Palembang (ANTARA) - Sekilas rumah semi permanen berwarna biru muda yang dihuni Asmadi tak ada bedanya dengan puluhan rumah panggung lain di pinggiran Pulau Kemaro, Palembang, Sumatera Selatan.

Namun siapa sangka di dalam rumahnya terdapat ratusan koleksi peninggalan masa pra-Kerajaan Sriwijaya hingga masa Kolonial Belanda. Koleksi itu pun nampak lebih banyak jumlahnya dibanding koleksi museum-museum setempat.

Rumah panggung milik Asmadi yang menghadap langsung ke Sungai Musi tersebut memang sudah dua tahun terakhir menjadi museum pribadi, tempat menyimpan koin-koin, gerabah, dayung kapalm hingga jimat berusia ratusan tahun.

Berbagai koleksi tersebut didapatkan Asmadi dengan menyelam langsung Sungai Musi di Kota Palembang sejak 2017. Ia tergolong penyelam muda jika dibandingkan penyelam lain di Pulau Kemaro yang telah menyelami Sungai Musi sejak puluhan tahun lalu.

Tetapi Asmadi memiliki visi berbeda terhadap koleksi peninggalan tersebut. Ia ingin mengumpulkan semua koleksi harta karun Sriwijaya, begitu para penyelam menyebut semua hasil buruannya di Sungai Musi, lalu memajangnya di museum pribadi.

"Dengan demikian berbagai koleksi ini tak melulu dijual belikan, namun lebih-lebih harus menjadi sarana edukasi sejarah sekaligus daya tarik wisata," kata Asmadi saat Antara menyambangi kediamanya, Sabtu (28/9)

Meski melakoni rutinitas sebagai penyelam tradisional, Asmadi juga tercatat sebagai lulusan sarjana strata satu STISIPOL Candradimuka Palembang tahun 2018. Ia mengambil program pendidikan administrasi negara dan saat ini masih lajang.

Asmadi sendiri lahir di Kota Palembang pada 7 Desember 1995 dan sejak lahir ia sudah menetap di Pulau Kemaro bersama keluarganya, kecintaan Asmadi terhadap kampungnya membuat ia kembali lagi pasca tamat S1 untuk mewujudkan mimpinya membangun Museum Musi Treasure.
 

Aktivitas para penyelam tradisional di Sungai Musi saat memburu harta karun Sriwijaya (ANTARA/Aziz Munajar/19)

                   Bertaruh Nyawa
 

Menyelami Sungai Musi bukan perkara gampang, kata Asmadi. Di dalam Sungai Musi jarak pandangnya 0 meter, sehingga dengan hanya mengandalkan peralatan seadanya saat menyelam, maka nyawa jadi taruhannya.

"Saya sudah sering berada pada keadaan antara hidup dan mati saat menyelam, sebab di dalam kami hanya meraba-raba dasar sungai, kami tidak tahu bahaya apa yang akan datang, itu sebabnya kami wajib membuat perkiraan sebelum menyelam," ujar Asmadi.

Berbekal kompresor dan selang oksigen Asmadi memberanikan diri masuk sampai ke dasar Sungai Musi pada pagi, siang atau bahkan malam hari. Sesampainya di dasar ia segera mengarahkan selang ke berbagai arah agar pasir atau tanah tersedot naik ke kapal, terkadang ia masih harus mengeruk-ngeruk dasar sungai agar probabilitas mendapat benda berharga semakin besar.

Asmadi harus bertahan di dasar sungai hingga dua jam lamanya dengan berbagai resiko, mulai dari suhu dingin hingga potensi pendarahan jika ia tidak cakap melakukan teknik ekualisasi.

Resiko semakin berat seiring dalamnya titik sungai yang diselami. Penyelaman pernah dilakukannya pada kedalaman 15 hingga 40 meter tergantung titik lokasinya.

"Awal-awal sebelum menyelam saya tiga bulan ikut dengan penyelam yang sudah pengalaman, saya diajarkan untuk menciptakan kondisi di dalam sungai, bukan melihat kondisi, sebab semakin ke dalam tekananya akan semakin berbeda," jelas Asmadi.

Bagi Asmadi besarnya resiko menyelam berbanding lurus dengan hasil yang di dapatkan, jika kurang beruntung memang kelompoknya hanya akan mendapatkan koin-koin kuno atau keramik kuno dengan harga jual tidak terlalu tinggi, namun jika tengah beruntung kelompok selamnya bisa mendapatkan emas berbentuk perhiasan dari masa Kerajaan Sriwijaya dengan harga jutaan rupiah.
 


                    Koleksi antik

Benda-benda terbanyak yang didapatkan penyelam tradisional Sungai Musi umumnya koin-koin China, kemudian gerabah, keramik, perhiasan, lembar mantra atau jimat, dayung kapal, dan senjata.

Untuk koleksi koin, Ia memperkirakan ada 8.000 koin lebih simpanannya. Koin-koin tersebut berasal dari masa Dinasti Tang, Yuan, Ming dan Qing yang sezaman dengan Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Darussalam pada abad ke 7 hingga 18.

"Pernah ada kolektor yang beli satu biji koin koleksi saya seharga Rp13 juta, memang koin itu sangat langka menurut si kolektor, tapi ada juga koin lain yang tidak di lirik," jelasnya.

Sementara untuk koleksi gerabah, sebagian teridentifikasi merupakan tinggalan peradaban lokal pada abad ke-2 atau pra Kerajaan Sriwijaya dengan ciri-ciri tidak memiliki corak dan terbuat dari tanah merah, umumnya berbentuk kendi dan toples.

Untuk temuan keramik-keramik menurutnya banyak berasal dari China dengan ciri khas motif hewan serta warna yang kuat, umumnya berbentuk piring atau mangkok.

Selebihnya Asmadi menyimpan sekitar enam batang dayung kapal masa Kerajaan Sriwijaya, berbagai jimat berbahan logam, beragam perhiasan emas dengan kadar hingga 24 karat dan fosil-fosil koin.

Rata-rata koleksi ditemukan di Wilayah 1 Ilir, 3 Ilir dan sekitar PT Pusri yang dahulu diyakini merupakan pusat peradaban tiga zaman, yakni Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Palembang dan Kolonial Belanda.

"Untuk memastikan koleksi itu dari masa yang mana, saya menelitinya lewat katalog, lewat ilmu para senior, lewat teori-teori sejarah, dan lewat pengalaman saya sendiri," kata Asmad yang juga anggota Komunitas Pecinta Antik Sriwijaya (Kompaks Palembang).


 Museum Musi Treasure

Setelah kurang lebih dua tahun menjadi penyelam tradisional, Asmadi mulai merencanakan pendirian sebuah museum untuk menampung semua hasil temuan para penyelam lainnya, sehingga ia mulai jarang menyelam lagi.

"Terakhir saya menyelam dua bulan lalu," katanya.

Di Pulau Kemaro, Asmadi memang tidak sendiri, ada puluhan warga sekitarnya yang sehari-hari menyelami Sungai Musi demi mencari harta karun Sriwijaya, tetapi selama ini hasil temuan tersebut langsung dijual kepada kolektor, sedangkan Asmadi hanya menjual sebagian koleksinya.

"Untuk koleksi-koleksi China seperti koin dan keramik kebanyakan saya jual, tapi koleksi berbau lokal tidak pernah saya jual, sebab kalau yang lokal punya nilai lebih," terang Asmadi.

Sebagian koleksinya juga berasal dari kelompok penyelam yang ia beli dengan harga tertentu, kemudian ia menjualnya lagi lewat facebook atau si kolektor datang langsung ke rumahnya.

Karena koleksi semakin menumpuk di ruang tamu, akhirnya pada Juni 2019 Asmadi nekat mulai membangun museum tepat di belakang rumahnya dengan biaya sendiri.

"Uang hasil menjual berbagai koleksi inilah yang saya pakai untuk membangun museum sendiri," jelas Asmadi.

Berbeda dengan rumahnya yang semi permanen, museum koleksi pribadinya dibuat cor semen permanen dengan panjang 12 meter dan lebar 8 meter. Tapi sayang setelah bagian lantai selesai, proses berikutnya harus terhenti karena ia kekurangan biaya.

"Jika saya hitung-hitung butuh Rp100 juta lebih untuk membangun museum itu," kata Asmadi yang telah merencanakan museumnya dengan nama Musi Treasure.

Ia sendiri enggan menyerahkan koleksinya kepada pemerintah setempat karena khawatir ganti biaya dari pemerintah tidak sebanding dengan harga jual di pasar kolektor.

"Saya yakin Museum Musi Treasure akan berdiri suatu saat nanti, memang urusan dana cukup sulit, tapi selalu ada jalan untuk niatan baik," demikian Asmadi

Saat ini kediaman Asmadi di belakang Pagoda Pulau Kemaro kerap dikunjungi kalangan komunitas belajar yang ingin melihat dan menyentuh langsung berbagai benda kuno, tentu saja memegang benda kuno itu tidak akan bisa mereka lakukan di museum-museum besar.

 


Pewarta : Aziz Munajar
Uploader : Aang Sabarudin
Copyright © ANTARA 2024