Palembang (Antarasumsel.com) - Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Informatika dan Komputer (Aptikom) Prof Richardus Eko Indrajit mengatakan mahasiswa prodi komputer seharusnya tidak diwajibkan membuat skripsi.
"Skripsi itu bisa saja disetarakan bagi mahasiswa yang sudah bisa membuat suatu program, games dan animasi maka sejatinya lulus," ucapnya di Palembang, Minggu.
Di negara-negara maju, khususnya bidang ilmu komputer sudah tidak lagi mengenal pembuatan skripsi. Bukankah skripsi itu untuk mengajarkan lulusan cara berpikir runtut dan ilmiah.
Sementara hal itu sudah tercermin dalam suatu program komputer, ujar Eko.
Ia yang hadir sebagai pembicara "Bekraf Developer Day 2017" mengatakan bahkan di Jepang jika ada calon mahasiswa yang mampu membuat program komputer dan mampu melepas aplikasi berserta petunjuknya maka secara otomatis akan dinyatakan lulus ujian dan berhak menyandang gelar sarjana.
"Lantas apa yang terjadi di negeri ini. Saya menganalogikan seperti ini, generasi yang dicetak diharapkan generasi abad 21, kemudian pendidiknya generasi abad 20, dan kampusnya peninggalan abad 19," kata dia.
Ke depan, menurutnya perlu ada perubahan paradigma cara berpikir bagaimana mencetak lulusan mahasiawa komputer karena sesungguhnya yang diharapkan saat ini mereka mampu berdaya saing dengan produk yang dihasilkan.
Salah satu contohnya seperti fenomena yang terjadi pada aplikasi games. Games sangat digemari masyarakat seiring dengan ada telepon seluler android dan internet murah.
Kondisi ini seharusnya menjadi peluang karena games bukan lagi sebatas permainan tapi ladang bisnis.
Games sudah demikian akrab di masyarakat karena bukan hanya sebagai alat hiburan tapi juga dapat jadi media belajar, simulasi, eksperimen dan virtual. Salah satu contohnya, simulasi penjualan saham.
"Saat ini games bukan lagi sesuatu untuk kenyamanan tapi sesuatu yang sangat serius," kata dia.
Namun disayangkan, mahasiswa komputer sendiri kurang menangkap peluang emas ini. Bahkan targetnya hanya menyelesaikan pembuatan games (tugas kuliah) tanpa ada tujuan bahwa produk yang dihasilkan ini dapat dijual.
"Itulah saya katakan perlu berkolaborasi dengan disiplin ilmu lain," kata dia.
Bisnis pembuatan aplikasi games dan animasi hingga kini belum begitu besar sumbangsihnya dari PDB yakni hanya 1,77 persen. Setidaknya baru ada lima perusahaan besar di Indonesia yang menggarap sektor ini.
Akan tetapi kontribusi ini diperkirakan akan bertambah pada tahun-tahun mendatang mengingat industri kreatif sendiri mencatat pertumbuhan tahunan 4,3 persen tahun 2016 dengan menitikberatkan pada tiga sektor yakni fashion, kuliner dan cenderamata.
"Skripsi itu bisa saja disetarakan bagi mahasiswa yang sudah bisa membuat suatu program, games dan animasi maka sejatinya lulus," ucapnya di Palembang, Minggu.
Di negara-negara maju, khususnya bidang ilmu komputer sudah tidak lagi mengenal pembuatan skripsi. Bukankah skripsi itu untuk mengajarkan lulusan cara berpikir runtut dan ilmiah.
Sementara hal itu sudah tercermin dalam suatu program komputer, ujar Eko.
Ia yang hadir sebagai pembicara "Bekraf Developer Day 2017" mengatakan bahkan di Jepang jika ada calon mahasiswa yang mampu membuat program komputer dan mampu melepas aplikasi berserta petunjuknya maka secara otomatis akan dinyatakan lulus ujian dan berhak menyandang gelar sarjana.
"Lantas apa yang terjadi di negeri ini. Saya menganalogikan seperti ini, generasi yang dicetak diharapkan generasi abad 21, kemudian pendidiknya generasi abad 20, dan kampusnya peninggalan abad 19," kata dia.
Ke depan, menurutnya perlu ada perubahan paradigma cara berpikir bagaimana mencetak lulusan mahasiawa komputer karena sesungguhnya yang diharapkan saat ini mereka mampu berdaya saing dengan produk yang dihasilkan.
Salah satu contohnya seperti fenomena yang terjadi pada aplikasi games. Games sangat digemari masyarakat seiring dengan ada telepon seluler android dan internet murah.
Kondisi ini seharusnya menjadi peluang karena games bukan lagi sebatas permainan tapi ladang bisnis.
Games sudah demikian akrab di masyarakat karena bukan hanya sebagai alat hiburan tapi juga dapat jadi media belajar, simulasi, eksperimen dan virtual. Salah satu contohnya, simulasi penjualan saham.
"Saat ini games bukan lagi sesuatu untuk kenyamanan tapi sesuatu yang sangat serius," kata dia.
Namun disayangkan, mahasiswa komputer sendiri kurang menangkap peluang emas ini. Bahkan targetnya hanya menyelesaikan pembuatan games (tugas kuliah) tanpa ada tujuan bahwa produk yang dihasilkan ini dapat dijual.
"Itulah saya katakan perlu berkolaborasi dengan disiplin ilmu lain," kata dia.
Bisnis pembuatan aplikasi games dan animasi hingga kini belum begitu besar sumbangsihnya dari PDB yakni hanya 1,77 persen. Setidaknya baru ada lima perusahaan besar di Indonesia yang menggarap sektor ini.
Akan tetapi kontribusi ini diperkirakan akan bertambah pada tahun-tahun mendatang mengingat industri kreatif sendiri mencatat pertumbuhan tahunan 4,3 persen tahun 2016 dengan menitikberatkan pada tiga sektor yakni fashion, kuliner dan cenderamata.