Palembang (Antarasumsel.com) - Provinsi Sumatera Selatan kesulitan mencari indukan sapi berkualitas yang memiliki kesuburan tinggi lataran telah banyak mengalami perkawinan silang.
Kepala Bidang Produksi Perternakan Dinas Ketahanan Pangan dan Perternakan Sumsel I Wayan Telabah di Palembang, Kamis, mengatakan, saat ini tidak banyak lagi sapi milik warga yang bisa bunting setiap tahun.
"Kadang kala baru tiga tahun baru bunting. Beda saat program kawin silang belum terlalu digalakkan, bisa dikatakan sapi itu disegol saja sudah bunting," kata Wayan dalam workshop Kementerian Riset dan Dikti mengenai Science Techno Park Sumatera Selatan.
Ia mengatakan lantaran pelaksanaan kawin silang hewan yang cukup ekstrem sejak tahun 1980-an membuat jumlah indukan semakin lama semakin terbatas.
"Dengan kawin silang membuat tingkat kesuburan sapi menjadi rendah. Jadi repotnya saat ini, untuk menghasilkan sapi baru harus membutuhkan biaya besar, harus disuntik hormon. Oleh karena itu setiap kesempatan saya katakan, hentikan kawin silang," kata dia.
Wayan melanjutkan, program kawin silang itu hanya diperbolehkan untuk mendapatkan produk sapi potong.
Dengan begitu, setidaknya Indonesia dapat mengatasi persoalan carut-marut perternakan sapi yang selama beberapa dekade tak kunjung selesai.
Menurut Wayan, kondisi saat ini demikian memprihatinkan dan perlu menjadi kepedulian bersama karena jumlah sapi yang bisa diproduksi didalam negeri tidak sebanding dengan permintaan.
Padahal, Indonesia sebagai negara dengan beragam agama, budaya dan etnis memiliki ritual dan kebiasaan berkaitan dengan daging hewan. Pada 2016, sebanyak 12 ribu ekor sapi dibutuhkan untuk musim Lebaran atau naik sebanyak 4.000 ekor.
Akan tetapi faktanya, sektor perternakan selalu dikesampingkan pengembangan jika dibandingkan sektor perkebunan dan pertambangan.
"Perternakan itu berkaitan erat dengan lahan, tapi faktanya lahan untuk perternakan semakin tergerus. Mau tidak mau harus diciptakan sistem integrasi antara perkebunan dan perternakan, seperti program sapi-sawit dan program Upsus Siwab," kata dia.
Progam Upaya Khusus Percepatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting (Upsus Siwab) ini telah dituangkan dalam peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/PK.210/10/2016.
Dalam program ini, negara menargetkan sebanyak 4 juta ekor aseptor upsus Siwab, dengan jumlah sapi bunting sebanyak 3 juta ekor. Sedangkan Sumsel kebagian tugas sebanyak 66.025 ekor untuk target aseptor upsus Siwab atau hanya 1,65 persen dari target nasional, sedangkan sapi yang bunting hanya 46.840 target.
"Mengapa sumbangsih Sumsel rendah, tak lain karena lahannya sendiri. Persentasenya sudah lebih banyak ke lahan perkebunan," ujar dia.
Kepala Bidang Produksi Perternakan Dinas Ketahanan Pangan dan Perternakan Sumsel I Wayan Telabah di Palembang, Kamis, mengatakan, saat ini tidak banyak lagi sapi milik warga yang bisa bunting setiap tahun.
"Kadang kala baru tiga tahun baru bunting. Beda saat program kawin silang belum terlalu digalakkan, bisa dikatakan sapi itu disegol saja sudah bunting," kata Wayan dalam workshop Kementerian Riset dan Dikti mengenai Science Techno Park Sumatera Selatan.
Ia mengatakan lantaran pelaksanaan kawin silang hewan yang cukup ekstrem sejak tahun 1980-an membuat jumlah indukan semakin lama semakin terbatas.
"Dengan kawin silang membuat tingkat kesuburan sapi menjadi rendah. Jadi repotnya saat ini, untuk menghasilkan sapi baru harus membutuhkan biaya besar, harus disuntik hormon. Oleh karena itu setiap kesempatan saya katakan, hentikan kawin silang," kata dia.
Wayan melanjutkan, program kawin silang itu hanya diperbolehkan untuk mendapatkan produk sapi potong.
Dengan begitu, setidaknya Indonesia dapat mengatasi persoalan carut-marut perternakan sapi yang selama beberapa dekade tak kunjung selesai.
Menurut Wayan, kondisi saat ini demikian memprihatinkan dan perlu menjadi kepedulian bersama karena jumlah sapi yang bisa diproduksi didalam negeri tidak sebanding dengan permintaan.
Padahal, Indonesia sebagai negara dengan beragam agama, budaya dan etnis memiliki ritual dan kebiasaan berkaitan dengan daging hewan. Pada 2016, sebanyak 12 ribu ekor sapi dibutuhkan untuk musim Lebaran atau naik sebanyak 4.000 ekor.
Akan tetapi faktanya, sektor perternakan selalu dikesampingkan pengembangan jika dibandingkan sektor perkebunan dan pertambangan.
"Perternakan itu berkaitan erat dengan lahan, tapi faktanya lahan untuk perternakan semakin tergerus. Mau tidak mau harus diciptakan sistem integrasi antara perkebunan dan perternakan, seperti program sapi-sawit dan program Upsus Siwab," kata dia.
Progam Upaya Khusus Percepatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting (Upsus Siwab) ini telah dituangkan dalam peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/PK.210/10/2016.
Dalam program ini, negara menargetkan sebanyak 4 juta ekor aseptor upsus Siwab, dengan jumlah sapi bunting sebanyak 3 juta ekor. Sedangkan Sumsel kebagian tugas sebanyak 66.025 ekor untuk target aseptor upsus Siwab atau hanya 1,65 persen dari target nasional, sedangkan sapi yang bunting hanya 46.840 target.
"Mengapa sumbangsih Sumsel rendah, tak lain karena lahannya sendiri. Persentasenya sudah lebih banyak ke lahan perkebunan," ujar dia.