Palembang (ANTARA) - Brand "Kopi Sumsel" disayangkan kurang muncul jika dibandingkan Kopi Lampung, padahal produk kopi asal Lampung tersebut berasal dari sejumlah kabupaten di Sumatera Selatan.
Ketua Dewan Kopi Sumsel Zain Ismed di Palembang, Sabtu, mengatakan, kondisi ini sangat disayangkan padahal Sumsel merupakan penghasil kopi jenis robusta terbesar di Indonesia, dengan memenuhi kebutuhan nasional hingga 90 persen.
Kondisi ini disebabkan pintu perdagangan Kopi Sumsel melalui Provinsi Lampung, lantaran ketidakmampuan pelabuhan di Palembang memberikan harga yang bersaing untuk pelaku eksportir.
"Kopi dari wilayah Sumsel lebih banyak dikenali sebagai Kopi Lampung karena dikirimkan lewat sana, padahal Sumsel ada pelabuhan sendiri, aneh tapi inilah kenyataannya," ujar Zain Ismed yang dijumpai di Festival kopi 'Musi Coffee Culture' di Palembang.
Menurutnya selama ini petani kopi di wilayah Pagaralam, Lahat dan khususnya Ogan Komering Ulu Selatan selalu menjual kopi kepada pengepul yang kemudian membawa produk tersebut ke Lampung.
Berdasarkan catatan Dewan Kopi Sumsel, produksi kopi di tiga kabupaten tersebut mencapai 0,6 - 0,9 ton/hektare setiap tahun.
Ismed mengungkapkan, para petani di tiga kabupaten ini lebih suka menjual ke pengepul asal Lampung karena tidak perlu memenuhi standar kualitas dan bersedia jemput bola. Kondisi ini berbeda jika menjual ke pihak lain.
"Ini menunjukkan terjadi kerumitan di sektor kopi di Sumsel, terutama menyangkut pengolahan pasca panen yang sangat menentukan kualitas kopi," kata dia.
Untuk itu, Dewan Kopi Sumsel akan mengajak Asosiasi Coffee Spesial Indonesia (AKSI), komunitas-komunitas kopi, PT Persatuan Perdagangan Indonesia, perbankan dan pemerintah provinsi untuk membina para petani kopi.
Sementara Direktur Perdagangan Internasional PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Ahmad Yaniarsyah Hasan mengatakan tahun ini perusahaannya akan mengekspor kopi Sumsel sebanyak 500 ribu ton ke Taiwan, Tiongkok, Mesir dan beberapa negara Afrika.
"Setiap tahun kami ekspor kopi, namun hingga tahun 2018 belum pernah ekspor Kopi Sumsel, tahun ini kami akan coba," kata dia.
Kopi yang diekspor tentunya harus memenuhi standar kualitas mutu agar kompetitif dengan produk dari negara lain.
Pada 2019, PPI akan mengekspor Kopi Sumsel sebanyak 200 ton karena dalam beberapa pekan ke depan akan terjadi panen di sejumlah kabupaten.
Untuk mewujudkan keinginan ekspor ini, PPI akan lebih memunculkan brand "Kopi Sumsel" dibandingkan penamaan bersifat lokal seperti Kopi Semende, Kopi Pagaralam dan merek-merek kopi lainnya. Ide ini merujuk keberhasilan brand Kopi Kerinci Jambi, Kopi Gayo Aceh, atau Kopi Ciwidey
"Bisa saja diganti Kopi Sriwijaya, South Sumatra Coffee, atau lainnya supaya go internasional, ini perlu didiskusikan bersama agar tidak ada pihak yang merasa diberatkan," kata dia.
Ketua Dewan Kopi Sumsel Zain Ismed di Palembang, Sabtu, mengatakan, kondisi ini sangat disayangkan padahal Sumsel merupakan penghasil kopi jenis robusta terbesar di Indonesia, dengan memenuhi kebutuhan nasional hingga 90 persen.
Kondisi ini disebabkan pintu perdagangan Kopi Sumsel melalui Provinsi Lampung, lantaran ketidakmampuan pelabuhan di Palembang memberikan harga yang bersaing untuk pelaku eksportir.
"Kopi dari wilayah Sumsel lebih banyak dikenali sebagai Kopi Lampung karena dikirimkan lewat sana, padahal Sumsel ada pelabuhan sendiri, aneh tapi inilah kenyataannya," ujar Zain Ismed yang dijumpai di Festival kopi 'Musi Coffee Culture' di Palembang.
Menurutnya selama ini petani kopi di wilayah Pagaralam, Lahat dan khususnya Ogan Komering Ulu Selatan selalu menjual kopi kepada pengepul yang kemudian membawa produk tersebut ke Lampung.
Berdasarkan catatan Dewan Kopi Sumsel, produksi kopi di tiga kabupaten tersebut mencapai 0,6 - 0,9 ton/hektare setiap tahun.
Ismed mengungkapkan, para petani di tiga kabupaten ini lebih suka menjual ke pengepul asal Lampung karena tidak perlu memenuhi standar kualitas dan bersedia jemput bola. Kondisi ini berbeda jika menjual ke pihak lain.
"Ini menunjukkan terjadi kerumitan di sektor kopi di Sumsel, terutama menyangkut pengolahan pasca panen yang sangat menentukan kualitas kopi," kata dia.
Untuk itu, Dewan Kopi Sumsel akan mengajak Asosiasi Coffee Spesial Indonesia (AKSI), komunitas-komunitas kopi, PT Persatuan Perdagangan Indonesia, perbankan dan pemerintah provinsi untuk membina para petani kopi.
Sementara Direktur Perdagangan Internasional PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Ahmad Yaniarsyah Hasan mengatakan tahun ini perusahaannya akan mengekspor kopi Sumsel sebanyak 500 ribu ton ke Taiwan, Tiongkok, Mesir dan beberapa negara Afrika.
"Setiap tahun kami ekspor kopi, namun hingga tahun 2018 belum pernah ekspor Kopi Sumsel, tahun ini kami akan coba," kata dia.
Kopi yang diekspor tentunya harus memenuhi standar kualitas mutu agar kompetitif dengan produk dari negara lain.
Pada 2019, PPI akan mengekspor Kopi Sumsel sebanyak 200 ton karena dalam beberapa pekan ke depan akan terjadi panen di sejumlah kabupaten.
Untuk mewujudkan keinginan ekspor ini, PPI akan lebih memunculkan brand "Kopi Sumsel" dibandingkan penamaan bersifat lokal seperti Kopi Semende, Kopi Pagaralam dan merek-merek kopi lainnya. Ide ini merujuk keberhasilan brand Kopi Kerinci Jambi, Kopi Gayo Aceh, atau Kopi Ciwidey
"Bisa saja diganti Kopi Sriwijaya, South Sumatra Coffee, atau lainnya supaya go internasional, ini perlu didiskusikan bersama agar tidak ada pihak yang merasa diberatkan," kata dia.