"Dugaan kami mengarah ke oknum illog (pembalakan liar) karena mereka terdesak dengan adanya kelompok tani di hutan. Mereka tidak bisa melakukan illegal logging lagi," kata Kepala Desa Air Buluh Ardian kepada Antara di Pekanbaru, Sabtu.
Desa Air Buluh, Kecamatan Kuantan Mudik, Kabupaten Kuantan Singingi, berjarak sekitar 160 kilometer dari Kota Pekanbaru dan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat. Ia mengatakan di desa itu terdapat 900 hektare hutan yang masuk kawasan Hutan Lindung Bukit Betabuh.
Ia menjelaskan perusakan tersebut kuat dugaan terkait dengan kesadaran warga untuk menjaga hutan lindung dengan membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) Bukik Hijau di Desa Air Buluh pada awal 2017. KTH ini terdiri dari tiga kelompok, yang total jumlahnya mencapai 120 orang. Mayoritas anggotanya dahulu adalah bagian dari kelompok pembalak liar, namun kini sudah insaf karena menyadari pentingnya fungsi hutan lindung itu untuk kelangsungan hidup Desa Air Buluh.
"Ketua regu pembalak liar bahkan ada yang insaf dan masuk kelompok tani hutan ini," ujarnya.
Untuk menjaga hutan tersebut, KTH Bukik Hijau membuat pondok penjagaan berjarak tujuh kilometer dari desa. Pondok itu berupa rumah panggung dari kayu, yang digunakan warga untuk berkumpul dan menjaga hutan. Di sekitar pondok, anggota KTH juga menanami kembali sekitar 70 hektare lahan dengan tanaman jerang.
Sebelum pembakaran pondok terjadi, pembalak liar tersebut juga mengintimidasi KTH dengan menuliskan kalimat peringatan di papan. Warga tidak menyadari pembakar itu hingga sekitar dua hari berlangsung sehingga tak ada yang bisa diselamatkan dari pondok.
"Sampai pohon jernang yang kita tanam juga dicincang-cincang. Tidak mungkin pondok itu terbakar sendiri, karena tidak ada yang tinggal di sana dan sekarang banyak turun hujan," katanya.
Ardian mengatakan, anggota KTH justru balik mengusir para pembalak liar dan perambah dari hutan lindung yang banyak berasal dari Sumatera Barar (Sumbar).
"Pembalakan liar parah sekali dari Sumbar sudah merambah 100 hektare. Warga kami ada juga yang ikut. Mereka gunakan untuk ditanami sawit," katanya.
Warga pada 2017 mulai sadar untuk menjaga Hutan Lindung Bukit Betabuh, karena sumber air yang dikonsumsi warga desa mengalir dari kawasan hutan tersebut. Akibat perambahan dan pembalakan liar yang kerap menggunakan alat berat, terjadi pencemaran lingkungan pada air sungai.
"Hujan sedikit air berubah jadi susu, pencemaran lingkungan. Namun, setelah ada kelompok tani hutan, perambahan bisa berkurang sampai 75 persen, sungai yang kami gunakan untuk mandi dan air minum tetap bersih," katanya.
Ia mengatakan KTH Bukik Hijau akan terus menjaga hutan lindung dan tidak takut dengan intimidasi yang sudah merusak pondok dan kerja keras warga setempat. Dalam waktu dekat perwakilan kelompok tani itu akan melaporkan kasus ini ke instansi terkait. "Lanjutkan kelompok itu ke depannya, tidak terhalang dengan hal-hal seperti ini," ujarnya.
Ia meminta agar Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau yang membawahi kawasan hutan lindung tersebut untuk tidak tinggal diam dan menyelesaikan masalah perambahan Hutan Lindung Bukit Betabuh.
"Kalau didiamkan, masyarakat kini kondisinya sedang panas kemungkinan mereka akan lawan sendiri. Tergantung aparat yang di atas, seharusnya jangan diam saja," katanya.
Sementara itu, Direktur Program Yayasan Hutanriau Melki Rumania mengatakan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau jangan membiarkan masyarakat berjuang sendirian melawan perambah hutan dan pembalak liar. Keberadaan KTH dinilai sudah berhasil mengurangi pembalakan liar di daerah tersebut.
"Anggota kelompok tani itu 100 persen mantan pembalak liar," katanya.
Ia menambahkan, peran Hutan Lindung Bukit Betabuh juga sangat penting untuk kelestarian flora dan fauna terancam punah. Di kawasan itu ada harimau sumatera, rusa sambar, kuau raja, dan trenggiling. Sedangkan, flora yang terancam punah masih ada berupa pohon kayu seminai, ulin atau disebut warga setempat bulian, dan beberapa jenis pohon meranti.