Palembang (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan mendorong petani karet memproduksi lateks karena terdapat pasar dalam negeri yang meminta produk ini, di antaranya untuk campuran pembuatan aspal.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Rudi Arpian di Palembang, Senin, mengatakan, selama ini petani karet Sumsel terkonsentrasi membuat bahan olah karet (bokar) untuk diekspor setelah diolah oleh pabrik menjadi lembaran-lembaran. Padahal beberapa dekade lalu, petani setempat juga sempat membuat lateks.
“Kini ada kebutuhan lateks untuk aspal karet, yang serapannya dalam negerinya cukup tinggi. Mengapa petani tidak memanfaatkan momen ini,” kata Rudi.
Ia mengatakan, apalagi menjual getah dalam bentuk lateks ini jauh lebih tinggi harganya dibandingkan menjual bokar yang diserap pabrik pengolahan.
“Petani tinggal mengubah kebiasaan saja, ‘nyadap’-nya pagi-pagi sekali tidak bisa siang karena untuk jadi lateks, getahnya harus benar-benar getah yang segar dan bersih,” kata dia.
Sejauh ini, pembuatan lateks banyak dilakukan di Kabupaten Musi Banyuasin karena kabupaten tersebut memprogramkan penggunaan aspal karet untuk pembangunan jalan. Sebanyak Rp100 miliar dana sudah dialokasikan Kementerian PUPR untuk penyerapan lateks di daerah tersebut.
Pemprov berharap, apa yang dilakukan Pemkab Muba ini juga mendapatkan dukungan dari pemerintah kabupaten/kota lain di Sumsel dengan turut memprogramkan penggunaan aspal karet sehingga serapan lateks semakin banyak.
Saat ini, harga lateks di tingkat petani mencapai Rp20.000 per Kg, sementara harga bokar untuk tingkat pengeringan 40 persen sekitar Rp6.000—Rp7.000/Kg.
Hanya saja, ia menambahkan, untuk mendorong petani membuat lateks ini bukan hanya berkaitan dengan persoalan mengubah kebiasaan saja, tapi juga ketersediaan sarana dan prasarana.
Sejauh ini hanya Kabupaten Muba yang telah memiliki beberapa unit mesin centrifuge (mesin yang memisahkan getah dengan air) yang dapat membantu petani membuat lateks.
Pemerintah Kabupaten Muba menyerahkan mesin itu ke Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) yang bertanggung jawab untuk memasarkan lateks.
“Pembuatan lateks ini sebenarnya merupakan peta jalan Sumsel untuk hilirisasi karet, karena turunannya bisa juga dibuat produk seperti sarung tangan, bukan hanya aspal karet, tapi jika tidak mendapatkan dukungan dari berbagai pihak maka sulit untuk terus berlanjut,” kata dia.
Sementara itu, Gubernur Sumsel Herman Deru mengatakan dirinya akan membuat surat edaran ke pemerintah kabupaten/kota di Sumsel untuk memprogramkan pembangunan jalan menggunakan aspal karet.
“Bukan hanya jalan kabupaten, tapi jalan provinsi dan jalan nasional juga akan saya dorong pakai aspal karet,” kata Herman Deru.
Harga karet di tingkat petani anjlok sejak beberapa tahun terakhir seiring dengan melemahnya permintaan global. Di saat pandemi ini, harga sempat bergerak naik pada Oktober namun kemudian turun kembali di kisaran rendah, yakni Rp6.000/Kg di tingkat petani.
Rendahnya harga di tingkat petani itu, sejalan dengan Nilai Tukar Petani perkebunan di Sumsel yang sejak beberapa tahun terakhir tidak pernah mencapai angka indeks 100.
Berdasarkan rilis BPS, NPT perkebunan Sumsel pada Oktober mencapai indeks 99,23, atau rendah dibandingkan NTP perternakan yang mencapai 100,66.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Rudi Arpian di Palembang, Senin, mengatakan, selama ini petani karet Sumsel terkonsentrasi membuat bahan olah karet (bokar) untuk diekspor setelah diolah oleh pabrik menjadi lembaran-lembaran. Padahal beberapa dekade lalu, petani setempat juga sempat membuat lateks.
“Kini ada kebutuhan lateks untuk aspal karet, yang serapannya dalam negerinya cukup tinggi. Mengapa petani tidak memanfaatkan momen ini,” kata Rudi.
Ia mengatakan, apalagi menjual getah dalam bentuk lateks ini jauh lebih tinggi harganya dibandingkan menjual bokar yang diserap pabrik pengolahan.
“Petani tinggal mengubah kebiasaan saja, ‘nyadap’-nya pagi-pagi sekali tidak bisa siang karena untuk jadi lateks, getahnya harus benar-benar getah yang segar dan bersih,” kata dia.
Sejauh ini, pembuatan lateks banyak dilakukan di Kabupaten Musi Banyuasin karena kabupaten tersebut memprogramkan penggunaan aspal karet untuk pembangunan jalan. Sebanyak Rp100 miliar dana sudah dialokasikan Kementerian PUPR untuk penyerapan lateks di daerah tersebut.
Pemprov berharap, apa yang dilakukan Pemkab Muba ini juga mendapatkan dukungan dari pemerintah kabupaten/kota lain di Sumsel dengan turut memprogramkan penggunaan aspal karet sehingga serapan lateks semakin banyak.
Saat ini, harga lateks di tingkat petani mencapai Rp20.000 per Kg, sementara harga bokar untuk tingkat pengeringan 40 persen sekitar Rp6.000—Rp7.000/Kg.
Hanya saja, ia menambahkan, untuk mendorong petani membuat lateks ini bukan hanya berkaitan dengan persoalan mengubah kebiasaan saja, tapi juga ketersediaan sarana dan prasarana.
Sejauh ini hanya Kabupaten Muba yang telah memiliki beberapa unit mesin centrifuge (mesin yang memisahkan getah dengan air) yang dapat membantu petani membuat lateks.
Pemerintah Kabupaten Muba menyerahkan mesin itu ke Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) yang bertanggung jawab untuk memasarkan lateks.
“Pembuatan lateks ini sebenarnya merupakan peta jalan Sumsel untuk hilirisasi karet, karena turunannya bisa juga dibuat produk seperti sarung tangan, bukan hanya aspal karet, tapi jika tidak mendapatkan dukungan dari berbagai pihak maka sulit untuk terus berlanjut,” kata dia.
Sementara itu, Gubernur Sumsel Herman Deru mengatakan dirinya akan membuat surat edaran ke pemerintah kabupaten/kota di Sumsel untuk memprogramkan pembangunan jalan menggunakan aspal karet.
“Bukan hanya jalan kabupaten, tapi jalan provinsi dan jalan nasional juga akan saya dorong pakai aspal karet,” kata Herman Deru.
Harga karet di tingkat petani anjlok sejak beberapa tahun terakhir seiring dengan melemahnya permintaan global. Di saat pandemi ini, harga sempat bergerak naik pada Oktober namun kemudian turun kembali di kisaran rendah, yakni Rp6.000/Kg di tingkat petani.
Rendahnya harga di tingkat petani itu, sejalan dengan Nilai Tukar Petani perkebunan di Sumsel yang sejak beberapa tahun terakhir tidak pernah mencapai angka indeks 100.
Berdasarkan rilis BPS, NPT perkebunan Sumsel pada Oktober mencapai indeks 99,23, atau rendah dibandingkan NTP perternakan yang mencapai 100,66.