Jakarta (Antarasumsel.com) - Sejumlah ahli dari beberapa lembaga penelitian lingkungan dan kehutanan menyarankan semua negara pemilik gambut memperbanyak penggunaan pengetahuan lokal yang sukses digunakan mengelola lahan gambut selama ini.
"Pengalaman masyarakat lokal penting didengarkan. Masyarakat juga perlu diberi opsi dalam ikut melaksanakan restorasi, namun juga perlu memastikan kelangsungan hidup mereka di lahan gambut," kata Country Coordinator International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) Indonesia Sonya Dewi dalam Global Landscape Forum (GLF) mengangkat tema Peatlands Matter di Jakarta, Kamis.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa sejauh ini sudah banyak riset tentang lahan gambut dilakukan, banyak literatur soal gambut dihasilkan. Tapi porsi pengetahuan lokal soal pengelolaan gambut masih kurang diperhatikan.
Director General Center for International Forestry Research (CIFOR) Peter Holmgrem mengatakan perlu dipastikan semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, komunitas, akademisi, ahli dapat bekerja sama dalam pengelolaan lahan gambut dengan benar.
Lahan gambut, lanjutnya, sering kali tidak diperhitungkan dalam mendukung pembangunan. Padahal sebenarnya lahan ini penting sebagai sumber kehidupan, yang sayangnya kini banyak menghadapi persoalan.
Dalam Paris Agreement telah disepakati menekan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Dan seperti diketahui lahan gambut juga berperan dalam persoalan emisi, karena itu sudah saatnya gambut lebih diperhatikan.
"Dan kita juga perlu melihat bagaimana masyarakat lokal menyelamatkan gambut bersama-sama. Mencari solusi, merefleksikan kegunaannya, dan memikirkan siapa yang akan beruntung saat gambut terdegradasi," katanya.
Sementara itu, Director Forest Management and Environmental Service Program Peruvian Amazon Research Institute (IIAP) Dennis del Castillo mengatakan cukup beruntung karena masyarakat di Amazon menyukai lahan gambut, sehingga benar-benar menjaga keberadaannya. Dan hal yang perlu dilakukan sekarang adalah bagaimana mengelola lahan tersebut hingga menghasilkan lebih maksimal namun tidak mengorbankan keberlanjutannya.
"Tiga tahun lalu upaya itu sudah dimulai, mencari jalan agar karbon tetap terjaga tapi gambut bisa dimanfaatkan. Masyarakat lokal yang akan membantu menunjukkan bagaimana itu bisa dilakukan," ujar dia.
Sedangkan Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead yang juga hadir menjadi salah satu pembicara mengatakan dalam beberapa bulan terakhir masyarakat dilibatkan langsung dalam melaksanakan proses restorasi dengan membuat sekat kanal dan sumur bor.
Bahkan, menurut dia, masyarakat sendiri yang menentukan lokasi sumur bor dibuat.
"Pengalaman masyarakat lokal penting didengarkan. Masyarakat juga perlu diberi opsi dalam ikut melaksanakan restorasi, namun juga perlu memastikan kelangsungan hidup mereka di lahan gambut," kata Country Coordinator International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) Indonesia Sonya Dewi dalam Global Landscape Forum (GLF) mengangkat tema Peatlands Matter di Jakarta, Kamis.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa sejauh ini sudah banyak riset tentang lahan gambut dilakukan, banyak literatur soal gambut dihasilkan. Tapi porsi pengetahuan lokal soal pengelolaan gambut masih kurang diperhatikan.
Director General Center for International Forestry Research (CIFOR) Peter Holmgrem mengatakan perlu dipastikan semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, komunitas, akademisi, ahli dapat bekerja sama dalam pengelolaan lahan gambut dengan benar.
Lahan gambut, lanjutnya, sering kali tidak diperhitungkan dalam mendukung pembangunan. Padahal sebenarnya lahan ini penting sebagai sumber kehidupan, yang sayangnya kini banyak menghadapi persoalan.
Dalam Paris Agreement telah disepakati menekan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Dan seperti diketahui lahan gambut juga berperan dalam persoalan emisi, karena itu sudah saatnya gambut lebih diperhatikan.
"Dan kita juga perlu melihat bagaimana masyarakat lokal menyelamatkan gambut bersama-sama. Mencari solusi, merefleksikan kegunaannya, dan memikirkan siapa yang akan beruntung saat gambut terdegradasi," katanya.
Sementara itu, Director Forest Management and Environmental Service Program Peruvian Amazon Research Institute (IIAP) Dennis del Castillo mengatakan cukup beruntung karena masyarakat di Amazon menyukai lahan gambut, sehingga benar-benar menjaga keberadaannya. Dan hal yang perlu dilakukan sekarang adalah bagaimana mengelola lahan tersebut hingga menghasilkan lebih maksimal namun tidak mengorbankan keberlanjutannya.
"Tiga tahun lalu upaya itu sudah dimulai, mencari jalan agar karbon tetap terjaga tapi gambut bisa dimanfaatkan. Masyarakat lokal yang akan membantu menunjukkan bagaimana itu bisa dilakukan," ujar dia.
Sedangkan Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead yang juga hadir menjadi salah satu pembicara mengatakan dalam beberapa bulan terakhir masyarakat dilibatkan langsung dalam melaksanakan proses restorasi dengan membuat sekat kanal dan sumur bor.
Bahkan, menurut dia, masyarakat sendiri yang menentukan lokasi sumur bor dibuat.