Jakarta (ANTARA) - Guru besar kriminologi Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, mengatakan, pengawasan kepemilikan senjata api oleh pihak berwajib di Indonesia masih lemah sehingga membuat perdagangan gelap senjata api di Indonesia cukup hidup.
"Rezim pengawasan senpi Indonesia termasuk lemah. Pasar gelap cukup hidup. Belum ada aja momen bagi mereka yang punya untuk benar-benar menggunakannya. Kalau misalnya ada, ramai," kata dia, saat dikonfirmasi ANTARA di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan bahwa Ombudsman RI pernah merilis temuan maladministrasi terkait kelemahan pengawasan kepemilikan senjata api oleh polisi pada 2019.
Ia mengatakan, hal itu terungkap dari hasil kajian peninjauan sistemik mulai Mei 2018 hingga Januari 2019 dengan mendatangi sejumlah pihak, yaitu Polda Sumatera Utara, Polda Jawa Tengah, Polda Metro Jaya, Polda Jawa Timur, dan Polda Sulawesi Selatan serta kunjungan ke beberapa pihak lain.
Lebih lanjut, Meliala menjelaskan, untuk memahami persoalan senjata api perlu merujuk pada jenis senjatanya.
Ia mengatakan ada tiga jenis senjata yang beredar di masyarakat yakni senjata organik, senjata rakitan, senjata impor atau versi gun, dan soft gun.
Untuk senjata organik, kata dia, tergantung pada pengawasan satuan yang memilikinya. Senjata itu bisa jadi dicuri dari gudang senjata, digunakan secara salah oleh petugas, atau dipinjamkan sehingga disalahgunakan.
"Untuk senjata rakitan ada dua tipe, semi rakitan yang berasal dari daerah konflik, dan rakitan dari dalam negeri sendiri," ujar dia.
Sedangkan untuk tipe rakitan yang berasal dari daerah konflik sudah rendah jumlahnya. Tetapi untuk senjata rakitan produksi dalam negeri, seiring semakin canggihnya teknologi bubutan, masih dihasilkan pabrik-pabrik, di antaranya di Cipacing, Bubut Utara, dan produksi tradisional lain.
"Kemungkinan maraknya peredaran senjata rakitan produksi rumah industri ini karena pasarnya yang tinggi, sehingga produksinya banyak," ujarnya.
Sementara itu, untuk versi gun atau senjata impor, kata dia, juga tidak bisa dikontrol.
Untuk tipe senjata itu hanya boleh dipegang oleh anggota Perbakin, tetapi ketika izinnya telah habis tidak ada yang bisa mengontrol senjata masih dipegang atau ditarik.
Perkembangan yang terjadi saat ini, kata dia, peredaran soft gun yang muncul tanpa hukum. Untuk itu dia menyarankan agar UU Darurat Nomor 12/1951 tentang kepemilikan senjata perlu direvisi.
"Revisi perlu karena Undang-Undang Darurat yang ada saat ini belum mencakup tentang soft gun ini. Karena ini termasuk jenis senjata yang bisa mematikan," ujarnya.
"Rezim pengawasan senpi Indonesia termasuk lemah. Pasar gelap cukup hidup. Belum ada aja momen bagi mereka yang punya untuk benar-benar menggunakannya. Kalau misalnya ada, ramai," kata dia, saat dikonfirmasi ANTARA di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan bahwa Ombudsman RI pernah merilis temuan maladministrasi terkait kelemahan pengawasan kepemilikan senjata api oleh polisi pada 2019.
Ia mengatakan, hal itu terungkap dari hasil kajian peninjauan sistemik mulai Mei 2018 hingga Januari 2019 dengan mendatangi sejumlah pihak, yaitu Polda Sumatera Utara, Polda Jawa Tengah, Polda Metro Jaya, Polda Jawa Timur, dan Polda Sulawesi Selatan serta kunjungan ke beberapa pihak lain.
Lebih lanjut, Meliala menjelaskan, untuk memahami persoalan senjata api perlu merujuk pada jenis senjatanya.
Ia mengatakan ada tiga jenis senjata yang beredar di masyarakat yakni senjata organik, senjata rakitan, senjata impor atau versi gun, dan soft gun.
Untuk senjata organik, kata dia, tergantung pada pengawasan satuan yang memilikinya. Senjata itu bisa jadi dicuri dari gudang senjata, digunakan secara salah oleh petugas, atau dipinjamkan sehingga disalahgunakan.
"Untuk senjata rakitan ada dua tipe, semi rakitan yang berasal dari daerah konflik, dan rakitan dari dalam negeri sendiri," ujar dia.
Sedangkan untuk tipe rakitan yang berasal dari daerah konflik sudah rendah jumlahnya. Tetapi untuk senjata rakitan produksi dalam negeri, seiring semakin canggihnya teknologi bubutan, masih dihasilkan pabrik-pabrik, di antaranya di Cipacing, Bubut Utara, dan produksi tradisional lain.
"Kemungkinan maraknya peredaran senjata rakitan produksi rumah industri ini karena pasarnya yang tinggi, sehingga produksinya banyak," ujarnya.
Sementara itu, untuk versi gun atau senjata impor, kata dia, juga tidak bisa dikontrol.
Untuk tipe senjata itu hanya boleh dipegang oleh anggota Perbakin, tetapi ketika izinnya telah habis tidak ada yang bisa mengontrol senjata masih dipegang atau ditarik.
Perkembangan yang terjadi saat ini, kata dia, peredaran soft gun yang muncul tanpa hukum. Untuk itu dia menyarankan agar UU Darurat Nomor 12/1951 tentang kepemilikan senjata perlu direvisi.
"Revisi perlu karena Undang-Undang Darurat yang ada saat ini belum mencakup tentang soft gun ini. Karena ini termasuk jenis senjata yang bisa mematikan," ujarnya.