Bogor (ANTARA) - Pengamat Sosial Budaya dari Universitas Pakuan Bogor, Jawa Barat, Dr. Agnes Setyowati H., M.Hum menyodorkan dua langkah penyelesaian masalah Kebakaran Hutan dan Lahan (Karlutha) yang melanda Sumatera dan Kalimantan.
"Ada upaya preventif dan upaya rehabilitatif. Meskipun ini dapat juga dikatakan sebagai bencana alam, sulit rasanya untuk mengatakan bahwa manusia tidak terlibat dalam musibah ini," ujarnya kepada ANTARA di Bogor, Kamis.
Perempuan yang merupakan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Pakuan itu menyebutkan bahwa tindakan preventif yang dimaksud adalah menyerukan pentingnya menanamkan budaya mencintai dan merawat lingkungan di masyarakat, khususnya dari kalangan generasi muda.
"Masyarakat harus diberikan pengetahuan dan edukasi tentang dampak negatif dari perusakan lingkungan bagi kehidupan sehingga budaya serta kesadaran memelihara lingkungan akan terbangun sejak awal," terangnya.
Terkait dengan hal itu, Agnes memberikan apresiasi terhadap peran masyarakat adat dengan segala bentuk kearifan lokalnya yang memiliki perhatian yang sangat tinggi terhadap alam.
Menurutnya, masyarakat modern perlu belajar dari masyarakat adat yang dengan tradisinya merawat dan menjaga alam untuk kepentingan bersama.
Sedangkan mengenai upaya rehabilitatif, yaitu mengenai pentingnya seruan untuk menanam pohon sebagai salah satu upaya rehabilitatif dan penghijauan kembali untuk memperbaiki lahan yang telah rusak dan tercemar.
"Dalam skala nasional pemerintah juga harus memberlakukan regulasi dan hukum yang tegas dan ketat terhadap pihak-pihak yang dengan sengaja melakukan perusakan alam," kata Agnes.
Ia percaya bahwa kedua hal tersebut apabila dilakukan dan menjadi budaya di masyarakat, kebakaran hutan dapat diatasi, atau paling tidak dapat diminimalisasi.
Di samping itu, menurut Agnes sebagian besar bencana dan permasalahan lingkungan adalah juga ulah manusia seperti banjir, kebakaran hutan, pencemaran air dan udara dan lain-lain.
Tidak hanya perorangan, ia menganggap berbagai perusahaan atau korporasi juga telah banyak menciptakan permasalahan lingkungan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja.
Maka, ia meminta kepada pemerintah untuk memberikan perhatian lebih pada lingkungan dan tidak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur dan ekonomi.
Menurutnya lingkungan hidup adalah salah satu hal yang sangat sentral dan krusial bagi keberlanjutan hidup manusia.
Seperti diketahui, Karhutla pada tahun 2019 ini merupakan permasalahan nasional yang membawa dampak yang sangat merugikan bagi manusia dan lingkungan.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2019 menyebutkan bahwa kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah mencapai sekitar 328.722 hektare.
Tidak hanya itu, kualitas udara di beberapa wilayah sekitar juga mengalami kategori tidak sehat sehingga banyak aktivitas warga terganggu dan penduduk yang tinggal di permukiman sekitar lokasi kebakaran mengalami permasalahan kesehatan seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).
Akibat kebakaran ini berbagai jenis tumbuhan rusak dan bahkan musnah. Ratusan bahkan ribuan satwa liar juga terkena dampak langsung dari bencana ini. Sebagian besar mati terbakar dan sebagian besar lainnya terpaksa harus bermigrasi karena kehilangan habitatnya.
Secara garis besar, kebakaran hutan dan lahan ini memunculkan dugaan terhadap beberapa pihak yang harus bertanggungjawab atas musibah ini.
Sedikitnya, 185 oknum perorangan dan empat korporat telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kebakaran hutan dan lahan ini. Beberapa di antaranya perusahaan yang dimiliki oleh pemodal dari Malaysia dan Singapura.
Di sisi lain, beberapa pihak mengatakan bahwa karhutla dipicu fenomena alam El Nino yang menimbulkan kemarau panjang dan ada juga yang mengatakan dampak dari kebakaran hutan yang terjadi di Australia.
"Ada upaya preventif dan upaya rehabilitatif. Meskipun ini dapat juga dikatakan sebagai bencana alam, sulit rasanya untuk mengatakan bahwa manusia tidak terlibat dalam musibah ini," ujarnya kepada ANTARA di Bogor, Kamis.
Perempuan yang merupakan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Pakuan itu menyebutkan bahwa tindakan preventif yang dimaksud adalah menyerukan pentingnya menanamkan budaya mencintai dan merawat lingkungan di masyarakat, khususnya dari kalangan generasi muda.
"Masyarakat harus diberikan pengetahuan dan edukasi tentang dampak negatif dari perusakan lingkungan bagi kehidupan sehingga budaya serta kesadaran memelihara lingkungan akan terbangun sejak awal," terangnya.
Terkait dengan hal itu, Agnes memberikan apresiasi terhadap peran masyarakat adat dengan segala bentuk kearifan lokalnya yang memiliki perhatian yang sangat tinggi terhadap alam.
Menurutnya, masyarakat modern perlu belajar dari masyarakat adat yang dengan tradisinya merawat dan menjaga alam untuk kepentingan bersama.
Sedangkan mengenai upaya rehabilitatif, yaitu mengenai pentingnya seruan untuk menanam pohon sebagai salah satu upaya rehabilitatif dan penghijauan kembali untuk memperbaiki lahan yang telah rusak dan tercemar.
"Dalam skala nasional pemerintah juga harus memberlakukan regulasi dan hukum yang tegas dan ketat terhadap pihak-pihak yang dengan sengaja melakukan perusakan alam," kata Agnes.
Ia percaya bahwa kedua hal tersebut apabila dilakukan dan menjadi budaya di masyarakat, kebakaran hutan dapat diatasi, atau paling tidak dapat diminimalisasi.
Di samping itu, menurut Agnes sebagian besar bencana dan permasalahan lingkungan adalah juga ulah manusia seperti banjir, kebakaran hutan, pencemaran air dan udara dan lain-lain.
Tidak hanya perorangan, ia menganggap berbagai perusahaan atau korporasi juga telah banyak menciptakan permasalahan lingkungan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja.
Maka, ia meminta kepada pemerintah untuk memberikan perhatian lebih pada lingkungan dan tidak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur dan ekonomi.
Menurutnya lingkungan hidup adalah salah satu hal yang sangat sentral dan krusial bagi keberlanjutan hidup manusia.
Seperti diketahui, Karhutla pada tahun 2019 ini merupakan permasalahan nasional yang membawa dampak yang sangat merugikan bagi manusia dan lingkungan.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2019 menyebutkan bahwa kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah mencapai sekitar 328.722 hektare.
Tidak hanya itu, kualitas udara di beberapa wilayah sekitar juga mengalami kategori tidak sehat sehingga banyak aktivitas warga terganggu dan penduduk yang tinggal di permukiman sekitar lokasi kebakaran mengalami permasalahan kesehatan seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).
Akibat kebakaran ini berbagai jenis tumbuhan rusak dan bahkan musnah. Ratusan bahkan ribuan satwa liar juga terkena dampak langsung dari bencana ini. Sebagian besar mati terbakar dan sebagian besar lainnya terpaksa harus bermigrasi karena kehilangan habitatnya.
Secara garis besar, kebakaran hutan dan lahan ini memunculkan dugaan terhadap beberapa pihak yang harus bertanggungjawab atas musibah ini.
Sedikitnya, 185 oknum perorangan dan empat korporat telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kebakaran hutan dan lahan ini. Beberapa di antaranya perusahaan yang dimiliki oleh pemodal dari Malaysia dan Singapura.
Di sisi lain, beberapa pihak mengatakan bahwa karhutla dipicu fenomena alam El Nino yang menimbulkan kemarau panjang dan ada juga yang mengatakan dampak dari kebakaran hutan yang terjadi di Australia.