Semarang (ANTARA) - Slogan "rakyat sehat negara kuat" tidak sebatas angan-angan, tetapi perlu mewujudkannya, atau tidak sekadar perawangan cita-cita yang bakal berujung pada perkataan belaka.
Oleh karena itu, perlu kebulatan hati untuk merealisasikannya meski bangsa ini tengah menghadapi wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Bahkan, pandemi ini telah menjadi bencana kesehatan dan kemanusiaan di dunia yang berimbas pada semua lini kehidupan manusia.
"Berawal dari masalah kesehatan, dampak pandemi Covid-19 telah meluas ke masalah sosial, ekonomi, bahkan ke sektor keuangan," kata Presiden RI Joko Widodo pada Penyampaian Keterangan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) Tahun Anggaran 2021 beserta Nota Keuangannya di depan Rapat Paripurna DPR RI, Jakarta, Jumat (14/8).
Meski demikian, Pemerintah berupaya keras agar bangsa ini lepas dari belenggu virus corona. Tekad ini tampak dalam RUU APBN Tahun Anggaran 2021 yang akan mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar Rp169,7 triliun atau setara 6,2 persen APBN.
Porsi anggaran kesehatan ini lebih besar dari persentase yang diamanatkan dalam Pasal 171 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan minimal sebesar 5 persen dari APBN di luar gaji.
Anggaran kesehatan ini diarahkan terutama untuk peningkatan dan pemerataan dari sisi supply, serta dukungan untuk pengadaan vaksin; meningkatkan nutrisi ibu hamil dan menyusui, balita, penanganan penyakit menular, serta akselerasi penurunan stunting.
Selain itu, untuk perbaikan efektivitas dan keberlanjutan program jaminan kesehatan nasional dan penguatan pencegahan, deteksi, dan respons penyakit, serta sistem kesehatan terintegrasi.
Relaksasi Defisit
Langkah luar biasa itu juga bisa dilihat dengan adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang.
Undang-undang ini, kata Presiden Jokowi, antara lain memberi relaksasi defisit APBN dapat diperlebar di atas 3 persen selama 3 tahun. Pada tahun 2020, APBN telah diubah dengan defisit sebesar 5,07 persen produk domestik bruto (PDB), kemudian meningkat lagi menjadi 6,34 persen PDB.
Dijelaskan pula bahwa pelebaran defisit dilakukan mengingat kebutuhan belanja negara untuk penanganan kesehatan dan perekonomian meningkat pada saat pendapatan negara mengalami penurunan.
Ketua DPR RI Puan Maharani pada Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI di Jakarta, Jumat (14/8), juga menyinggung soal UU No. 2/2020. Melalui undang-undang ini, Pemerintah telah diberikan ruang kewenangan yang memadai dalam menjalankan kebijakan fiskal, kebijakan keuangan negara, dan kebijakan stabilitas sistem keuangan untuk mengatasi pandemi Covid-19 dan dampaknya.
Puan yang juga politikus PDIP menekankan bahwa asas keselamatan rakyat merupakan asas tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Hal ini makin penting ketika bangsa ini dihadapkan dengan wabah virus corona. Apalagi, pandemi ini memberikan ancaman yang sangat serius terhadap keselamatan rakyat, perekonomian negara dan rumah tangga, serta kesejahteraan rakyat.
Hingga 13 Agustus 2020, terdapat 127.083 kasus Covid-19 yang tersebar di 34 provinsi dan 480 kabupaten/kota dengan jumlah yang dinyatakan sembuh sebanyak 82.236 orang dan 5.765 meninggal dunia.
Pada sektor perekonomian nasional, kata Puan, sumber-sumber pertumbuhan ekonomi nasional mengalami kontraksi. Pada kuartal kedua tahun ini, misalnya, pertumbuhan ekonomi berkontraksi hingga minus 5,32 persen (year on year).
Semua sektor dan lapangan usaha rakyat terganggu sehingga mengakibatkan berkurangnya pendapatan, meningkatnya pengangguran, meningkatnya angka kemiskinan, dan menurunnya derajat kesejahteraan rakyat secara luas.
Oleh karena itu, berbagai upaya dan kebijakan negara untuk menyelamatkan rakyat, menurut putri presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, haruslah mendapatkan dukungan dari semua pihak.
Namun, di sisi lain, rakyat juga menuntut kinerja Pemerintah yang optimal dalam bertindak sigap, cepat, dan terpadu dalam menjalankan berbagai program untuk melindungi rakyat, membantu rakyat, dan memulihkan kehidupan sosial dan ekonomi rakyat Indonesia.
Seiring dengan pentingnya kelanjutan pemulihan ekonomi nasional, pada RAPBN 2021 dialokasikan anggaran sekitar Rp356,5 triliun, di antaranya untuk penanganan kesehatan dengan anggaran sekitar Rp25,4 triliun. Anggaran ini, kata Presiden Jokowi, untuk pengadaan vaksin antivirus, sarana dan prasarana kesehatan, laboratorium, litbang, serta bantuan iuran BPJS untuk peserta bukan penerima upah (PBPU).
Belum Ideal
Sementara itu, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Dewi Aryani menilai porsi anggaran kesehatan 6,2 persen jauh dari ideal jika membandingkannya dengan anggaran pendidikan pada tahun 2021 sebesar Rp549,5 triliun atau 20 persen dari APBN.
Kendati demikian, kata anggota Komisi IX (Bidang Kesehatan dan Ketenagakerjaan) DPR RI ini, setidaknya sudah mulai menggunakan angka minimum 5 persen.
"Ini merupakan terobosan pertama kali yang dilakukan oleh Presiden RI Joko Widodo dalam bidang kesehatan. Pasalnya, pada tahun-tahun sebelumnya anggaran kesehatan murni di bawah 3 persen," kata Dr. Dewi Aryani, M.Si di sela-sela mengikuti sidang paripurna secara virtual kepada ANTARA melalui WA-nya, Jumat (14/8).
Pada tahun 2021, menurut Dewi, menjadi titik awal reformasi bidang kesehatan dengan anggaran yang sudah sesuai dengan angka minimal berdasar UU Kesehatan 5 persen dari APBN.
Dewi lantas berharap slogan "rakyat sehat negara kuat" menjadi kenyataan. Namun, untuk mewujudkannya, tidak hanya DPR dan Pemerintah, tetapi semua anak bangsa ini.
Setidaknya masyarakat terus mematuhi aturan protokol kesehatan pada masa pandemi Covid-19 agar semua rencana di bidang kesehatan terwujud secepatnya.
Oleh karena itu, perlu kebulatan hati untuk merealisasikannya meski bangsa ini tengah menghadapi wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Bahkan, pandemi ini telah menjadi bencana kesehatan dan kemanusiaan di dunia yang berimbas pada semua lini kehidupan manusia.
"Berawal dari masalah kesehatan, dampak pandemi Covid-19 telah meluas ke masalah sosial, ekonomi, bahkan ke sektor keuangan," kata Presiden RI Joko Widodo pada Penyampaian Keterangan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) Tahun Anggaran 2021 beserta Nota Keuangannya di depan Rapat Paripurna DPR RI, Jakarta, Jumat (14/8).
Meski demikian, Pemerintah berupaya keras agar bangsa ini lepas dari belenggu virus corona. Tekad ini tampak dalam RUU APBN Tahun Anggaran 2021 yang akan mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar Rp169,7 triliun atau setara 6,2 persen APBN.
Porsi anggaran kesehatan ini lebih besar dari persentase yang diamanatkan dalam Pasal 171 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan minimal sebesar 5 persen dari APBN di luar gaji.
Anggaran kesehatan ini diarahkan terutama untuk peningkatan dan pemerataan dari sisi supply, serta dukungan untuk pengadaan vaksin; meningkatkan nutrisi ibu hamil dan menyusui, balita, penanganan penyakit menular, serta akselerasi penurunan stunting.
Selain itu, untuk perbaikan efektivitas dan keberlanjutan program jaminan kesehatan nasional dan penguatan pencegahan, deteksi, dan respons penyakit, serta sistem kesehatan terintegrasi.
Relaksasi Defisit
Langkah luar biasa itu juga bisa dilihat dengan adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang.
Undang-undang ini, kata Presiden Jokowi, antara lain memberi relaksasi defisit APBN dapat diperlebar di atas 3 persen selama 3 tahun. Pada tahun 2020, APBN telah diubah dengan defisit sebesar 5,07 persen produk domestik bruto (PDB), kemudian meningkat lagi menjadi 6,34 persen PDB.
Dijelaskan pula bahwa pelebaran defisit dilakukan mengingat kebutuhan belanja negara untuk penanganan kesehatan dan perekonomian meningkat pada saat pendapatan negara mengalami penurunan.
Ketua DPR RI Puan Maharani pada Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI di Jakarta, Jumat (14/8), juga menyinggung soal UU No. 2/2020. Melalui undang-undang ini, Pemerintah telah diberikan ruang kewenangan yang memadai dalam menjalankan kebijakan fiskal, kebijakan keuangan negara, dan kebijakan stabilitas sistem keuangan untuk mengatasi pandemi Covid-19 dan dampaknya.
Puan yang juga politikus PDIP menekankan bahwa asas keselamatan rakyat merupakan asas tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Hal ini makin penting ketika bangsa ini dihadapkan dengan wabah virus corona. Apalagi, pandemi ini memberikan ancaman yang sangat serius terhadap keselamatan rakyat, perekonomian negara dan rumah tangga, serta kesejahteraan rakyat.
Hingga 13 Agustus 2020, terdapat 127.083 kasus Covid-19 yang tersebar di 34 provinsi dan 480 kabupaten/kota dengan jumlah yang dinyatakan sembuh sebanyak 82.236 orang dan 5.765 meninggal dunia.
Pada sektor perekonomian nasional, kata Puan, sumber-sumber pertumbuhan ekonomi nasional mengalami kontraksi. Pada kuartal kedua tahun ini, misalnya, pertumbuhan ekonomi berkontraksi hingga minus 5,32 persen (year on year).
Semua sektor dan lapangan usaha rakyat terganggu sehingga mengakibatkan berkurangnya pendapatan, meningkatnya pengangguran, meningkatnya angka kemiskinan, dan menurunnya derajat kesejahteraan rakyat secara luas.
Oleh karena itu, berbagai upaya dan kebijakan negara untuk menyelamatkan rakyat, menurut putri presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, haruslah mendapatkan dukungan dari semua pihak.
Namun, di sisi lain, rakyat juga menuntut kinerja Pemerintah yang optimal dalam bertindak sigap, cepat, dan terpadu dalam menjalankan berbagai program untuk melindungi rakyat, membantu rakyat, dan memulihkan kehidupan sosial dan ekonomi rakyat Indonesia.
Seiring dengan pentingnya kelanjutan pemulihan ekonomi nasional, pada RAPBN 2021 dialokasikan anggaran sekitar Rp356,5 triliun, di antaranya untuk penanganan kesehatan dengan anggaran sekitar Rp25,4 triliun. Anggaran ini, kata Presiden Jokowi, untuk pengadaan vaksin antivirus, sarana dan prasarana kesehatan, laboratorium, litbang, serta bantuan iuran BPJS untuk peserta bukan penerima upah (PBPU).
Belum Ideal
Sementara itu, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Dewi Aryani menilai porsi anggaran kesehatan 6,2 persen jauh dari ideal jika membandingkannya dengan anggaran pendidikan pada tahun 2021 sebesar Rp549,5 triliun atau 20 persen dari APBN.
Kendati demikian, kata anggota Komisi IX (Bidang Kesehatan dan Ketenagakerjaan) DPR RI ini, setidaknya sudah mulai menggunakan angka minimum 5 persen.
"Ini merupakan terobosan pertama kali yang dilakukan oleh Presiden RI Joko Widodo dalam bidang kesehatan. Pasalnya, pada tahun-tahun sebelumnya anggaran kesehatan murni di bawah 3 persen," kata Dr. Dewi Aryani, M.Si di sela-sela mengikuti sidang paripurna secara virtual kepada ANTARA melalui WA-nya, Jumat (14/8).
Pada tahun 2021, menurut Dewi, menjadi titik awal reformasi bidang kesehatan dengan anggaran yang sudah sesuai dengan angka minimal berdasar UU Kesehatan 5 persen dari APBN.
Dewi lantas berharap slogan "rakyat sehat negara kuat" menjadi kenyataan. Namun, untuk mewujudkannya, tidak hanya DPR dan Pemerintah, tetapi semua anak bangsa ini.
Setidaknya masyarakat terus mematuhi aturan protokol kesehatan pada masa pandemi Covid-19 agar semua rencana di bidang kesehatan terwujud secepatnya.