Jakarta (ANTARA) - Ketika seorang wartawan menulis berita, bukan hanya sekadar fakta yang dicantumkan dalam penggalan-penggalan kalimat yang tersusun menjadi informasi yang utuh.

Dalam sebuah berita yang ditulis wartawan, larut pula buah pikir sang jurnalis yang menentukan arah sebuah pendapat. Buku Martabak Isi Senja adalah buah pikir seorang wartawan terhadap suatu isu atau peristiwa yang sehari-hari dilihatnya kemudian disulap menjadi cerita fiksi yang manis, pahit, dan getir.

"Martabak Isi Senja" merupakan buku kumpulan cerita pendek yang ditulis oleh jurnalis bernama Stefanus Briget Susanto yang bekerja di salah satu media massa di Jakarta.

Total ada 17 cerita yang disuguhkan dalam Martabak Isi Senja dengan satu benang merah yaitu kewartawanan pengarang. Apa yang dilihat dan dirasakan pengarang tentang berbagai perkara kehidupan kental tertulis.

Fiksi yang ditulis sangat realistis. Seperti yang tertulis dalam biografi singkat pengarang di akhir buku, "ide tulisannya dipengaruhi pengalaman meliput yang kadang menggelitik bahkan tabu dimuat di media massa."

Stefanus yang terjun ke dunia jurnalistik sejak 2011 mengemas berbagai macam isu kehidupan sosial masyarakat dan pemerintahnya dalam berbagai balutan cerita. Ada yang tajam langsung menghunjam, diceritakan lirih menyayat-nyayat, atau sangat romantis dan manis berbunga-bunga.

Sesekali dalam cerita pendek Martabak Isi Senja dibubuhi lelucon-lelucon bodoh yang memang realitanya sangat lekat di masyarakat kita. Terkadang, seorang jurnalis memang menemukan sebuah fakta yang bahkan lebih fiksi dari cerita fiksi.

Jika wartawan senior sekaligus penulis Seno Gumira Ajidarma punya banyak cerita tentang Sukab dan dunianya yang aneh bin ajaib, wartawan muda Stefanus Susanto memulai Martabak Isi Senja sebagai buku kumpulan cerpen pertamanya.

Buku kumpulan cerpen setebal 213 halaman terbitan penerbit selfpublishing Nulisbuku ini terdapat kisah tentang seorang pembisik pejabat negara, tentang pengalaman penjaga kamar mayat RS Cipto Mangunkusumo saat kerusuhan Mei 98, tentang penari telanjang yang melacur demi menghidupkan keluarga di kampung, tentang pidato pejabat negara yang membosankan, cerita tentang sepasang kekasih yang rela ketinggalan kereta demi berdua berlama-lama, dan tentunya tentang martabak lezat berisikan senja.

Bukan tanpa kritik, salah satu cerpen dalam "Martabak Isi Senja" yang berjudul "Si Lentik", yang mana pengarang mencoba menangkap isu terkait pemberian hak pilih bagi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dalam pemilu, masih terbuka untuk diperdebatkan.

Pandangan penulis tentang isu tersebut, sebagaimana seperti masyarakat kebanyakan, tampak hanya pada permukaan dan kurang mendalami sehingga lahirlah cerita Si Lentik. Sebab hanya ODGJ yang stabil dan mampu menjalani fungsi kesehariannyalah yang diperkenankan untuk mencoblos, di samping UUD 45 juga menjamin hak setiap warga negara secara adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Sindiran, kritik, dan roman dalam "Martabak Isi Senja" mengalun silih berganti sehingga membuat pembaca tak jemu dengan tema dan isu yang itu-itu melulu. Seperti halnya senyum yang akan didapatkan ketika membaca kalimat terakhir dari cerita pendek Martabak Isi Senja sebagai kisa pembuka yang ternyata begitu romantis.
 

Pewarta : Aditya Ramadhan
Uploader : Aang Sabarudin
Copyright © ANTARA 2024