Luwuk (ANTARA) - Sampah di mata masyarakat Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, kini bukanlah sebuah masalah, tetapi peluang ekonomi bagi warga, tak hanya di ibu kota kabupaten, tetapi juga sampai ke desa-desa di pedalaman.
Guna memanfaatkan peluang ini, sejak tiga tahun terakhir, pemerintah setempat menerapkan program terobosan yang mereka sebut dengan 'Pinasa' yang lebih fokus dalam mengubah perilaku hidup sehat di kalangan masyarakat, tak hanya sehat fisik tetapi juga lebih sehat ekonomi keluarga.
Pinasa merupakan singkatan dari 'pia na sampah, ala' yang dalam bahasa daerah setempat berarti 'lihat sampah, ambil'.
Program yang terus digaungkan pemerintah di bawah kepemimpinan Bupati Herwin Yatim dan Wabup Mustar Labolo tersebut tampak semakin tertanam dalam benak masyarakat. Program ini memberi kontribusi besar sehingga Kota Luwuk, ibu kota Kabupaten Banggai itu menyabet penghargaan Adipura dua kali berturut-turut yakni 2017 dan tahun 2018.
Di beberapa kecamatan, gerakan moral ini juga terus bertumbuh dan semakin meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan lingkungan. Salah satunya di Desa Paisubuloli, Kecamatan Batui Selatan, yang telah melahirkan sebuah Bank Sampah Montolutusan. Nama Montolutusan diambil dari bahasa Banggai, yang berarti Persaudaraan.
Melalui Bank Sampah tersebut, sampah yang dulunya hanya ditumpuk di satu tempat kemudian dibakar, kini mulai dipilah, lalu dijual ke bank sampah. Itu kemudian menjadi sumber pendapatan bagi warga yang akhirnya semakin sadar bahwa sampah bisa diubah menjadi pendapatan.
Direktur Bank Sampah Montolutusan, Agustin Andrita Diang mengemukakan bahwa awalnya mereka hanya ingin mengelola sampah yang ada di desanya menjadi kerajinan, seperti baju karnaval dan lampion. Potensi sampah plastik yang kian menumpuk di sejumlah tempat merangsang pikiran mereka untuk mencari cara agar masalah sampah dapat teratasi.
Keinginan mereka itu terpantau oleh pihak JOB Pertamina-Medo E&P Tomori Sulawesi (JOB Tomori), salah satu investor migas di daerah itu. Perusahaan ini kemudian memberikan pembinaan dan bantuan pelatihan pengelolaan sampah, hingga tata cara mendirikan Bank Sampah. Melalui dana CSR perusahaan, Bank Sampah ini juga mendapat suplai buku tabungan sebagai bahan pegangan dan evaluasi tabungan nasabah.
Indri, demikian panggilan akrab Agustin menjelaskan semula nasabah mereka hanya lima orang. Tapi sejalan dengan perkembangan dan sosialisasi yang digalakkannya bersama tim, kini nasabahnya naik drastis menjadi 185 orang. Untuk deposit tertinggi saat ini bernilai satu juta rupiah, selebihnya masih ada pada kisaran ratusan ribu rupiah.
Menurut dia, jumlah itu harusnya telah melebihi. Hanya saja, metode bank sampah yang bisa dicairkan dalam tiga bulan sekali, juga dimanfaatkan warga untuk mencairkan tabungan dan digunakan sebagai modal pembelanjaan sembako dan kebutuhan sekolah anak-anak.
Indri mengungkapkan awal penjualan sampah dari hasil pengumpulan oleh nasabah, pengelola memperoleh uang Rp3.000.000. Uang tersebut dipakai membeli sembako di Koperasi Bulog untuk dijual kembali ke masyarakat. Begitu seterusnya dana diputar dan kini Bank Sampah bekerja sama dengan beberapa distributor sembako di Kota Luwuk.
Pengelola RPIA Siboli memperlihatkan loker tabungan anak yang ada di Desa Sinorang, Kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.(ANTARA/Stevan Pontoh)
Mengetahui pelanggannya merupakan pengelola Bank Sampah, distributor pun memberikan kebijakan khusus. Barang diantarkan terlebih dahulu untuk didistribusikan, tiga hari kemudian barulah ditagih pembayarannya. Hal ini sangat membantu mereka dalam mengelola Bank Sampah dan menyuplai kebutuhan kios-kios sembako di Kecamatan Batui Selatan.
"Jadi kami hampir setiap hari jalan ke desa-desa. Selain mengumpulkan sampah, kami juga menyuplai kebutuhan sembako kepada masyarakat. Bisa dibilang sampah tukar sembako," paparnya bangga saat ditemui di Desa Paisubuloli belum lama ini.
Melihat potensi bank sampah yang terus mengalami peningkatan sementara beberapa jenis sampah seperti kabel bekas, aki, besi tua dan beberapa jenis lagi yang belum dapat dibeli oleh Bank Sampah induk di Kota Luwuk, pengelola Bank Sampah di Batuni Selatan ini berinovasi dengan menjalin kerja sama dengan perusahaan pembeli sampah plastik dan besi tua. Mereka yang sebelumnya kesulitan menjual beberapa jenis sampah ke Bank Sampah Berlian (bank sampah induk) di Luwuk, kini menemukan solusi.
Alhasil, kumpulan sampah masyarakat pun hampir semuanya (85 persen) bisa dibeli. Sebagian dijual ke Bank Sampah kabupaten, sementara sampah lainnya ke pihak ketiga. Tak hanya itu, jenis sampah plastik seperti pembungkus kopi sachet dan sampah deterjen oleh kelompok ibu-ibu setempat dikreasikan menjadi baju karnaval. Itu ditampilkan setiap tahun di bulan Agustus pada ajang tujuh belasan.
"Jadi kami tetap menjual sampah plastik ke bank sampah induk. Tapi beberapa jenis sampah yang tak terbeli kami jual ke pembeli besi tua," jelasnya.
Sinergitas dukung pendidikan
Kehadiran Bank Sampah Montolutusan juga membawa keuntungan tersendiri bagi dunia pendidikan. Pasalnya, saat ini nasabah Bank Sampah dikuasai oleh anak-anak usia sekolah. Mereka yang biasanya sepulang sekolah hanya bermain, kini mulai mengumpulkan plastik bekas kemudian didepositkan ke bank sampah.
Hasilnya, beberapa anak memiliki tabungan hingga ratusan ribu rupiah. Sementara itu, pengelola Bank Sampah tak ingin uang nasabah anak tersebut hanya dihabiskan untuk jajan, maka Indri pun menjalin kerja sama dengan pengelola Rumah Pemberdayaan Ibu dan Anak (RPIA) Paisubuloli. Melalui kerja sama itu, harga sampah deposit anak di Bank Sampah kemudian dialihkan ke tabungan pendidikan yang dikelola RPIA Paisubuloli.
RPIA sendiri mulai dibentuk pada 2013 di Desa Paisubololi disusul 2014 di Desa Sinorang dan 2019 di Desa Bonebalantak.
Ide awal dibentuknya tempat bermain dan belajar bagi anak-anak dan ibu-ibu ini didorong kondisi sosial masyarakat saat perusahaan baru memulai proyek pembangunan kilang Central Processing Plant (CPP) Senoro. Saat ini fasilitas penunjang untuk tumbuh dan berkembangnya kecerdasan anak sangat minim, bahkan sebagian anak usia sekolah justru memilih bermain di kebun dan sungai setelah keluar sekolah. RPIA ini menjadi pusat bermain, belajar dan mengasah kratifitas warga yang kini dirasakan sebagai kebutuhan mendesak.
Alwiah Batukaon (33), fasilitator RPIA Paisubuloli mengemukakan bahwa sinergi antara Bank Sampah dan RPIA cukup menarik bagi warga. Pengumpulan sampah oleh warga dan anak-anak dijual ke bank sampah, kemudian hasil penjualan tersebut dijadikan tabungan pendidikan ke bank swasta lewat RPIA.
Jumlah anak yang memiliki tabungan pendidikan di Paisubuloli kini mencapai 10 orang, dengan nilai tertinggi simpanan sebesar Rp13 juta rupiah dalam dua tahun belakangan.
"Sebelumnya kami memang punya program tabungan anak. Tabungan itu dimulai dari pengumpulan koin yang dianggap bernilai kecil. Saat ini, tabungan anak mulai disinkronkan dengan nilai deposit anak di bank sampah. Hasilnya cukup membantu orang tua siswa," ujar Alwiah.
Tabungan anak yang dikelola oleh RPIA ini banyak diminati. Hanya saja, beberapa orang tua belum bergabung ke tabungan pendidikan. Mereka hanya mengikuti tabungan anak yang dapat ditarik setiap tiga bulan. Meski begitu, Alwiah mengaku bersyukur sebab hasil tabungan anak tersebut ditarik jika orang tua siswa ingin membelikan kebutuhan pendidikan anak.
"Kami tidak memaksakan harus ikut tabungan pendidikan. Kami hanya menawarkan dan beberapa orang tua senang dengan program tabungan pendidikan ini. Bahkan RPIA Siboli juga ikut program ini dan mereka lebih banyak," jelasnya.
secara terpisah, Firnawati Labihi (33), fasilitator RPIA Sinorang, Kecamatan Batui Selatan, menyebut jumlah anak yang tergabung sebagai nasabah tabungan anak telah mencapai 102 orang. Itu adalah pencapaian yang luar biasa dalam tiga tahun belakangan. Dari awalnya yang hanya berkisar 52 anak pada tahun 2017, naik menjadi 76 pada tahun 2018 dan kini mencapai angka 102.
"Bukan hanya anak-anak yang jadi nasabah saat ini. Orang tua juga mulai belajar menyisihkan uangnya untuk tabungan anak. Sehingga nasabah kami terus bertambah," ujarnya.
RPIA Sinorang aktif sejak tahun 2014 silam di Desa Sinorang, Kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai. RPIA Siboli memiliki banyak tantangan saat pertama kali dirintis. Pasalnya, anak-anak suku Bajo yang terkenal suka akan laut tersebut lebih senang mengikuti orang tuanya memancing atau ke kebun ketimbang bersekolah.
Tantangan itu baru berubah perlahan saat sejumlah peralatan peraga pendidikan dikucurkan JOB Tomori melalui program CSR-nya. Anak-anak yang sebelumnya ragu dan enggan mendekat, akhirnya tertarik dan bergabung untuk belajar bersama. RPIA Siboli (Sinorang dan Paisubololi) yang dilengkapi dengan alat musik tradisional kulintang juga menjadi daya tarik tersendiri. 180 anak kini aktif belajar dari 96 kepala keluarga yang ada di perkampungan di tepi pantai itu.
"Saat ini, selain menabung mereka juga bisa belajar, membaca dan bermain musik. Bahkan, kami juga menambah program untuk belajar membaca Alquran. Peminatnya lumayan. Tidak hanya anak-anak tapi ibu-ibu juga ikut. Ada 43 anak dan 25 ibu," kata Firnawati.
Ia menjelaskan dari 10 program unggulan RPIA, tiga program yang menjadi andalan RPIA Siboli. Program itu ialah menabung, termasuk tabungan dari pengumpulan sampah. Kemudian program literasi, dan terakhir ialah pemberian nutrisi anak usai kerja bhakti seminggu sekali.
RPIA Siboli juga mengajarkan para ibu rumah tangga untuk memanfaatkan limbah rumah tangga berupa sampah plastik menjadi bahan berguna. Mulai dari pembuatan bros jilbab dari bahan pita satin, tata boga, serta pemanfaatan koran menjadi tempat tisu dan pembuatan lampion dari gelas plastik.
Guna memanfaatkan peluang ini, sejak tiga tahun terakhir, pemerintah setempat menerapkan program terobosan yang mereka sebut dengan 'Pinasa' yang lebih fokus dalam mengubah perilaku hidup sehat di kalangan masyarakat, tak hanya sehat fisik tetapi juga lebih sehat ekonomi keluarga.
Pinasa merupakan singkatan dari 'pia na sampah, ala' yang dalam bahasa daerah setempat berarti 'lihat sampah, ambil'.
Program yang terus digaungkan pemerintah di bawah kepemimpinan Bupati Herwin Yatim dan Wabup Mustar Labolo tersebut tampak semakin tertanam dalam benak masyarakat. Program ini memberi kontribusi besar sehingga Kota Luwuk, ibu kota Kabupaten Banggai itu menyabet penghargaan Adipura dua kali berturut-turut yakni 2017 dan tahun 2018.
Di beberapa kecamatan, gerakan moral ini juga terus bertumbuh dan semakin meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan lingkungan. Salah satunya di Desa Paisubuloli, Kecamatan Batui Selatan, yang telah melahirkan sebuah Bank Sampah Montolutusan. Nama Montolutusan diambil dari bahasa Banggai, yang berarti Persaudaraan.
Melalui Bank Sampah tersebut, sampah yang dulunya hanya ditumpuk di satu tempat kemudian dibakar, kini mulai dipilah, lalu dijual ke bank sampah. Itu kemudian menjadi sumber pendapatan bagi warga yang akhirnya semakin sadar bahwa sampah bisa diubah menjadi pendapatan.
Direktur Bank Sampah Montolutusan, Agustin Andrita Diang mengemukakan bahwa awalnya mereka hanya ingin mengelola sampah yang ada di desanya menjadi kerajinan, seperti baju karnaval dan lampion. Potensi sampah plastik yang kian menumpuk di sejumlah tempat merangsang pikiran mereka untuk mencari cara agar masalah sampah dapat teratasi.
Keinginan mereka itu terpantau oleh pihak JOB Pertamina-Medo E&P Tomori Sulawesi (JOB Tomori), salah satu investor migas di daerah itu. Perusahaan ini kemudian memberikan pembinaan dan bantuan pelatihan pengelolaan sampah, hingga tata cara mendirikan Bank Sampah. Melalui dana CSR perusahaan, Bank Sampah ini juga mendapat suplai buku tabungan sebagai bahan pegangan dan evaluasi tabungan nasabah.
Indri, demikian panggilan akrab Agustin menjelaskan semula nasabah mereka hanya lima orang. Tapi sejalan dengan perkembangan dan sosialisasi yang digalakkannya bersama tim, kini nasabahnya naik drastis menjadi 185 orang. Untuk deposit tertinggi saat ini bernilai satu juta rupiah, selebihnya masih ada pada kisaran ratusan ribu rupiah.
Menurut dia, jumlah itu harusnya telah melebihi. Hanya saja, metode bank sampah yang bisa dicairkan dalam tiga bulan sekali, juga dimanfaatkan warga untuk mencairkan tabungan dan digunakan sebagai modal pembelanjaan sembako dan kebutuhan sekolah anak-anak.
Indri mengungkapkan awal penjualan sampah dari hasil pengumpulan oleh nasabah, pengelola memperoleh uang Rp3.000.000. Uang tersebut dipakai membeli sembako di Koperasi Bulog untuk dijual kembali ke masyarakat. Begitu seterusnya dana diputar dan kini Bank Sampah bekerja sama dengan beberapa distributor sembako di Kota Luwuk.
Mengetahui pelanggannya merupakan pengelola Bank Sampah, distributor pun memberikan kebijakan khusus. Barang diantarkan terlebih dahulu untuk didistribusikan, tiga hari kemudian barulah ditagih pembayarannya. Hal ini sangat membantu mereka dalam mengelola Bank Sampah dan menyuplai kebutuhan kios-kios sembako di Kecamatan Batui Selatan.
"Jadi kami hampir setiap hari jalan ke desa-desa. Selain mengumpulkan sampah, kami juga menyuplai kebutuhan sembako kepada masyarakat. Bisa dibilang sampah tukar sembako," paparnya bangga saat ditemui di Desa Paisubuloli belum lama ini.
Melihat potensi bank sampah yang terus mengalami peningkatan sementara beberapa jenis sampah seperti kabel bekas, aki, besi tua dan beberapa jenis lagi yang belum dapat dibeli oleh Bank Sampah induk di Kota Luwuk, pengelola Bank Sampah di Batuni Selatan ini berinovasi dengan menjalin kerja sama dengan perusahaan pembeli sampah plastik dan besi tua. Mereka yang sebelumnya kesulitan menjual beberapa jenis sampah ke Bank Sampah Berlian (bank sampah induk) di Luwuk, kini menemukan solusi.
Alhasil, kumpulan sampah masyarakat pun hampir semuanya (85 persen) bisa dibeli. Sebagian dijual ke Bank Sampah kabupaten, sementara sampah lainnya ke pihak ketiga. Tak hanya itu, jenis sampah plastik seperti pembungkus kopi sachet dan sampah deterjen oleh kelompok ibu-ibu setempat dikreasikan menjadi baju karnaval. Itu ditampilkan setiap tahun di bulan Agustus pada ajang tujuh belasan.
"Jadi kami tetap menjual sampah plastik ke bank sampah induk. Tapi beberapa jenis sampah yang tak terbeli kami jual ke pembeli besi tua," jelasnya.
Sinergitas dukung pendidikan
Kehadiran Bank Sampah Montolutusan juga membawa keuntungan tersendiri bagi dunia pendidikan. Pasalnya, saat ini nasabah Bank Sampah dikuasai oleh anak-anak usia sekolah. Mereka yang biasanya sepulang sekolah hanya bermain, kini mulai mengumpulkan plastik bekas kemudian didepositkan ke bank sampah.
Hasilnya, beberapa anak memiliki tabungan hingga ratusan ribu rupiah. Sementara itu, pengelola Bank Sampah tak ingin uang nasabah anak tersebut hanya dihabiskan untuk jajan, maka Indri pun menjalin kerja sama dengan pengelola Rumah Pemberdayaan Ibu dan Anak (RPIA) Paisubuloli. Melalui kerja sama itu, harga sampah deposit anak di Bank Sampah kemudian dialihkan ke tabungan pendidikan yang dikelola RPIA Paisubuloli.
RPIA sendiri mulai dibentuk pada 2013 di Desa Paisubololi disusul 2014 di Desa Sinorang dan 2019 di Desa Bonebalantak.
Ide awal dibentuknya tempat bermain dan belajar bagi anak-anak dan ibu-ibu ini didorong kondisi sosial masyarakat saat perusahaan baru memulai proyek pembangunan kilang Central Processing Plant (CPP) Senoro. Saat ini fasilitas penunjang untuk tumbuh dan berkembangnya kecerdasan anak sangat minim, bahkan sebagian anak usia sekolah justru memilih bermain di kebun dan sungai setelah keluar sekolah. RPIA ini menjadi pusat bermain, belajar dan mengasah kratifitas warga yang kini dirasakan sebagai kebutuhan mendesak.
Alwiah Batukaon (33), fasilitator RPIA Paisubuloli mengemukakan bahwa sinergi antara Bank Sampah dan RPIA cukup menarik bagi warga. Pengumpulan sampah oleh warga dan anak-anak dijual ke bank sampah, kemudian hasil penjualan tersebut dijadikan tabungan pendidikan ke bank swasta lewat RPIA.
Jumlah anak yang memiliki tabungan pendidikan di Paisubuloli kini mencapai 10 orang, dengan nilai tertinggi simpanan sebesar Rp13 juta rupiah dalam dua tahun belakangan.
"Sebelumnya kami memang punya program tabungan anak. Tabungan itu dimulai dari pengumpulan koin yang dianggap bernilai kecil. Saat ini, tabungan anak mulai disinkronkan dengan nilai deposit anak di bank sampah. Hasilnya cukup membantu orang tua siswa," ujar Alwiah.
Tabungan anak yang dikelola oleh RPIA ini banyak diminati. Hanya saja, beberapa orang tua belum bergabung ke tabungan pendidikan. Mereka hanya mengikuti tabungan anak yang dapat ditarik setiap tiga bulan. Meski begitu, Alwiah mengaku bersyukur sebab hasil tabungan anak tersebut ditarik jika orang tua siswa ingin membelikan kebutuhan pendidikan anak.
"Kami tidak memaksakan harus ikut tabungan pendidikan. Kami hanya menawarkan dan beberapa orang tua senang dengan program tabungan pendidikan ini. Bahkan RPIA Siboli juga ikut program ini dan mereka lebih banyak," jelasnya.
secara terpisah, Firnawati Labihi (33), fasilitator RPIA Sinorang, Kecamatan Batui Selatan, menyebut jumlah anak yang tergabung sebagai nasabah tabungan anak telah mencapai 102 orang. Itu adalah pencapaian yang luar biasa dalam tiga tahun belakangan. Dari awalnya yang hanya berkisar 52 anak pada tahun 2017, naik menjadi 76 pada tahun 2018 dan kini mencapai angka 102.
"Bukan hanya anak-anak yang jadi nasabah saat ini. Orang tua juga mulai belajar menyisihkan uangnya untuk tabungan anak. Sehingga nasabah kami terus bertambah," ujarnya.
RPIA Sinorang aktif sejak tahun 2014 silam di Desa Sinorang, Kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai. RPIA Siboli memiliki banyak tantangan saat pertama kali dirintis. Pasalnya, anak-anak suku Bajo yang terkenal suka akan laut tersebut lebih senang mengikuti orang tuanya memancing atau ke kebun ketimbang bersekolah.
Tantangan itu baru berubah perlahan saat sejumlah peralatan peraga pendidikan dikucurkan JOB Tomori melalui program CSR-nya. Anak-anak yang sebelumnya ragu dan enggan mendekat, akhirnya tertarik dan bergabung untuk belajar bersama. RPIA Siboli (Sinorang dan Paisubololi) yang dilengkapi dengan alat musik tradisional kulintang juga menjadi daya tarik tersendiri. 180 anak kini aktif belajar dari 96 kepala keluarga yang ada di perkampungan di tepi pantai itu.
"Saat ini, selain menabung mereka juga bisa belajar, membaca dan bermain musik. Bahkan, kami juga menambah program untuk belajar membaca Alquran. Peminatnya lumayan. Tidak hanya anak-anak tapi ibu-ibu juga ikut. Ada 43 anak dan 25 ibu," kata Firnawati.
Ia menjelaskan dari 10 program unggulan RPIA, tiga program yang menjadi andalan RPIA Siboli. Program itu ialah menabung, termasuk tabungan dari pengumpulan sampah. Kemudian program literasi, dan terakhir ialah pemberian nutrisi anak usai kerja bhakti seminggu sekali.
RPIA Siboli juga mengajarkan para ibu rumah tangga untuk memanfaatkan limbah rumah tangga berupa sampah plastik menjadi bahan berguna. Mulai dari pembuatan bros jilbab dari bahan pita satin, tata boga, serta pemanfaatan koran menjadi tempat tisu dan pembuatan lampion dari gelas plastik.