Jakarta (ANTARA) - Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli, yang mempersoalkan ambang batas presiden ke Mahkamah Konstitusi mengaku khawatir calon-calon terbaik tidak dapat turut berkompetisi dalam pemilu karena aturan itu.
Dalam sidang pendahuluan uji materi UU Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum yang digelar secara virtual, Senin, dia yang ingin berkompetisi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2024 menyebut kebanyakan calon peserta pemilu tidak mempunyai uang untuk membayar upeti yang diminta partai politik.
"Yang terjadi adalah begitu mereka terpilih, mereka lupa tanggung jawabnya kepada rakyat dan kepada bangsa atau konstituennya, malah sibuk mengabdi pada bandar-bandar yang membiayainya," ujar dia, yang mengaku pernah digaet partai politik pada Pemilu dan diminta membayar hampir sebesar Rp1,5 triliun.
Menurut dia, sistem demokrasi yang berlaku di Tanah Air hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu dan menghambat munculnya tokoh-tokoh berkualitas dan berintegritas untuk memasuki kompetisi pesta demokrasi.
Ia mendalilkan aturan ambang batas dalam pasal 222 UU Nomor 7/2017 merupakan penyebab demokrasi di Indonesia tidak mampu membawa keadilan dan kemakmuran untuk rakyat.
"Inilah kesempatan bersejarah, Pak Hakim, untuk mengubah Indonesia, saya ingin kita semua mewariskan satu sistem demokrasi yang betul-betul adil dan amanah," ujar dia.
Ia berharap Mahkamah Konstitusi mengubah pendiriannya soal ambang batas. Apalagi ia yang menggugat bersama rekannya, Abdulrachim Kresno, membawa argumentasi yang disebutnya berbeda dengan permohonan-permohonan terkait ambang batas sebelumnya, di antaranya ambang batas menyebabkan polarisasi di masyarakat dan tidak berdampak pada penguatan sistem presidensial.
Dalam sidang pendahuluan uji materi UU Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum yang digelar secara virtual, Senin, dia yang ingin berkompetisi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2024 menyebut kebanyakan calon peserta pemilu tidak mempunyai uang untuk membayar upeti yang diminta partai politik.
"Yang terjadi adalah begitu mereka terpilih, mereka lupa tanggung jawabnya kepada rakyat dan kepada bangsa atau konstituennya, malah sibuk mengabdi pada bandar-bandar yang membiayainya," ujar dia, yang mengaku pernah digaet partai politik pada Pemilu dan diminta membayar hampir sebesar Rp1,5 triliun.
Menurut dia, sistem demokrasi yang berlaku di Tanah Air hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu dan menghambat munculnya tokoh-tokoh berkualitas dan berintegritas untuk memasuki kompetisi pesta demokrasi.
Ia mendalilkan aturan ambang batas dalam pasal 222 UU Nomor 7/2017 merupakan penyebab demokrasi di Indonesia tidak mampu membawa keadilan dan kemakmuran untuk rakyat.
"Inilah kesempatan bersejarah, Pak Hakim, untuk mengubah Indonesia, saya ingin kita semua mewariskan satu sistem demokrasi yang betul-betul adil dan amanah," ujar dia.
Ia berharap Mahkamah Konstitusi mengubah pendiriannya soal ambang batas. Apalagi ia yang menggugat bersama rekannya, Abdulrachim Kresno, membawa argumentasi yang disebutnya berbeda dengan permohonan-permohonan terkait ambang batas sebelumnya, di antaranya ambang batas menyebabkan polarisasi di masyarakat dan tidak berdampak pada penguatan sistem presidensial.