Jakarta (ANTARA) - Berbagai kasus terkait dugaan perdagangan orang serta kerja paksa yang menimpa anak buah kapal (ABK) berkebangsaan Indonesia di kapal ikan asing sebenarnya merupakan fenomena puncak gunung es karena banyak dari kasus itu yang tidak terekspos.

"Kasus-kasus ini adalah puncak gunung es. Dalam catatan kami, tahun 2017 ada sekitar 1.200-an kasus yang kami tangani terkait dengan pelaut. Tahun 2018 juga sama sekitar 1.200-an, 2019 ada 1.095 kasus yang kami tangani," kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Judha Nugraha dalam diskusi daring mengenai kejahatan pada industri perikanan tangkap yang digelar di Jakarta, Rabu.

Judha Nugraha mengingatkan bahwa dengan tereksposnya beberapa kasus di media sosial seperti pelarungan jenazah WNI di laut lepas oleh kapal ikan asing sangat mengusik rasa kemanusiaan melihat saudara sebangsa diperlakukan demikian.

Menurut dia, hal yang penting dilakukan adalah melaksanakan pembenahan tata kelola migrasi yang merupakan jawaban agar awak kapal perikanan Indonesia dapat memperoleh perlindungan yang lebih baik.

Untuk itu, Judha menginginkan agar perlindungan sudah dilakukan sejak awal sejak dilakukannya perekrutan. Namun masalahnya, banyak awak kapal yang berangkat tidak melalui prosedur yang semestinya.

Pihak KBRI di berbagai negara sudah melakukan berbagai langkah yang semestinya seperti ketika ada ABK menghadapi kasus hukum di luar negeri, maka KBRI memberikan pendampingan.

Selain itu, Kementerian Luar Negeri juga telah melakukan repatriasi atau pemulangan banyak awak kapal ikan, serta melakukan berbagai diplomasi baik secara bilateral maupun hingga multilateral.

Langkah strategis pemerintah Indonesia dalam upaya memerangi kerja paksa dan perdagangan orang pada sektor perikanan antara lain melalui perbaikan tata kelola, perbaikan Perjanjian Kerja Laut, perbaikan kompetensi dan upaya penegakan hukum.

"Khususnya kepada penegakan hukum, kami mendorong pemberatan hukuman mesti diberikan kepada pelaku perdagangan orang," paparnya.

Sementara itu, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan memaparkan bahwa dalam kurun waktu delapan bulan ini terjadi tujuh insiden dan kasus yang menimpa awak kapal Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera China.

"Dalam periode November 2019 hingga 10 Juni 2020, kami mencatat 73 orang awak kapal Indonesia yang menjadi korban kekerasan ketika bekerja di kapal China dengan rincian tujuh orang meninggal, tiga orang hilang dan 63 orang selamat," kata Abdi Suhufan.

Abdi meminta pemerintah Indonesia memperkuat kerja sama internasional bidang tenaga kerja khususnya bagi awak kapal perikanan yang bekerja di kapal ikan luar negeri agar dapat lebih terlindungi.

Pembicara lainnya, Ketua Dewan Pimpinan Pergerakan Pelaut Indonesia Sulawesi Utara, Anwar Dalewa mendesak aparat kepolisian untuk segera menyelesaikan kasus kerja paksa dan perdagangan orang yang dialami awak kapal Indonesia secara tuntas dan transparan.

National Programme Coordinator untuk Counter-Trafficking and Labour Migration Unit (CTLM) di IOM Indonesia, Among Pundhi Resi mengatakan tantangan pengungkapan tindak pidana perdagangan orang di bidang perikanan tangkap sangat kompleks sebab berkaitan dengan aktivitas kapal tangkap yang sulit dideteksi, koordinasi antarnegara yang terlibat, serta pemahaman isu perdagangan orang dan isu kewilayahan serta tanggung jawab wilayah.


 

Pewarta : M Razi Rahman
Editor : Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024