Dalam riwayat hidup setiap orang, pengalaman buruk yang menjengkelkan seperti tertipu oleh kawan maupun lawan tentulah pernah terjadi.
Bisa dikatakan bahwa reaksi rata-rata orang yang tertipu adalah marah dan memaki si penipu. Itu reaksi alamaiah dan manusiawi.
Namun, tidak demikian dengan reaksi yang diperlihatkan oleh penyair legendaris Chairil Anwar, yang puisi-puisinya dipandang sebagai tonggak prestasi jagat perpuisian modern Indonesia itu.
Bertolak belakang dengan kebanyakan orang yang memaki si penipu, Chairil justru memaki dirinya sendiri ketika tertipu, siapa pun penipunya, kawan ataupun lawan. Kurang lebih penyair yang menulis sajak indah menghanyutkan bertajuk Senja di Pelabuhan itu berargumen begini: akulah yang bodoh kenapa sampai bisa ditipu.
Sikap penyair yang demikian itu menandakan kebesaran alias kematangan jiwa, tak mencari kambing hitam walau pun jelas-jelas ada pelaku penipuan yang pantas dijadikan kambing hitam.
Sikap berbesar jiwa yang demikian inilah agaknya yang pantas dipetik sebagai pelajaran berharga oleh publik masa kini, teristimewa kaum netizen atau warganet ketika jagat maya marak dengan aksi para penipu. Salah satu kelompok aktor penipu itu, bahkan lebih keji dari sekadar penipu karena sang pelaku juga pemfitnah, adalah pengelola Saracen.
Dengan ribuan akun media sosial untuk beraksi lewat berbagai modus operansi dengan mengunggah beragam konten yang mengecoh, menipu, memfitnah, dan mengadu domba, tak heran jika warganet yang tertipu bukan cuma mereka yang tak terdidik, melainkan juga mereka yang terpelajar.
Unggahan provokasi itu membuat kegaduhan yang memanaskan situasi sosial-politik dalam perbincangan nyata maupun maya. Kampanye politik di media sosial yang penuh konten ajakan untuk memfitnah dan mengadu domba pada Pilpres 2014, Pimilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta telah membangkitkan emosi kebencian dari dua pihak yang bersengketa.
Kini, setelah polisi berhasil mengungkap bahwa Saracen telah melakukan bisnis kebencian lewat ribuan akun di media sosial, para netizen perlu merenungkan kembali faedah pelajaran yang bisa dipetik dari sikap kebesaran jiwa Chairil Anwar ketika menghadapi pengalaman buruk seperti penipuan yang menjengkelkan itu.
Dengan kesadaran bahwa Saracen telah menipu, mengecoh, dan memfitnah, publik dunia maya selayaknya makin waspada dan hati-hati menyikapi konten-konten yang bisa dinilai tak bernalar, menghasut, mengobarkan kebencian rasial, keagamaan, dan antargolongan.
Dengan demikian, energi publik dunia maya tidak perlu dihabiskan untuk mengutuki pengelola Saracen. Lebih dari itu, agaknya yang layak dikutuk justru orang-orang yang menghalalkan segala cara dalam berpolitik dengan membeli jasa kebencian yang ditawarkan kelompok Saracen.
Namun, mengingat dalam pertarungan politik, sejak era manusia berebut kuasa, para politikus cenderung mementingkan hasilnya dan bukan proses meraih kuasa, bisa dimaklumi jika penghalalan segala cara itu terus ditempuh, termasuk dengan membayar pengelola Saracen untuk memfitnah lawan politik.
Terbongkarnya bisnis kotor Saracen bisa menjadi babak baru bagi warganet untuk bersikap dewasa dalam menyongsong pertarungan politik di kemudian hari, dan paling fenomenal adalah Pilpres 2019.
Logikanya, publik tak akan mudah termakan oleh isu-isu murahan yang berangkat dari fitnah tentang capres yang anak PKI-lah, yang orang tuanya tidak jelaslah, dan semacamnya.
Pertarungan politik yang sehat adalah pertarungan profesional, yang berurusan dengan kesanggupan mengelola pemerintahan dan rakyat serta sumber daya yang ada.
Karena pengaruh militer dalam politik masih boleh dibilang signifikan, wacana dalam kampanye politik bisa juga berkutat pada kesanggupan kandidat presiden dan calon wapres dalam mengelola institusi kemiliteran.
Sesungguhnya terlalu banyak wacana dalam kampanye politik yang substansial dan esensial seperti perkara kesanggupan kandidat menanagani korupsi yang terus terjadi, kemampuan politikus capres menangani perkara HAM di masa lalu, perkara rasionalisasi dalam bentuk swastanisasi BUMN yang dijadikan ladang pendanaan politik parpol.
Belum lagi menyangkut wacana tentang visi dan kemampuan capres mengelola sumber daya alam, menjaga kesintasan lingkungan hidup yang kualitasnya terus merosot karena terjadinya pencemaran darat, udara, dan laut.
Tim sukses dalam kampanye pilpres tidak perlu membayar untuk meminta jasa Saracen, tetapi cukup membayar pakar atau konsultan politik tepercaya dalam menyusun materi kampanye maupun menebarkannya lewat akun media sosial.
Jika tim sukses itu merupakan kubu petahana, cukup dengan membeberkan bukti-bukti faktual kerja pemerintahan selama ini, publik akan terinspirasi untuk memilihnya kembali.
Sebaliknya, jika tim sukses itu berasal dari kubu penantang petahana, materi kampanye bisa diambil dari fakta yang terekam dalam liputan pers. Salah satu contoh yang bisa diangkat adalah perkara tuntutan petani Kendeng yang meminta penghentian operasi pabrik semen yang mengancam masa depan pertanian mereka.
Dengan mengemukakan fakta-fakta yang bukan berupa fitnah dan tipuan belaka itulah publik diajak untuk berpikir dewasa dalam berdemokrasi, memilih pemimpin politik yang pantas dipilih karena kemampuannya.
Menggoreng isu agama, suku, etnis, dan antargolongan dalam berpolitik agaknya hanya cocok untuk publik yang berwawasan sempit dan bervisi dangkal. Padahal, sejatinya berpolitik bukan cuma untuk merebut dan mempertahankan kuasa, melainkan juga mengajak warga untuk menjadi cerdas, arif, dan berbesar hati.
Salah satu bentuk kearifan serta kebesaran hati itu bisa ditumbuhkan, antara lain, dengan meneladan pada Chairil Anwar, penyair legendaris yang selalu waspada, tidak mudah mengutuki orang lain sekalipun orang itu jelas-jelas menipunya, merugikannya.
Bisa dikatakan bahwa reaksi rata-rata orang yang tertipu adalah marah dan memaki si penipu. Itu reaksi alamaiah dan manusiawi.
Namun, tidak demikian dengan reaksi yang diperlihatkan oleh penyair legendaris Chairil Anwar, yang puisi-puisinya dipandang sebagai tonggak prestasi jagat perpuisian modern Indonesia itu.
Bertolak belakang dengan kebanyakan orang yang memaki si penipu, Chairil justru memaki dirinya sendiri ketika tertipu, siapa pun penipunya, kawan ataupun lawan. Kurang lebih penyair yang menulis sajak indah menghanyutkan bertajuk Senja di Pelabuhan itu berargumen begini: akulah yang bodoh kenapa sampai bisa ditipu.
Sikap penyair yang demikian itu menandakan kebesaran alias kematangan jiwa, tak mencari kambing hitam walau pun jelas-jelas ada pelaku penipuan yang pantas dijadikan kambing hitam.
Sikap berbesar jiwa yang demikian inilah agaknya yang pantas dipetik sebagai pelajaran berharga oleh publik masa kini, teristimewa kaum netizen atau warganet ketika jagat maya marak dengan aksi para penipu. Salah satu kelompok aktor penipu itu, bahkan lebih keji dari sekadar penipu karena sang pelaku juga pemfitnah, adalah pengelola Saracen.
Dengan ribuan akun media sosial untuk beraksi lewat berbagai modus operansi dengan mengunggah beragam konten yang mengecoh, menipu, memfitnah, dan mengadu domba, tak heran jika warganet yang tertipu bukan cuma mereka yang tak terdidik, melainkan juga mereka yang terpelajar.
Unggahan provokasi itu membuat kegaduhan yang memanaskan situasi sosial-politik dalam perbincangan nyata maupun maya. Kampanye politik di media sosial yang penuh konten ajakan untuk memfitnah dan mengadu domba pada Pilpres 2014, Pimilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta telah membangkitkan emosi kebencian dari dua pihak yang bersengketa.
Kini, setelah polisi berhasil mengungkap bahwa Saracen telah melakukan bisnis kebencian lewat ribuan akun di media sosial, para netizen perlu merenungkan kembali faedah pelajaran yang bisa dipetik dari sikap kebesaran jiwa Chairil Anwar ketika menghadapi pengalaman buruk seperti penipuan yang menjengkelkan itu.
Dengan kesadaran bahwa Saracen telah menipu, mengecoh, dan memfitnah, publik dunia maya selayaknya makin waspada dan hati-hati menyikapi konten-konten yang bisa dinilai tak bernalar, menghasut, mengobarkan kebencian rasial, keagamaan, dan antargolongan.
Dengan demikian, energi publik dunia maya tidak perlu dihabiskan untuk mengutuki pengelola Saracen. Lebih dari itu, agaknya yang layak dikutuk justru orang-orang yang menghalalkan segala cara dalam berpolitik dengan membeli jasa kebencian yang ditawarkan kelompok Saracen.
Namun, mengingat dalam pertarungan politik, sejak era manusia berebut kuasa, para politikus cenderung mementingkan hasilnya dan bukan proses meraih kuasa, bisa dimaklumi jika penghalalan segala cara itu terus ditempuh, termasuk dengan membayar pengelola Saracen untuk memfitnah lawan politik.
Terbongkarnya bisnis kotor Saracen bisa menjadi babak baru bagi warganet untuk bersikap dewasa dalam menyongsong pertarungan politik di kemudian hari, dan paling fenomenal adalah Pilpres 2019.
Logikanya, publik tak akan mudah termakan oleh isu-isu murahan yang berangkat dari fitnah tentang capres yang anak PKI-lah, yang orang tuanya tidak jelaslah, dan semacamnya.
Pertarungan politik yang sehat adalah pertarungan profesional, yang berurusan dengan kesanggupan mengelola pemerintahan dan rakyat serta sumber daya yang ada.
Karena pengaruh militer dalam politik masih boleh dibilang signifikan, wacana dalam kampanye politik bisa juga berkutat pada kesanggupan kandidat presiden dan calon wapres dalam mengelola institusi kemiliteran.
Sesungguhnya terlalu banyak wacana dalam kampanye politik yang substansial dan esensial seperti perkara kesanggupan kandidat menanagani korupsi yang terus terjadi, kemampuan politikus capres menangani perkara HAM di masa lalu, perkara rasionalisasi dalam bentuk swastanisasi BUMN yang dijadikan ladang pendanaan politik parpol.
Belum lagi menyangkut wacana tentang visi dan kemampuan capres mengelola sumber daya alam, menjaga kesintasan lingkungan hidup yang kualitasnya terus merosot karena terjadinya pencemaran darat, udara, dan laut.
Tim sukses dalam kampanye pilpres tidak perlu membayar untuk meminta jasa Saracen, tetapi cukup membayar pakar atau konsultan politik tepercaya dalam menyusun materi kampanye maupun menebarkannya lewat akun media sosial.
Jika tim sukses itu merupakan kubu petahana, cukup dengan membeberkan bukti-bukti faktual kerja pemerintahan selama ini, publik akan terinspirasi untuk memilihnya kembali.
Sebaliknya, jika tim sukses itu berasal dari kubu penantang petahana, materi kampanye bisa diambil dari fakta yang terekam dalam liputan pers. Salah satu contoh yang bisa diangkat adalah perkara tuntutan petani Kendeng yang meminta penghentian operasi pabrik semen yang mengancam masa depan pertanian mereka.
Dengan mengemukakan fakta-fakta yang bukan berupa fitnah dan tipuan belaka itulah publik diajak untuk berpikir dewasa dalam berdemokrasi, memilih pemimpin politik yang pantas dipilih karena kemampuannya.
Menggoreng isu agama, suku, etnis, dan antargolongan dalam berpolitik agaknya hanya cocok untuk publik yang berwawasan sempit dan bervisi dangkal. Padahal, sejatinya berpolitik bukan cuma untuk merebut dan mempertahankan kuasa, melainkan juga mengajak warga untuk menjadi cerdas, arif, dan berbesar hati.
Salah satu bentuk kearifan serta kebesaran hati itu bisa ditumbuhkan, antara lain, dengan meneladan pada Chairil Anwar, penyair legendaris yang selalu waspada, tidak mudah mengutuki orang lain sekalipun orang itu jelas-jelas menipunya, merugikannya.