Bengkulu (Antarasumsel.com) - Saat aktivitas mahasiswa menjadi sorotan pasca-kematian tiga orang calon anggota pecinta alam Unisi di Yogyakarta, Selvia Hayyu Netra dan lima rekannya Mahasiswa Pecinta Alam (Mapetala) Bengkulu justru memacu adrenalin untuk menjangkau desa tertinggal di pedalaman Bengkulu.

Desa Lebong Tandai di pinggir hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan Desa Air Tenam di pinggir Hutan Lindung Raje Mandare, mereka pilih sebagai sasaran program pengabdian masyarakat melalui pengembangan potensi ekowisata.

"Dua desa ini kami pilih sesuai potensi alam dan sejarah serta kemampuan anggota tim mengembangkannya menjadi desa wisata," kata Selvia, ketua tim survey Desa Lebong Tandai, akhir pekan lalu.

Desa Lebong Tandai di Kabupaten Bengkulu Utara merupakan desa tua yang menjadi pusat penambangan emas sejak zaman kolonial Belanda.

Bahkan, satu-satunya sarana transportasi menuju desa tersebut yaitu 'molek', singkatan dari motor lori ekspres, merupakan alat pengangkut hasil tambang emas tempo dulu.

"Tidak ada sarana transportasi lain, semua orang masuk dan keluar Desa Lebong Tandai menggunakan molek," ucapnya.

Molek lebih mirip kotak kayu selebar satu meter dan panjang enam meter yang dilengkapi mesin sebagai penggerak kemudian melaju di atas rel besi yang sudah digunakan penambang emas sejak 1910.

Dengan ongkos Rp50 ribu per orang, Selvia dan lima rekannya masuk ke dalam molek dan meluncur di atas rel, melintasi hutan dan jurang selama lima jam.

"Kalau mau merasakan sensasi petualangan dan memacu adrenalin, rute molek Napal Putih-Lebong Tandai sangat pantas dicoba," ujarnya.

Sarana transportasi yang unik dan sejarah penambangan emas di Lebong Tandai menjadi modal untuk menjadikan desa itu sebagai desa wisata sejarah tambang tempo dulu.

Tahap awal, kata Selvia, timnya sudah memetakan potensi wisata sejarah dengan mengidentifikasi dan mendatangi langsung lokasi tambang yang masih digali secara manual oleh warga desa.

"Kita masih bisa melihat proses penambangan emas secara tradisional dan menyaksikan sejumlah infrastruktur penambangan zaman kolonial Belanda," ucap mahasiswa jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) itu.

Sedangkan di Desa Air Tenam, kelompok mahasiswa itu mengidentifikasi sejumlah potensi wisata alam, seperti air terjun, habitat anggrek macan, termasuk wisata minat khusus arung jeram di Sungai Air Tenam.

Desa Air Tenam berada di Kecamatan Ulu Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan. Desa yang berbatasan dengan Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan ini dapat ditempuh dengan berkendara selama enam jam di Kota Bengkulu.

Pemetaan potensi ekowisata itu dilakukan sejak Oktober 2016 dengan melibatkan masyarakat desa yang bergabung dalam organisasi 'Kelompok Tenam Wisata'.

Ketua tim survei potensi ekowisata Air Tenam, Bima Satria Yudha mengatakan objek wisata itu dapat dijangkau hanya dengan berjalan kaki selama 15 menit dari desa.

"Konsep ekowisata ini berbasis masyarakat, jadi mereka yang akan mengoperasionalkan setelah paketnya selesai," ucapnya.

Selain pemetaan objek wisata, pihaknya juga memberikan penguatan kapasitas bagi pengurus organisasi 'Kelompok Tenam Wisata' seperti menyiapkan pemandu, rumah penginapan atau 'home stay' hingga operator arung jeram.

Paket ekowisata itu tambah Bima direncanakan dirilis pada akhir tahun 2017 setelah seluruh perangkat mulai dari masyarakat hingga infrastruktur pendukung siap.

        
Pengabdian Masyarakat
Ketua Mapetala Bengkulu, Ernest Tamba mengatakan mengasah kemampuan bertualang melalui berbagai kegiatan di alam bebas menjadi kemampuan dasar sekaligus modal bagi anggota Mapetala untuk kembali ke masyarakat.

"Beberapa tahun terakhir kami mengubah visi dan misi organisasi dari petualangan atau 'adventure' murni ke pengabdian masyarakat," ucapnya.

Petualangan, kata Ernest, tetap menjadi bagian dari aktivitas anggota namun kegiatan itu diarahkan untuk memberikan manfaat atau dampak positif bagi masyarakat.

Ia mencontohkan pengembangan potensi wisata arung jeram di Desa Air Tenam digagas oleh anggota yang sudah memiliki kemampuan arung jeram atau 'rafting'.

"Pendidikan arung jeram ini menjadi satu dari tiga divisi yang ada di Mapetala, lalu kegiatan alam bebas ini bisa dijadikan wisata minat khusus," ucapnya.

Selain divisi rafting, ada dua divisi lainnya di Mapetala yakni divisi 'rock climbing and mounteneering' dan divisi advokasi lingkungan.

Setiap anggota kata dia, diwajibkan memilih salah satu divisi untuk mengembangkan bakat dan keahlian sebelum terjun ke program pengabdian masyarkat.

Lebih lanjut, Ernest menyebutkan bahwa pengembangan ekowisata di Desa Air Tenam dan wisata sejarah pertambangan tua di Desa Lebong Tandai tidak lepas dari upaya menciptakan sumber pendapatan alternatif dan perbaikan kualitas hidup masyarakat.

Ia mencontohkan di Desa Air Tenam yang berbatasan dengan salah satu kawasan hutan lindung, terpilih karena tingkat perambahan kawasan hutan di wilayah itu cukup tinggi.

"Ada sasaran lain, tapi kita tidak bisa hanya melarang masyarakat merambah hutan tanpa memberikan solusi ekonomi alternatif. Kami melihat potensi wisata alam menjadi alternatif ekonomi bagi penduduk desa," ucapnya.

Sedangkan di Desa Lebong Tandai yang merupakan desa tertinggal di Kabupaten Bengkulu Utara, tidak hanya diintervensi dalam pengembangan wisata sejarah tapi juga mendirikan taman baca di sekolah dasar setempat.

Selvia, ketua tim survei Lebong Tandai mengatakan pengabdian masyarakat lewat aplikasi ilmu yang diperoleh di kampus sangat tepat dipadukan dengan hobinya bertualang.

"Jurusan saya di kampus yaitu pendidikan luar sekolah tepat untuk diaplikasikan di Desa Lebong Tandai yang merupakan desa terpencil, minim sarana prasarana pendidikan," ujarnya.

Senada dengan Selvia, Bima yang mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Bengkulu juga mengaplikasikan ilmunya  mengajar para anggota 'Kelompok Wisata Tenam' berbahasa Inggris guna mendukung ekowisata desa itu.

Kepala Desa Air Tenam, Padli mengapresiasi pendampingan yang diberikan kelompok mahasiswa itu dalam pengembangan potensi ekowisata di wilayah itu.

"Sebenarnya kami sudah membentuk kelompok wisata tapi belum ada tindak lanjut, bingung mau diarahkan ke mana," kata Padli.

Bahkan, perangkat desa pun sudah menyetujui pembelian alat arung jeram berupa tiga unit perahu karet dan perlengkapannya berupa jaket pelampung.

Dukungan tim dari Mapetala, kata Padli, membantu mereka mengarahkan program kerja kelompok wisata yang beranggotakan 20 orang itu sekaligus memberikan pelatihan peningkatan kapasitas sebagai pemandu wisata alam dan sertifikasi instruktur arung jeram.

Dalam anggaran pendapatan dan belanja desa 2017 juga dianggarkan sejumlah dana untuk program pembuatan paket ekowisata dan studi banding anggota kelompok wisata.

Pewarta : Helti Marini Sipayung
Editor : Ujang
Copyright © ANTARA 2024