Jakarta (Antarasumsel.com) - Sekretaris Jenderal Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea Teguh Santosa mengatakan ada tiga kemungkinan motif pembunuhan Kim Jong-nam, kakak tiri pemimpin Korea Utara Kim Jong-un yang dibunuh dengan racun mematikan di bandara Malaysia.
Motif pertama kata Teguh dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu, bahwa peristiwa itu merupakan peristiwa kriminal biasa.
"Mengingat profil Kim Jong-nam yang dalam berbagai pemberitaan media dalam dan luar negeri disebutkan sebagai pria yang gemar bertualang dengan paspor palsu, gemar main perempuan, gemar berjudi, dan sering buat kisruh. Tingkat validitas teori ini kuat," katanya.
Motif kedua, Teguh menyatakan teori pembunuhan politik varian A di mana "mastermind" (dalang)-nya adalah pihak Korea Utara untuk menyingkirkan Kim Jong-nam yg digambarkan sebagai pemberontak dan berpotensi mengganggu dan merebut kekuasaan dari Kim Jong-un.
"Tingkat validitas teori ini lemah. Kelemahan utamanya terletak pada keterlibatan dua wanita non-Korea Utara sebagai eksekutor. Pihak Korea Utara sangat tertutup dan sulit melibatkan pihak lain apalagi untuk operasi seperti ini," tuturnya.
Motif ketiga, menurut Teguh adalah teori pembunuhan politik varian B di mana "mastermind" (dalang)-nya adalah pihak-pihak lain di luar Korea Utara atau secara sederhana disebut pihak-pihak yang ingin menyudutkan Korea Utara.
"Tingkat validitas teori ini sangat kuat. Ada kemungkinan kedua eksekutor adalah bagian dari operasi atau bisa juga diarahkan dan didesain sehingga melakukan pembunuhan," kata Teguh yang juga Dosen Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Menurutnya, lokasi pembunuhan di Bandara Internasional Kuala Lumpur yang aktivitasnya sangat padat juga memperkuat teori ini karena tujuannya adalah untuk "blow up" kasus tersebut apalagi modus pembunuhan yang digambarkan dalam berbagai pemberitaan terlalu dramatis.
Jong-nam (45) dibunuh oleh dua perempuan yang memercik wajahnya dengan zat kimia di terminal keberangkatan Bandara Internasional Kuala Lumpur 2, Senin (13/2) sekitar pukul 09.00, saat akan berangkat ke Makau.
Kedua perempuan itu kemudian masuk ke taksi dan melarikan diri. Salah satu perempuan bernama Siti Aisyah, ditangkap di bandara pada Rabu (15/2) saat mencoba keluar dari Malaysia dengan menggunakan pesawat.
Kepala Satuan Diraja Polisi Malaysia Inspektur Jenderal Polisi Tan Sri Khalid Abu Bakar, sebagaimana dikutip The Star, Kamis, mengatakan wanita dengan paspor Indonesia itu ditangkap pada Kamis pukul 02.00 waktu setempat.
Sementara perempuan satunya, yang berusia 29 tahun, memegang dokumen perjalanan Vietnam dengan nama Doan Thi Huong.
Sementara itu, Wakil Menteri Luar Negeri Abdurrahman Mohammad Fachir memastikan paspor Indonesia yang dimiliki Siti Aisyah, warga Negara Indonesia (WNI) yang diduga terlibat dalam pembunuhan Kim Jong-nam di Malaysia adalah asli.
"Ya, paspornya asli, dan dia WNI," kata Fachir di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (17/2).
Ia menjelaskan hingga kini hanya dua data itu yang didapatkan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur, Malaysia.
"Terkait ada keterlibatan WNI lain atau ada hubungannya dengan agen luar, kami belum tahu itu," tegas Fachir.
Motif pertama kata Teguh dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu, bahwa peristiwa itu merupakan peristiwa kriminal biasa.
"Mengingat profil Kim Jong-nam yang dalam berbagai pemberitaan media dalam dan luar negeri disebutkan sebagai pria yang gemar bertualang dengan paspor palsu, gemar main perempuan, gemar berjudi, dan sering buat kisruh. Tingkat validitas teori ini kuat," katanya.
Motif kedua, Teguh menyatakan teori pembunuhan politik varian A di mana "mastermind" (dalang)-nya adalah pihak Korea Utara untuk menyingkirkan Kim Jong-nam yg digambarkan sebagai pemberontak dan berpotensi mengganggu dan merebut kekuasaan dari Kim Jong-un.
"Tingkat validitas teori ini lemah. Kelemahan utamanya terletak pada keterlibatan dua wanita non-Korea Utara sebagai eksekutor. Pihak Korea Utara sangat tertutup dan sulit melibatkan pihak lain apalagi untuk operasi seperti ini," tuturnya.
Motif ketiga, menurut Teguh adalah teori pembunuhan politik varian B di mana "mastermind" (dalang)-nya adalah pihak-pihak lain di luar Korea Utara atau secara sederhana disebut pihak-pihak yang ingin menyudutkan Korea Utara.
"Tingkat validitas teori ini sangat kuat. Ada kemungkinan kedua eksekutor adalah bagian dari operasi atau bisa juga diarahkan dan didesain sehingga melakukan pembunuhan," kata Teguh yang juga Dosen Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Menurutnya, lokasi pembunuhan di Bandara Internasional Kuala Lumpur yang aktivitasnya sangat padat juga memperkuat teori ini karena tujuannya adalah untuk "blow up" kasus tersebut apalagi modus pembunuhan yang digambarkan dalam berbagai pemberitaan terlalu dramatis.
Jong-nam (45) dibunuh oleh dua perempuan yang memercik wajahnya dengan zat kimia di terminal keberangkatan Bandara Internasional Kuala Lumpur 2, Senin (13/2) sekitar pukul 09.00, saat akan berangkat ke Makau.
Kedua perempuan itu kemudian masuk ke taksi dan melarikan diri. Salah satu perempuan bernama Siti Aisyah, ditangkap di bandara pada Rabu (15/2) saat mencoba keluar dari Malaysia dengan menggunakan pesawat.
Kepala Satuan Diraja Polisi Malaysia Inspektur Jenderal Polisi Tan Sri Khalid Abu Bakar, sebagaimana dikutip The Star, Kamis, mengatakan wanita dengan paspor Indonesia itu ditangkap pada Kamis pukul 02.00 waktu setempat.
Sementara perempuan satunya, yang berusia 29 tahun, memegang dokumen perjalanan Vietnam dengan nama Doan Thi Huong.
Sementara itu, Wakil Menteri Luar Negeri Abdurrahman Mohammad Fachir memastikan paspor Indonesia yang dimiliki Siti Aisyah, warga Negara Indonesia (WNI) yang diduga terlibat dalam pembunuhan Kim Jong-nam di Malaysia adalah asli.
"Ya, paspornya asli, dan dia WNI," kata Fachir di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (17/2).
Ia menjelaskan hingga kini hanya dua data itu yang didapatkan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur, Malaysia.
"Terkait ada keterlibatan WNI lain atau ada hubungannya dengan agen luar, kami belum tahu itu," tegas Fachir.