Jakarta (ANTARA News Sumsel) - Saat P-8A Poseidon buatan Boeing pertama kali tiba di "Singapore Airshow" 2 tahun lalu. Hal ini menimbulkan kegemparan.

Calon pembeli dari bidang pertahanan di sekitar kawasan tergugah oleh pesawat baru tersebut, yang dipandang dapat diandalkan, mampu, dan mutlak diperlukan di wilayah yang "padat" dengan ketegangan maritim, baik di atas maupun di bawah laut.

Hingga 2018, kebutuhan di bidang maritim telah berkembang, misalnya Cina yang telah menghabiskan beberapa tahun terakhir dengan membangun instalasi militer di sekitar Laut Cina Selatan dan kapal selamnya yang telah menjelajah jauh.

Perkembangan yang memunculkan kekhawatiran ini memicu ketertarikan Asia terhadap pesawat yang bisa menyapu hamparan lautan luas.

Jumlah penawaran di pasar juga meningkat. Namun, biaya pesawat khusus tersebut membuat pembelian relatif kecil untuk saat ini.

Dikutip dari Reuters, Deputi Jenderal Manajer Pranata Linud dan Radar Israel Aerospace Industry (IAI) Avishai Izhakian mengatakan bahwa pesawat dengan kemampuan misi khusus merupakan aset strategis.

Meski demikian, minat pasar terhadap alutsista ini sungguh sukar untuk dipahami yang berdampak pada pengadaannya yang biasanya berlangsung relatif sangat panjang dan rumit.

Sejumlah perusahaan yang mencoba peruntungan di sektor ini selain Boeing, antara lain, Saab dari Swedia dengan pesawat patroli maritimnya "Swordfish" yang dikembangkan dengan basis jet bisnis Bombardier Global 6000.

Dari Jepang ada Kawasaki yang sudah ternama dalam membuat pesawat tempur sejak Perang Dunia II, pabrikan ini menawarkan pesawat maritim P-1.

Selebihnya, ada Airbus dengan MPA C295 dan varian patroli maritim yang diusulkan dari tipe A320neo, ATR 72MP dari Leonardo, dan ELI-3360 Maritime Patrol Aircraft dari IAI yang dikembangkan berdasarkan jet bisnis Bombardier Global 5000.

Meski sudah dikenalkan kepada pasar, sejatinya pesawat Swordfish belum diproduksi. P-1 buatan Kawasaki hingga sekarang hanya digunakan oleh Pasukan Bela Diri Jepang yang menjadikannya satu-satunya pembeli untuk tipe tersebut.

Untuk P-8 Orion yang per unitnya seharga sekitar Rp2,3 triliun, masih sebatas India dan Australia yang menjadi satu-satunya pembeli dari wilayah Asia.

Jika menilik pada gelaran Singapore Airshow 2 pekan lalu, tidak ada penjualan besar pesawat patroli maritim yang diumumkan di agenda kedirgantaraan dan pertahanan terbesar di regional itu.

Meski begitu, pabrikan pesawat di pameran tersebut mengatakan bahwa Asia tetap merupakan pasar yang menjanjikan.

Sementara itu, Matt Carreon dari Boeing menilai bahwa masih ada tingkat kebutuhan akan pesawat patroli maritim di kawasan Asia. Dia menegaskan bahwa P-8 Poseidon akan menjadi pilihan yang tepat bagi mereka.

Hal itu dia sampaikan berdasarkan besarnya volume lalu lintas perkapalan, peristiwa pembajakan, hingga iklim politik saat ini yang menjadi alasan betapa pentingnya patroli maritim bagi militer di Asia.

Dua pesawat P-8 dipamerkan di pameran dirgantara tersebut, yang salah satunya digunakan oleh Angkatan Laut Amerika Serikat, sekaligus menjadi pelanggan terbesar sejauh ini dengan 98 unit dipesan dan 64 di antaranya sudah dikirimkan ke AL AS.

Satu lainnya merupakan P-8 milik Angkatan Udara Australia yang telah memesan 12 unit. Inggris dan Norwegia menjadi negara lainnya yang mengumumkan pembelian pesawat tersebut.

Wakil Presiden Penjualan Global Boeing untuk Pertahanan, Ruang dan Keamanan, Gene Cunningham mengatakan bahwa perusahaannya tengah dalam proses diskusi lanjutan dengan Korea Selatan mengenai penjualan P-8 Poseidon dan kemungkinan akan ada keputusan final di akhir 2018.
    
        Sasaran Penjualan
Potensi untuk menghasilkan uang pada penjualan di kawasan Asia-Pasifik hampir mencapai titik terang usai Kementerian Luar Negeri AS pada tahun lalu memberi izin untuk penjualan P-8 seharga sekitar Rp20,2 triliun ke Selandia Baru meski belum ada kesepakatan final yang diumumkan.

Selain itu, Malaysia, Indonesia, Vietnam, dan Korea Selatan menjadi calon pembeli untuk pesawat patroli maritim.

Menurut pernyataan Kepala Komunikasi Saab Asia Pasifik Robert Hewson yang dikutip dari Reuters, ini terkait dengan kekhawatiran penyebaran kapal selam yang jarak jangkaunya makin jauh.

Jika dirasa keberadaan kapal selam telah mengkhawatirkan, Saab siap memberikan jalan keluar, katanya menerangkan.

Solusi yang dia maksud ialah dengan menyarankan produknya yaitu "Swordfish" yang diklaim biaya operasionalnya hanya setengah dari biaya pesaingnya dari Boeing, yaitu P-8.

Berbeda dengan Saab yang memberikan iming-iming keuntungan operasional yang rendah, IAI justru mengeluarkan pernyataan yang lebih agresif.

Menurut Izhakian dari IAI, dengan harga yang mahal, P-8 hanya cocok bagi pengguna militer dengan anggaran yang besar. Menurut dia, kriteria tersebut tidak ditemukan pada calon pembeli di kawasan Asia.

Hal ini meninggalkan potensi penjualan baru bagi pesawat patroli maritim yang lebih kecil dan murah namun tetap sarat dengan sensor yang canggih, pungkas Izhakian.

Potensi tersebut yang dilirik IAI untuk menghadirkan ELI-3360, yang disebut sebagai solusi terjangkau berkemampuan lebih bagi calon pembeli.

Seperti Saab dan IAI, Boeing juga merancang pesawat maritimnya dengan berbekal rancang bangung dari pesawat sipil. Dalam hal ini, mengambil rancangan dari pesawat penumpang Boeing 737.

Menampik tudingan pesaingnya, Carreon mengatakan bahwa familiaritas sebuah pesawat terbang yang ditambah kemampuan menambahkan pranata atau teknologi dari pihak ketiga maupun lokal, justru membuat pesawat tersebut tetap menarik bagi pelanggan dengan anggaran yang lebih kecil sekalipun.

Konsumen pun pasti akan terkejut dengan nilai lebih dari apa yang mereka dapatkan, tutur Carreon menambahkan.
   
                  Meningkatnya Anggaran Pertahanan
Boeing memasarkan Poseidon sebagai penerus dari pesawat dengan kemampuan serupa pabrikan Lockheed Martin P-3 Orion yang lebih tua.

Dari seluruh pembeli P-8 Poseidon, hanya India yang tidak menerbangkan P-3 Orion sebelum membeli P-8.

Kawasaki menampilkan model jet P-1 bermesin empat yang menggantikan pesawat Jepang P-3.

Namun, Manajer Proyek Ekspor Pesawat Terbang Kawasaki Hideki Yamaoka mengatakan bahwa secara umum kriteria yang ditawarkan para pelaku industri tersebut terlalu tinggi dan mahal bagi konsumen di Asia.

Solusinya ialah dengan pesawat tak berawak atau drone.

Joseph Song, Wakil Presiden Pengembangan Strategi Internasional di General Atomics Aeronautical, yang membuat drone tempur MQ-9 Reaper, mengatakan bahwa dirinya melihat potensi pertumbuhan segmen ini di Asia.

Menurut ia, misi maritim pada masa depan akan memiliki nilai yang sama pentingnya sebagaimana misi di daratan, didorong dari kebutuhan tinggi sejumlah pelanggan di Asia, seperti Australia, India, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura, serta negara-negara lain yang akan memiliki peran maritim.

Indonesia, potensi untuk mengakuisisi pesawat patroli maritim dari pabrikan luar melalui program MEF II pun terbilang sangat kecil.

Mengingat pesawat dengan peran tersebut masih bergantung pada C-295 buatan PT Dirgantara Indonesia yang bekerja sama dengan Airbus.
(T.R029/D. Kliwantoro)

Pewarta : Roy Rosa Bachtiar
Uploader : Aang Sabarudin
Copyright © ANTARA 2024