Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan menilai kesadaran masyarakat soal kesehatan telinga dan upayanya dalam mencegah gangguan pendengaran masih dinilai kurang.
Plt. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu di Jakarta, Selasa mengatakan gangguan pendengaran merupakan penyebab tertinggi disabilitas secara global dan dampak yang ditimbulkan mengganggu kognitif, psikologi, dan sosial seseorang.
"Hal ini berarti kesehatan pendengaran harus dilakukan secara inklusi mulai dari hulu sampai hilir. Deteksi dini merupakan komponen penting agar pencegahan gangguan pendengaran bisa dikenali sejak dini dan ditindaklanjuti dengan cepat dan tepat," ujarnya dalam webinar peringatan Hari Pendengaran Sedunia yang dipantau dari Jakarta.
Dari data WHO pada tahun 2018, sekitar 466 juta atau 6,1 persen orang di dunia mengalami gangguan pendengaran. Kelompok dewasa menjadi penyumbang angka terbesar yang mencapai 432 juta atau 93 persen sementara sisanya dialami oleh anak-anak sekitar 34 juta orang.
Apabila tidak segera ditangani, WHO memprediksi pada tahun 2030 memperkirakan sebanyak 630 juta orang telah mengalami gangguan pendengaran dan hingga tahun 2050 angka tersebut dapat meningkat hingga lebih dari 900 juta orang.
"WHO memperkirakan dampak ekonomi akibat gangguan ekonomi dan ketulian itu mencapai kurang lebih 750 miliar dolar AS per tahun," katanya.
Adapun Indonesia masuk dalam salah satu negara yang tingkat gangguan pendengarannya tinggi selain Sri Lanka, Myanmar, dan India. Hasil Riskesdas Kemenkes tahun 2013 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia usia 5 tahun ke atas 2,6 persen-nya mengalami gangguan pendengaran, 0,09 persen mengalami ketulian, 18,8 persen ada sumbatan serumen, dan 2,4 persen ada sekret di liang telinga.
Sementara itu, Ketua Perhati KL Jenny Bashiruddin mengatakan rendahnya pengetahuan masyarakat Indonesia perihal kesehatan telinga dan gangguan pendengaran berkaca pada hasil penelitiannya yang dilakukan secara daring.
Dari 2.410 orang yang dimintai keterangan didapatkan hasil bahwa 1.603 orang mengaku tidak mengetahui soal kesehatan telinga, 699 orang moderat, dan 108 orang mengetahuinya dengan baik. Menurut dia, angka itu menjadi gambaran betapa belum pedulinya mayoritas masyarakat akan kesehatan telinga.
"Ternyata pengetahuan masyarakat masih kurang terhadap gangguan pendengaran, kita agak kaget saat melakukan survei dengan responden," kata dia.
Menurutnya, setiap orang dari berbagai tingkatan usia berpeluang mengidap gangguan pendengaran yang disebabkan berbagai faktor. Masalah yang kerap dihadapi seperti infeksi telinga luar, tengah, dan dalam, komplikasi telinga, gangguan pendengaran kongenital, gangguan pendengaran pada usia lanjut, tuli mendadak, dan kotoran yang menyumbat
"Nah masalahnya infeksi telinga merupakan proses kronik sehingga pasien perlu kontrol secara berkala. Karena khawatir apabila tidak di kontrol dia akan menjadi kronik dan mesti dioperasi apabila sudah parah," kata dia.
Maka dari itu, ia mengingatkan serta mengajak masyarakat yang dirasa pendengarannya terganggu untuk segera berkonsultasi dengan layanan kesehatan. Jika dibiarkan berlarut-larut maka khawatir berdampak fatal untuk ke depannya.
"Kebanyakan dari kita membiarkan seolah tidak terjadi apa-apa, tetapi akhirnya bisa fatal," kata dia.
Plt. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu di Jakarta, Selasa mengatakan gangguan pendengaran merupakan penyebab tertinggi disabilitas secara global dan dampak yang ditimbulkan mengganggu kognitif, psikologi, dan sosial seseorang.
"Hal ini berarti kesehatan pendengaran harus dilakukan secara inklusi mulai dari hulu sampai hilir. Deteksi dini merupakan komponen penting agar pencegahan gangguan pendengaran bisa dikenali sejak dini dan ditindaklanjuti dengan cepat dan tepat," ujarnya dalam webinar peringatan Hari Pendengaran Sedunia yang dipantau dari Jakarta.
Dari data WHO pada tahun 2018, sekitar 466 juta atau 6,1 persen orang di dunia mengalami gangguan pendengaran. Kelompok dewasa menjadi penyumbang angka terbesar yang mencapai 432 juta atau 93 persen sementara sisanya dialami oleh anak-anak sekitar 34 juta orang.
Apabila tidak segera ditangani, WHO memprediksi pada tahun 2030 memperkirakan sebanyak 630 juta orang telah mengalami gangguan pendengaran dan hingga tahun 2050 angka tersebut dapat meningkat hingga lebih dari 900 juta orang.
"WHO memperkirakan dampak ekonomi akibat gangguan ekonomi dan ketulian itu mencapai kurang lebih 750 miliar dolar AS per tahun," katanya.
Adapun Indonesia masuk dalam salah satu negara yang tingkat gangguan pendengarannya tinggi selain Sri Lanka, Myanmar, dan India. Hasil Riskesdas Kemenkes tahun 2013 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia usia 5 tahun ke atas 2,6 persen-nya mengalami gangguan pendengaran, 0,09 persen mengalami ketulian, 18,8 persen ada sumbatan serumen, dan 2,4 persen ada sekret di liang telinga.
Sementara itu, Ketua Perhati KL Jenny Bashiruddin mengatakan rendahnya pengetahuan masyarakat Indonesia perihal kesehatan telinga dan gangguan pendengaran berkaca pada hasil penelitiannya yang dilakukan secara daring.
Dari 2.410 orang yang dimintai keterangan didapatkan hasil bahwa 1.603 orang mengaku tidak mengetahui soal kesehatan telinga, 699 orang moderat, dan 108 orang mengetahuinya dengan baik. Menurut dia, angka itu menjadi gambaran betapa belum pedulinya mayoritas masyarakat akan kesehatan telinga.
"Ternyata pengetahuan masyarakat masih kurang terhadap gangguan pendengaran, kita agak kaget saat melakukan survei dengan responden," kata dia.
Menurutnya, setiap orang dari berbagai tingkatan usia berpeluang mengidap gangguan pendengaran yang disebabkan berbagai faktor. Masalah yang kerap dihadapi seperti infeksi telinga luar, tengah, dan dalam, komplikasi telinga, gangguan pendengaran kongenital, gangguan pendengaran pada usia lanjut, tuli mendadak, dan kotoran yang menyumbat
"Nah masalahnya infeksi telinga merupakan proses kronik sehingga pasien perlu kontrol secara berkala. Karena khawatir apabila tidak di kontrol dia akan menjadi kronik dan mesti dioperasi apabila sudah parah," kata dia.
Maka dari itu, ia mengingatkan serta mengajak masyarakat yang dirasa pendengarannya terganggu untuk segera berkonsultasi dengan layanan kesehatan. Jika dibiarkan berlarut-larut maka khawatir berdampak fatal untuk ke depannya.
"Kebanyakan dari kita membiarkan seolah tidak terjadi apa-apa, tetapi akhirnya bisa fatal," kata dia.