 'Ada kesamaan dalam keluarga kita Bung Ilham'. Kami juga tiga bersaudara terjun di dunia pers, dari nol," demikian tutur Ilham.
Perjalanan hidup Teguh
Teguh Esha memiliki nama lengkap Teguh Slamet Hidayat Adrai. Pria kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur pada 8 Mei 1947 ini anak ketujuh dari delapan bersaudara. Dua saudaranya yakni sang kakak Kadjat Adrai dan Djoko Prayitno menggumuli dunia jurnalistik dan sastra.
Pria yang pernah menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Departemen Ilmu Politik, Universitas Indonesia dan menjabat sebagai Ketua IMADA (Ikatan Mahasiswa Jakarta) tahun 1973-1975, Wakil Sekretaris Jendral SOMAL (Sekretariat bersama organisasi-organisasi mahasiswa lokal di Indonesia) tahun 1975-1976 itu bersama Kadjat paling dikenal dan produktif menulis novel di tahun 1970-an dan 1980-an.
Karya-karya mereka banyak diangkat menjadi skenario film nasional, salah satunya "Ali Topan Anak Jalanan" yang diadaptasi dari novel berjudul serupa.
Novel "Ali Topan Anak Jalanan" (dirilis pada 1977) inilah yang mengangkat nama Teguh ke puncak popularitas sebagai sosok pengarang penting Indonesia pada masanya.
Lewat novel itu, Teguh memperlihatkan sikapnya yang bebas, dengan gaya bahasa yang kuat dan orisinil. Ia menceritakan dengan lancar kehidupan anak muda Ibukota. Pembangunan watak-watak tokohnya menunjukkan pengetahuannya yang luas mengenai kehidupan serta aspirasi kalangan muda kota MetropolitanJakarta.
Tak hanya versi novel dan film, "Ali Topan Anak Jalanan" juga dihadirkan dalam versi sinetron.
Selain "Ali Topan Anak Jalanan", Teguh juga diketahui mengeluarkan novel "Ali Topan Detektif Partikelir" (1978), "Dewi Beser" (1979), "Dari Januari sampai Desember" (1980), "Izinkan Kami Bercinta (1981)", "Anak Gedongan" (1981), "Dan Penembak Bintang" (1981) dan "Ali Topan Wartawan Jalanan" (2000) .
Teguh Esha mengembuskan napas terakhir pada Senin (17/5) pukul 05.30 WIB di RS Suyoto, Bintaro, Jakarta setelah dirawat sejak 10 Mei 2021 akibat COVID-19. Dia dimakamkan pukul 14.30 WIB dimakamkan di TPU Tanah Kusir dengan protokol COVID-19.
"Saya terakhir kontak dengan ayah tanggal 10 Mei itu melalui telepon. Maklum, karena positif pihak RS melarang keluarga besoek," ujar putra sulung Teguh, Muhammad.
Menurut Muhammad, mendiang Teguh memiliki penyakit penyerta (komorbid) diabetes dan pernah mendapat serangan stroke.
"Sejak dirawat di RS tidak ada kontak dengan almarhum. Tadi sekitar jam 5 subuh lebih sedikit pihak RS mengabarkan ayah sudah tiada," kata Muhammad.
Mendiang Teguh meninggalkan seorang isteri, Ratnanindia Irawati, tujuh anak putra-putri, serta seorang cucu. Muhammad mengatakan, ayahnya sempat berwasiat agar anak dan cucunya rajin membaca Al-Quran.