Terik mentari dan debu hitam beterbangan tak dihiraukan Masroya. Ia terus mengais batu sungai dari gundukan batu bara di area penumpukan atau "stockpile" batu bara di kawasan Pelabuhan Pulau Baai, Kota Bengkulu.

Masroya dan 32 perempuan lainnya bekerja memisahkan batu sungai dari gunungan batu bara di stockpile milik perusahaan tambang PT Jambi Resources.

Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, dua hari belakangan mereka terlihat riang dan lebih semangat bekerja. Bukan tanpa alasan, upah mereka dinaikkan perusahaan dari sebelumnya Rp50.000 per hari menjadi Rp75.500 per hari.

"Kami bersemangat karena tuntutan kami mengenai upah sudah dipenuhi perusahaan," kata Masroya dengan senyum mengembang di pipinya saat ditemui Kamis (8/3) pagi.

Setiap hari selama sembilan jam dipotong masa istirahat satu jam, para perempuan yang sebagian besar berstatus ibu-ibu tersebut berjibaku di gunungan batu bara.

Masroya dan puluhan perempuan lainnya yang bekerja di PT Jambi Resources tergolong beruntung sebab upah mereka sudah sesuai UMP. Bila bekerja selama 24 hari per bulan, para perempuan tersebut mendapat upah Rp1.824.000.

Sementara pekerja perempuan lainnya seperti Miswati yang bekerja di PT Bencoolen Carbon Coal hanya diupah Rp50 ribu per hari atau hanya mendapat Rp1.200.000 per bulan atau jauh di bawah angka UMP.

Kondisi serupa juga dialami Daryana yang bekerja memilah batu bara di PT Citra Selaras hanya menerima upah Rp45.000 per hari atau selama 24 hari kerja dalam sebulan hanya mendapat Rp1.080.000.

Potret di atas adalah sebagian kecil persoalan yang dihadapi pekerja perempuan di Provinsi Bengkulu.

Selain upah yang belum layak, ratusan pekerja pemilah batu bara ini juga dihantui penyakit mematikan.

Debu batu bara bila dihirup dalam jangka lama akan menyebabkan penyakit paru-paru hitam atau "blacklung disease".

Selama bertahun-tahun bekerja dan kontak fisik dengan batu bara, para perempuan itu tidak dilengkapi alat pelindung diri yang memadai.

Mereka hanya menggunakan serbet dan kain jilbab untuk menghindari debu masuk ke tubuh melalui mulut dan hidung.

              Tolak Paru Hitam
Ancaman penyakit yang dihadapi para pekerja perempuan tersebut membuat sekelompok aktivis lingkungan dan mahasiswa membentuk Aliansi Tolak Paru Hitam.

Dalam sebulan terakhir, setiap dua hari sekali anggota aliansi membagikan masker berstandar nasional Indonesia kepada para pekerja.

Awalnya mereka mengeluh pusing karena mungkin kekurangan oksigen tapi setelah beberapa waktu sudah terbiasa dan nyaman, kata Koordinator Aliansi Tolak Paru Hitam Bengkulu, Feni Oktavera di sela-sela pembagian masker.

Ia mengatakan aliansi yang digagas Yayasan Kanopi Bengkulu tersebut telah menggalang dana publik untuk pengadaan 1.000 masker berstandar nasional untuk para pekerja.

Pengggalangan dana selama 30 hari telah terkumpul donasi sebesar Rp5.400.000 dan sudah dibelikan masker.

Kami masih membuka donasi untuk para pekerja ini hingga pihak perusahaan menyediakan masker serupa yang standar nasional, ucap Feni yang juga Staf Kajian dan Kampanye Kanopi Bengkulu.

Selain membagikan masker, anggota aliansi juga sudah bertemu dengan Pelaksana Tugas Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah dan menyampaikan ancaman kesehatan yang mengintai para ibu-ibu tersebut.

Menurut Feni, pemerintah daerah perlu mendesak dan memastikan perusahaan menjalankan kewajibannya dengan baik, terutama persoalan upah dan perlindungan kerja dengan menyediakan alat pelindung diri.

Memperingati Hari Perempuan Internasional 2018, para aktivis juga mendesak pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja yang lebih layak bagi perempuan yang menjadi tulang punggung perekonomian keluarga tersebut.

               Krisis Ekologi
Selain desakan untuk memenuhi hak perempuan sebagai pekerja, para aktivis lingkungan juga menyerukan kepada pemerintah untuk mengoreksi secara mendasar kebijakan ekonomi yang bertumpu pada indsutri ekstraktif yang telah merampas sumber-sumber kehidupan perempuan yang berujung pada pemiskinan struktural terhadap perempuan.

Manajer Kampanye Hak-Hak Perempuan Walhi Bengkulu Meike Inda Erlina mengatakan bahwa perempuan mengalami penderitaan dua kali lipat akibat industri ekstraktif, baik secara sosial, budaya, ekonomi maupun lingkungan.

Ia mengatakan akses dan kontrol terhadap sumber-sumber daya alam pun semakin sulit didapatkan perempuan. Ada yang harus terusir dari lahannya akibat kebijakan tata kelola lahan yang salah.

Kondisi ini membuat para perempuan mencari alternatif lain agar bisa bertahan hidup. Mereka rela melakukan pekerjaan apapun termasuk beralih dari petani menjadi buruh kasar.

Menyambut Hari Perempuan Internasional ini, pihaknya menyuarakan aspirasi dan semangat juang para perempuan yang tertindas karena industri ekstraktif.

Walhi secara nasional, kata Meike, mendesak pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk mengoreksi secara mendasar kebijakan ekonomi yang bertumpu pada indsutri ekstraktif yang telah merampas sumber-sumber kehidupan perempuan yang berujung pada pemiskinan struktural terhadap perempuan.

Pemerintah juga didesak melakukan pemulihan atas hak-hak sosial budaya dan ekologis yang selama ini telah dihancurkan oleh pembangunan atas nama pembangunan ekonomi dan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap inisiatif perempuan dan komunitasnya dalam melindungi lingkungan hidup dan mengelola sumber-sumber agrarianya yang kini semakin terancam oleh industri tambang.

Pemerintah juga didesak menghentikan berbagai tindak kekerasan dan kriminalisasi terhadap perempuan yang memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta melindungi perempuan pembela lingkungan hidup dan pejuang agraria dari serangan kekuatan korporasi dan melibatkan partisipasi perempuan secara bermakna dalam pengambilan kebijakan/keputusan dari tingkat desa hingga nasional serta mengakui dan memajukan pengetahuan dan pengalaman perempuan dalam mengelola lingkungan hidup dan sumber-sumber agraria.
(T.H019/M.M. Astro)

Pewarta : Helti Marini Sipayung
Editor : Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024