Palembang (Antarasumsel.com) - Sumatera Selatan menarik perhatian dunia atas terbakarnya lahan perkebunan dan hutan seluas 736.563 hektare tahun 2015 yang berujung pada bencana kabut asap.
Belajar dari kejadian itu, kewaspadaan pun ditingkatkan tahun ini dan dukungan mengalir dari sejumlah negara donor.
Sebanyak enam lembaga sosial masyarakat internasional asal Belanda, Inggris, dan Norwegia mendeklarasikan organisasinya sebagai bagian dari kemitraan pengelolaan lanskap di Sumatera Selatan pada 27 Mei 2016 di Palembang.
Enam LSM itu, The Sustainable Trade Initiative (IDH) Belanda, United Kingdom Climate Change Unit (UKCCU) Inggris, NICFI Norwegia, Zoological Society of London (ZSL) Inggris, Yayasan Belantara, Gesellschaft for Internationale Zusammenarbeit (GIZ) BioClime Belanda.
Selain itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan juga menggandeng Asia Pulp And Paper dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin mengatakan untuk pertama kalinya deklarasi terkait kesediaan semua pihak untuk membantu suatu daerah dalam memperbaiki lingkungan terjadi di Indonesia.
Hal ini menjadi catatan sejarah tersendiri karena pendeklarasian dilakukan sendiri oleh Head of Operation ZSL Inggris Alasandair Macdonald, Country Manager ZSL Indonesia Hadrianus Andjar Rafiastanto, Direktur Asia Pulp And Paper Sinar Mas Suhendra Wiriadinata, CEO Yayasan Belantara Agus Sari dan turut dihadiri LSM internasional lainnya.
Kehadiran LSM negara donor ini menunjukkan komitmen bersama warga dunia untuk melestarikan lingkungan yang saat ini menjadi tanggung jawab bersama.
"Sumsel sebenarnya malu karena apa yang terjadi di sini seharusnya menjadi tanggung jawab sendiri. Jadi jika Sumsel tidak serius maka akan lebih malu lagi," kata dia.
Pada kebakaran hutan dan lahan tahun lalu, Sumsel bekerja keras untuk memadamkannya dengan mendatangkan 19 pesawat water bombing dan melibatkan tiga negara yakni Singapura, Malaysia, serta Australia.
Namun, upaya itu terbilang tidak terlalu berdampak dan pada akhirnya kebakaran terhenti dengan sendirinya karena hujan yang turun.
Direktur APP Sinar Mas Suhendra Wiriadinata mengatakan perusahaannya telah menyalurkan dana untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan serta pemulihan lingkungan ke Yayasan Belantara sejumlah 10 juta dollar AS.
Selain itu, perusahaan juga mengalokasikan 10 juta dolar AS untuk pembentukan desa makmur peduli api, dan infrastruktur pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang mencapai 20 juta dolar AS.
APP dan Yayasan Belantara juga telah melakukan MoU dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Unit IV Meranti, Kabupaten Musi Banyuasin tentang kerja sama pengelolaan kawasan hutan lindung dengan kegiatan restorasi dan perlindungan hutan berbasis masyarakat.
Langkah nyata terkait implementasi deklarasi itu sudah diambil Pemerintah Kabupaten Banyuasin yakni membangun koordinasi antarpihak terkait dengan rencana mengelola lanskap Tanam Nasional Sembilang dan Suaka Margasatwa Dangku. Pengelolaan ini direncanakan pada November 2016-Maret 2018.
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Banyuasin Syuhada mengatakan pengelolaan Lanskap Sembilang Dangku (Kelola Sendang) ini digagas sejumlah NGO internasional yang dikoordinator Zoological Society of London (ZSL) dengan anggota The Suistainable Trade Iniatiative (IDH), Deltares, SNV Netherlands Development Organization, Daemeter Consulting, dan Forest People Programme (FPP).
Sejauh ini, data Pemkab Banyuasin memperlihatkan dari 200.000 hektare lahan gambut di kabupaten ini diketahui sebanyak 150.000 hektare berada di TN Sembilang.
Sementara di sisi lain, lokasi TN Sembilang berada dekat dengan desa sehingga sangat rawan terjadi konflik kepentingan.
Bahkan ada dua desa yang berada berdampingan dengan TN Sembilang sehingga masyarakatnya sudah biasa mengakses hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Saat ini koordinasi dibangun, untuk menemukan formula ideal dalam mengelola lanskap Sembilang-Dangku. Harapannya, formula ini dapat digunakan terus menerus sehingga ada keberlangsungannya," kata dia.
Sementara itu, Ketua Proyek Kelola Sendang Prof Damayanti mengatakan dua lokasi ini dipilih karena sangat rawan terjadi pengalihfungsian akibat tingginya kebutuhan manusia, dan bencana kebakaran hutan serta lahan.
Dua lokasi ini memiliki luas 1,6 juta hektare dengan 145 ribu rumah tangga, 465 ribu jiwa.
"ZSL menggagas ini, karena selama ini belum ditemukan formulanya, diharapkan apa yang dilakukan di Sumsel ini dapat jadi percontohan di dunia," kata Damayanti.
Untuk memperbaiki tata kelola lanskap ini, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan pada tahun ini juga membentuk tim terdiri dari berbagai instasi terkait menyelesaikan peta lahan gambut dengan skala 1:10.000.
Koordinator Tim Ahli Badan Restorasi Gambut Provinsi Sumatera Selatan Prof Robiyanto Hendro Susanto mengatakan peta ini menjadi kebutuhan mendesak karena akan dijadikan acuan dalam bertindak di lapangan, mulai dari pemulihan lingkungan hingga penegakan hukum.
"Sumsel bukannya tidak memiliki peta lahan gambut, sudah ada tapi skalanya besar sekali 1:500.000, masih sangat kasar sekali," kata dia.
Peta lahan gambut ini juga yang akan digunakan BRG dalam memulai aksinya pada 2017.
Sementara itu, Komandan Korem 044/Garuda Dempo Kol Inf Kunto Arief mengatakan sangat membutuhkan peta tersebut untuk memudahkan penindakan di lokasi.
"Kebakaran terjadi di lahan, tapi tidak diketahui lahan ini milik siapa. Kondisi ini menyulitkan, tapi jika sudah ada petanya maka akan mudah dalam penindakan kepada pemilik lahan," kata dia.
Kebakaran hutan dan lahan ini terjadi berkali-kali hingga 18 tahun yang menunjukkan seolah-olah Indonesia tidak mampu mencegah sehingga menjadi isu nasional yang berdimensi internasional.
Kebakaran ini sudah menggangu kehidupan sosial masyarakat, bahkan Bank Dunia mencatat telah menggerus pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 0,2 persen atau jika dikalkulasikan mencapai Rp221 triliun dan ini belum termasuk biaya pemadaman.
Demi mencegah bencana ini tidak terulang lagi, Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin telah menerbitkan status siaga darurat bencana asap sejak Maret 2016 untuk daerah ini lebih dini dalam upaya pencegahan karhutla.
Upaya ini pun membuahkan hasil karena wilayah di Provinsi Sumatera Selatan dalam status aman dari bahaya kebakaran hutan dan lahan berdasarkan analisis parameter cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika per 21 Agustus 2016.
Padahal periode ini pada tahun lalu menjadi puncak bencana kabut asap.
Kepala Seksi Informasi dan Observasi BMKG Sumatera Selatan Agus Santosa mengatakan, berdasarkan hasil monitoring dinamika atmosfer sampai dengan pertengahan Agustus 2016 menunjukkan indeks ENSO mencapai -0.51 yang berkorelasi dengan intensitas La Nina dengan berkategori lemah.
Sebagian besar lembaga internasional memprediksi terjadinya La Nina mulai Agustus, September, Oktober.
Bersamaan dengan La Nina terjadi juga fenomena Indian Ocean Dippole Mode (IOD) negatif sejak Mei 2016, kondisi ini diprediksi bertahan hingga November 2016.
Sementara itu, anomali Suhu Muka Laut yang hangat disekitar perairan Indonesia akan menambah tingginya curah hujan di Sumatera dan Jawa bagian Barat.
Pada bulan Mei dan Juni 2016 titik panas di sejumlah wilayah sudah mulai menurun, tetapi pada Agustus 2016, titik panas ada di sejumlah wilayah Riau, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan.
"Kondisi ini tidak separah 2015, meski demikian Sumsel tetap harus waspada karena terdapat 1,4 juta hektare lahan gambut di sini," kata dia.
Jumlah titik panas (hotspot) di Sumatera Selatan jauh berkurang selama Juni hingga Juli 2016 jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Selatan Sigit Wibowo di Palembang, Jumat, mengatakan, keberhasilan menekan titik api ini tak lain berkat upaya dini dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Berdasarkan data yang dimilikinya, Sigit mengatakan saat ini tergambar jumlah hotspot terhitung tanggal 1-10 Juli 2016 hanya berjumlah 33 titik atau menurun drastis jika dibandingkan periode yang sama pada 2015 yang mencatat 203 titik.
Sedangkan hotspot selama Juni 2016 hanya berjumlah 76 atau menurun tajam dibandingkan bulan yang sama tahun 2015 yang mencapai 229 titik.
Jumlah hotspot terkini ini juga jauh menurun jika dibandingkan tahun 2014 yakni pada Juni sudah mencapai 117 titik dan Juli 51 titik, dan tahun 2012 pada Juni mencapai 436 titik dan Juli mencapai 64 titik.
"Artinya upaya serius yang dilakukan Sumsel beserta pemangku kepentingan lainnya sudah memberikan efek nyata," kata Sigit.
Menurutnya, tereduksinya jumlah hotspot ini tak lepas dari ketepatan strategi yang dilakukan tim pencegahan kebakaran hutan dan lahan setelah kejadian hebat pada 2015.
Tim sangat fokus mencegah munculnya titik api di tiga titik rawan yakni di kawasan Pantai Timur, Ogan Komering Ilir (OKI), perbatasan Banyuasin dan OKI, dan sebelah Utara dari Kabupaten Musi Banyuasin dengan luas areal sekitar 1,4 juta hektare.
Kawasan ini diperkirakan kelompok gambut dalam yang apabila terbakar maka sangat sulit untuk dipadamkan karena api menjalar dibawah tanah dengan kecepatan tinggi.
Langkah taktis ini berdasarkan analisa mendalam bahwa sejak 2007, selalu saja tiga lokasi ini sebagai daerah pemproduksi asal (kebakaran, red).
Untuk itu, Pemprov, BPBD, TNI, Polri, perusahaan perkebunan saling merapatkan barisan mengingat tiga lokasi ini merupakan kawasan ratusan ribu hektare Hutan Tanam Industri, dan kawasan hutan lindung yang menjadi kewenangan pemerintah.
"Seperti Kawasan Hutan Padang Siguhan yang terbakar tahun lalu, pemerintah sudah memerintahkan pemilih HTI di sekitarnya turut menjaga agar tidak terbakar karena disadari kemampuan pemerintah sangat terbatas," kata Sigit.
Lantaran kesigapan sejak awal ini membuat titik hotspot di kawasan rawan terbakar di tiga kabupaten Sumsel yakni Musi Banyuasin, Banyuasin, dan Ogan Komering Ilir menjadi berkurang drastis.
Belajar dari kejadian itu, kewaspadaan pun ditingkatkan tahun ini dan dukungan mengalir dari sejumlah negara donor.
Sebanyak enam lembaga sosial masyarakat internasional asal Belanda, Inggris, dan Norwegia mendeklarasikan organisasinya sebagai bagian dari kemitraan pengelolaan lanskap di Sumatera Selatan pada 27 Mei 2016 di Palembang.
Enam LSM itu, The Sustainable Trade Initiative (IDH) Belanda, United Kingdom Climate Change Unit (UKCCU) Inggris, NICFI Norwegia, Zoological Society of London (ZSL) Inggris, Yayasan Belantara, Gesellschaft for Internationale Zusammenarbeit (GIZ) BioClime Belanda.
Selain itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan juga menggandeng Asia Pulp And Paper dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin mengatakan untuk pertama kalinya deklarasi terkait kesediaan semua pihak untuk membantu suatu daerah dalam memperbaiki lingkungan terjadi di Indonesia.
Hal ini menjadi catatan sejarah tersendiri karena pendeklarasian dilakukan sendiri oleh Head of Operation ZSL Inggris Alasandair Macdonald, Country Manager ZSL Indonesia Hadrianus Andjar Rafiastanto, Direktur Asia Pulp And Paper Sinar Mas Suhendra Wiriadinata, CEO Yayasan Belantara Agus Sari dan turut dihadiri LSM internasional lainnya.
Kehadiran LSM negara donor ini menunjukkan komitmen bersama warga dunia untuk melestarikan lingkungan yang saat ini menjadi tanggung jawab bersama.
"Sumsel sebenarnya malu karena apa yang terjadi di sini seharusnya menjadi tanggung jawab sendiri. Jadi jika Sumsel tidak serius maka akan lebih malu lagi," kata dia.
Pada kebakaran hutan dan lahan tahun lalu, Sumsel bekerja keras untuk memadamkannya dengan mendatangkan 19 pesawat water bombing dan melibatkan tiga negara yakni Singapura, Malaysia, serta Australia.
Namun, upaya itu terbilang tidak terlalu berdampak dan pada akhirnya kebakaran terhenti dengan sendirinya karena hujan yang turun.
Direktur APP Sinar Mas Suhendra Wiriadinata mengatakan perusahaannya telah menyalurkan dana untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan serta pemulihan lingkungan ke Yayasan Belantara sejumlah 10 juta dollar AS.
Selain itu, perusahaan juga mengalokasikan 10 juta dolar AS untuk pembentukan desa makmur peduli api, dan infrastruktur pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang mencapai 20 juta dolar AS.
APP dan Yayasan Belantara juga telah melakukan MoU dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Unit IV Meranti, Kabupaten Musi Banyuasin tentang kerja sama pengelolaan kawasan hutan lindung dengan kegiatan restorasi dan perlindungan hutan berbasis masyarakat.
Langkah nyata terkait implementasi deklarasi itu sudah diambil Pemerintah Kabupaten Banyuasin yakni membangun koordinasi antarpihak terkait dengan rencana mengelola lanskap Tanam Nasional Sembilang dan Suaka Margasatwa Dangku. Pengelolaan ini direncanakan pada November 2016-Maret 2018.
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Banyuasin Syuhada mengatakan pengelolaan Lanskap Sembilang Dangku (Kelola Sendang) ini digagas sejumlah NGO internasional yang dikoordinator Zoological Society of London (ZSL) dengan anggota The Suistainable Trade Iniatiative (IDH), Deltares, SNV Netherlands Development Organization, Daemeter Consulting, dan Forest People Programme (FPP).
Sejauh ini, data Pemkab Banyuasin memperlihatkan dari 200.000 hektare lahan gambut di kabupaten ini diketahui sebanyak 150.000 hektare berada di TN Sembilang.
Sementara di sisi lain, lokasi TN Sembilang berada dekat dengan desa sehingga sangat rawan terjadi konflik kepentingan.
Bahkan ada dua desa yang berada berdampingan dengan TN Sembilang sehingga masyarakatnya sudah biasa mengakses hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Saat ini koordinasi dibangun, untuk menemukan formula ideal dalam mengelola lanskap Sembilang-Dangku. Harapannya, formula ini dapat digunakan terus menerus sehingga ada keberlangsungannya," kata dia.
Sementara itu, Ketua Proyek Kelola Sendang Prof Damayanti mengatakan dua lokasi ini dipilih karena sangat rawan terjadi pengalihfungsian akibat tingginya kebutuhan manusia, dan bencana kebakaran hutan serta lahan.
Dua lokasi ini memiliki luas 1,6 juta hektare dengan 145 ribu rumah tangga, 465 ribu jiwa.
"ZSL menggagas ini, karena selama ini belum ditemukan formulanya, diharapkan apa yang dilakukan di Sumsel ini dapat jadi percontohan di dunia," kata Damayanti.
Untuk memperbaiki tata kelola lanskap ini, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan pada tahun ini juga membentuk tim terdiri dari berbagai instasi terkait menyelesaikan peta lahan gambut dengan skala 1:10.000.
Koordinator Tim Ahli Badan Restorasi Gambut Provinsi Sumatera Selatan Prof Robiyanto Hendro Susanto mengatakan peta ini menjadi kebutuhan mendesak karena akan dijadikan acuan dalam bertindak di lapangan, mulai dari pemulihan lingkungan hingga penegakan hukum.
"Sumsel bukannya tidak memiliki peta lahan gambut, sudah ada tapi skalanya besar sekali 1:500.000, masih sangat kasar sekali," kata dia.
Peta lahan gambut ini juga yang akan digunakan BRG dalam memulai aksinya pada 2017.
Sementara itu, Komandan Korem 044/Garuda Dempo Kol Inf Kunto Arief mengatakan sangat membutuhkan peta tersebut untuk memudahkan penindakan di lokasi.
"Kebakaran terjadi di lahan, tapi tidak diketahui lahan ini milik siapa. Kondisi ini menyulitkan, tapi jika sudah ada petanya maka akan mudah dalam penindakan kepada pemilik lahan," kata dia.
Zero Asap
Kebakaran hutan dan lahan ini terjadi berkali-kali hingga 18 tahun yang menunjukkan seolah-olah Indonesia tidak mampu mencegah sehingga menjadi isu nasional yang berdimensi internasional.
Kebakaran ini sudah menggangu kehidupan sosial masyarakat, bahkan Bank Dunia mencatat telah menggerus pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 0,2 persen atau jika dikalkulasikan mencapai Rp221 triliun dan ini belum termasuk biaya pemadaman.
Demi mencegah bencana ini tidak terulang lagi, Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin telah menerbitkan status siaga darurat bencana asap sejak Maret 2016 untuk daerah ini lebih dini dalam upaya pencegahan karhutla.
Upaya ini pun membuahkan hasil karena wilayah di Provinsi Sumatera Selatan dalam status aman dari bahaya kebakaran hutan dan lahan berdasarkan analisis parameter cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika per 21 Agustus 2016.
Padahal periode ini pada tahun lalu menjadi puncak bencana kabut asap.
Kepala Seksi Informasi dan Observasi BMKG Sumatera Selatan Agus Santosa mengatakan, berdasarkan hasil monitoring dinamika atmosfer sampai dengan pertengahan Agustus 2016 menunjukkan indeks ENSO mencapai -0.51 yang berkorelasi dengan intensitas La Nina dengan berkategori lemah.
Sebagian besar lembaga internasional memprediksi terjadinya La Nina mulai Agustus, September, Oktober.
Bersamaan dengan La Nina terjadi juga fenomena Indian Ocean Dippole Mode (IOD) negatif sejak Mei 2016, kondisi ini diprediksi bertahan hingga November 2016.
Sementara itu, anomali Suhu Muka Laut yang hangat disekitar perairan Indonesia akan menambah tingginya curah hujan di Sumatera dan Jawa bagian Barat.
Pada bulan Mei dan Juni 2016 titik panas di sejumlah wilayah sudah mulai menurun, tetapi pada Agustus 2016, titik panas ada di sejumlah wilayah Riau, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan.
"Kondisi ini tidak separah 2015, meski demikian Sumsel tetap harus waspada karena terdapat 1,4 juta hektare lahan gambut di sini," kata dia.
Jumlah titik panas (hotspot) di Sumatera Selatan jauh berkurang selama Juni hingga Juli 2016 jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Selatan Sigit Wibowo di Palembang, Jumat, mengatakan, keberhasilan menekan titik api ini tak lain berkat upaya dini dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Berdasarkan data yang dimilikinya, Sigit mengatakan saat ini tergambar jumlah hotspot terhitung tanggal 1-10 Juli 2016 hanya berjumlah 33 titik atau menurun drastis jika dibandingkan periode yang sama pada 2015 yang mencatat 203 titik.
Sedangkan hotspot selama Juni 2016 hanya berjumlah 76 atau menurun tajam dibandingkan bulan yang sama tahun 2015 yang mencapai 229 titik.
Jumlah hotspot terkini ini juga jauh menurun jika dibandingkan tahun 2014 yakni pada Juni sudah mencapai 117 titik dan Juli 51 titik, dan tahun 2012 pada Juni mencapai 436 titik dan Juli mencapai 64 titik.
"Artinya upaya serius yang dilakukan Sumsel beserta pemangku kepentingan lainnya sudah memberikan efek nyata," kata Sigit.
Menurutnya, tereduksinya jumlah hotspot ini tak lepas dari ketepatan strategi yang dilakukan tim pencegahan kebakaran hutan dan lahan setelah kejadian hebat pada 2015.
Tim sangat fokus mencegah munculnya titik api di tiga titik rawan yakni di kawasan Pantai Timur, Ogan Komering Ilir (OKI), perbatasan Banyuasin dan OKI, dan sebelah Utara dari Kabupaten Musi Banyuasin dengan luas areal sekitar 1,4 juta hektare.
Kawasan ini diperkirakan kelompok gambut dalam yang apabila terbakar maka sangat sulit untuk dipadamkan karena api menjalar dibawah tanah dengan kecepatan tinggi.
Langkah taktis ini berdasarkan analisa mendalam bahwa sejak 2007, selalu saja tiga lokasi ini sebagai daerah pemproduksi asal (kebakaran, red).
Untuk itu, Pemprov, BPBD, TNI, Polri, perusahaan perkebunan saling merapatkan barisan mengingat tiga lokasi ini merupakan kawasan ratusan ribu hektare Hutan Tanam Industri, dan kawasan hutan lindung yang menjadi kewenangan pemerintah.
"Seperti Kawasan Hutan Padang Siguhan yang terbakar tahun lalu, pemerintah sudah memerintahkan pemilih HTI di sekitarnya turut menjaga agar tidak terbakar karena disadari kemampuan pemerintah sangat terbatas," kata Sigit.
Lantaran kesigapan sejak awal ini membuat titik hotspot di kawasan rawan terbakar di tiga kabupaten Sumsel yakni Musi Banyuasin, Banyuasin, dan Ogan Komering Ilir menjadi berkurang drastis.