Medan (ANTARA) - BPJAMSOSTEK melalui RUU Omnibus Law Cipta Kerja diminta merancang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk memberi santunan kepada pekerja/buruh selama menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam jangka tertentu.
Direktur Perencanaan Strategis dan TI BPJAMSOSTEK Sumarjono dalam sosialisasi peningkatan manfaat jaminan sosial tenaga kerja di Medan, Rabu, mengatakan kajian tentang JKP sedang dilakukan dengan mendengar masukan dan diskusi dengan pihak terkait, termasuk dari lembaga internasional.
"JKP sudah dilakukan di sejumlah negara, seperti Malaysia dan Vietnam. Jadi bukan program baru di dunia jaminan sosial (social security)," kata direktur yang suka menulis itu.
Hanya saja, kata dia, dalam pelaksanaan di Indonesia perlu penyesuaian.
Terkait iuran (premi) untuk program tersebut, Sumarjono menyatakan hal itu berhubungan erat dengan seberapa besar manfaat yang harus diberikan.
"Pertanyaannya, seberapa besar iuran yang harus disisihkan pekerja dan pemberi kerja (pengusaha, red.) berkaitan erat dengan seberapa besar manfaat yang harus diberikan BPJAMSOSTEK kepada pekerja," ujar dia.
Terdapat beberapa skema, misalnya santunan (pendapatan pengganti selama di-PHK) yang besarannya lebih rendah (80-75 persen) dari (upah saat bekerja) pada bulan pertama ter-PHK, lalu mengecil lagi hingga enam bulan atau setahun kemudian, sesuai dengan kesepakatan.
Ia mengharapkan selama enam bulan atau setahun, pekerja mendapatkan pekerjaan baru dan bisa meneruskan kepesertaannya di BPJAMSOSTEK.
Ketika ditanya apakah program JKP menjadi pengganti pesangon bagi pekerja, Sumarjono mengatakan hal itu di luar kewenangannya, karena BPJAMSOSTEK hanya diminta mempersiapkan JKP.
"Saya pribadi berharap bukan pengganti. Saya berharap tetap ada uang pesangon bagi pekerja yang di-PHK," ujar direktur kelahiran Kulon Progo, Yogyakarta itu.
Direktur Perencanaan Strategis dan TI BPJAMSOSTEK Sumarjono dalam sosialisasi peningkatan manfaat jaminan sosial tenaga kerja di Medan, Rabu, mengatakan kajian tentang JKP sedang dilakukan dengan mendengar masukan dan diskusi dengan pihak terkait, termasuk dari lembaga internasional.
"JKP sudah dilakukan di sejumlah negara, seperti Malaysia dan Vietnam. Jadi bukan program baru di dunia jaminan sosial (social security)," kata direktur yang suka menulis itu.
Hanya saja, kata dia, dalam pelaksanaan di Indonesia perlu penyesuaian.
Terkait iuran (premi) untuk program tersebut, Sumarjono menyatakan hal itu berhubungan erat dengan seberapa besar manfaat yang harus diberikan.
"Pertanyaannya, seberapa besar iuran yang harus disisihkan pekerja dan pemberi kerja (pengusaha, red.) berkaitan erat dengan seberapa besar manfaat yang harus diberikan BPJAMSOSTEK kepada pekerja," ujar dia.
Terdapat beberapa skema, misalnya santunan (pendapatan pengganti selama di-PHK) yang besarannya lebih rendah (80-75 persen) dari (upah saat bekerja) pada bulan pertama ter-PHK, lalu mengecil lagi hingga enam bulan atau setahun kemudian, sesuai dengan kesepakatan.
Ia mengharapkan selama enam bulan atau setahun, pekerja mendapatkan pekerjaan baru dan bisa meneruskan kepesertaannya di BPJAMSOSTEK.
Ketika ditanya apakah program JKP menjadi pengganti pesangon bagi pekerja, Sumarjono mengatakan hal itu di luar kewenangannya, karena BPJAMSOSTEK hanya diminta mempersiapkan JKP.
"Saya pribadi berharap bukan pengganti. Saya berharap tetap ada uang pesangon bagi pekerja yang di-PHK," ujar direktur kelahiran Kulon Progo, Yogyakarta itu.