Palembang, (ANTARA Sumsel) - Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan menjadi bencana nasional yang tidak hanya menyengsarakan Indonesia, tetapi juga negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia.
Tindakan tegas dan tanpa pandang bulu dalam menjerat pelaku pembakar lahan, mulai dari tenaga lapangan hingga pemilik korporasi, menjadi pilihan tepat untuk memberikan efek jera sehingga musibah kabut asap yang sudah terjadi sejak 48 tahun silam ini terhenti.
Presiden RI Joko Widodo menegaskan bahwa aparat penegak hukum harus terus mengejar pelaku pembakaran lahan yang dilakukan secara sengaja untuk meminta pertanggungjawabannya.
"Untuk lahan-lahan yang sengaja dibakar, akan terus kita kejar, kemarin Kapolri sudah menyampaikan beberapa nama tersangka dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di Indonesia," kata Presiden di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/9).
Mengenai kebakaran lahan dan hutan yang sudah memberikan dampak di enam provinsi, bahkan hingga ke negara tetangga, Presiden mengemukakan ada dua jenis kebakaran.
Kedua jenis tersebut adalah kebakaran yang terjadi di lahan gambut yang pemadamannya relatif sulit karena api kemungkinan masih ada di dalam lahan gambut. Di lahan ini sewaktu-waktu bisa menyala lagi meskipun api di permukaan sudah padam.
Kemudian, kebakaran lahan yang memang disengaja baik oleh kalangan perorangan maupunu korporasi.
Untuk itu, Presiden meminta aparat hukum melakukan tindakan yang tegas kepada para pelaku pembakaran lahan atau hutan guna memberikan efek jera dan tidak terulang lagi pada tahun depan.
Direktur Eksekutif Daerah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Hadi Jatmiko mengatakan bahwa pemerintah sudah saatnya tidak hanya berfokus pada upaya-upaya teknis memadamkan api akibat kebakaran lahan.
"Sudah saatnya, pemerintah melakukan upaya-upaya strategis yang selama ini selalu absen dilakukan oleh negara atau pemerintah, yaitu penegakan hukum dan peninjauan perizinan terhadap perusahaan yang membakar lahan dan hutan," kata Hadi.
Penegakan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah dan aparat penegak hukum, menurut dia, selama ini hanya diberlakukan untuk masyarakat kecil yang dijadikan kambing hitam atas bencana kabut asap.
Padahal, berdasarkan monitoring Walhi Sumsel, hotspot terbanyak sejak Agustus hingga September 2015 berada di 18 perusahaan hutan tanam industri (HTI) dan 60 perusahaan perkebunan yang tersebar di Sumsel.
"Untuk itu, Presiden harus memimpin langsung upaya penegakan hukum dan `review` perizinan yang selama ini selalu absen dilakukan oleh pejabat di bawahnya dan di daerah," katanya.
Hal itu, kata dia, harus dilakukan tanpa tebang pilih sehingga perusahaan-perusahaan besar yang selama ini bersembunyi akan terjerat.
Selain itu, Presiden juga harus aktif memonitoring terhadap perusahaan-perusahaan yang saat ini sedang diadili dan diproses hukumnya, baik di pengadilan maupun oleh penegak hukum kepolisian.
"Walhi mengamati upaya penegakan hukum, baik pidana maupun perdata, yang dilakukan oleh Pemerintah dan penegak hukum tidak serius. Lebih menyedihkan lagi, jika mencermati vonis yang dikeluarkan hakim," kata dia.
Jerat Enam Direktur
Terkait dengan penegakan hukum, sebanyak enam direktur dari 19 perusahaan perkebunan di Sumatera Selatan pada tanggal 15 September 2015 sudah ditetapkan menjadi tersangka atas kelalaian dan dugaan membakar lahan yang menimbulkan kabut asap pekat.
Keenam perusahaan tersebut, yakni PT SBN , PT TPJ, PT AA, PT RS, PT RPP, dan PT PH.
Kapolda Sumsel Irjen Polisi Iza Fadri menyebutkan dari barang bukti dan hasil pemeriksaan, keenam perusahaan yang bergerak di perkebunan sawit dan hutan tanam industri tersebut dinyatakan terbukti melakukan kelalaian sehingga lahannya terbakar, yang mencapai total 3.400 hektare.
"Enam perusahaan itu proses hukumnya kini dinaikkan menjadi penyidikan dan pimpinannya atau direkturnya ditetapkan sebagai tersangka," kata Iza di Palembang, Selasa (15/9).
Sebelumnya, kata Kapolda, mereka telah diperiksa di sejumlah polres, yakni dua kasus di Polres Banyuasin, satu di Ogan Komering Ilir (OKI), satu di Musi Banyuasin (Muba), dan dua di Polda Sumsel.
Polda Sumsel juga telah menetapkan 14 tersangka perorangan yang membakar lahan milik pribadi.
Kepala Bidang Humas Polda Sumsel Kombes Pol. R. Djarod Padakova menambahkan bahwa selama penyelidikan Polda telah memeriksa 50 saksi, baik dari masyarakat maupun dari pihak perusahaan.
"Dari para saksi itulah kemudian ditetapkan tersangka," katanya.
Kemudian, dari pengadilan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup telah melayangkan gugatan perdata senilai Rp7,8 triliun pada PT Bumi Mekar Hijau di Pengadilan Negeri Palembang, 3 Februari 2015. Pada saat ini sidang sedang tahapan keterangan saksi.
Jika diamati dari nilai gugatan, kasus tersebut menjadi catatan tersendiri karena menjadi yang terbesar dalam sejarah KKLH.
Perseroan Terbatas (PT) Bumi Mekar Hijau (Sinar Mas Group) digugat atas pembakaran lahan di area seluas 20.000 hektare pada tahun 2014 di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.
Akibat perbuatannya tersebut, negara mengalami kerugian lingkungan hidup sebesar Rp2,6 triliun dan biaya pemulihan lingkungan hidup Rp5,2 triliun dengan total Rp7,8 triliun.
Berdasarkan pantauan Antara di beberapa sidang, beberapa saksi justru memberikan keterangan yang meringankan PT Bumi Mekar Hijau.
Pada sidang, 1 September 2015, saksi fakta dari PT Bumi Mekar Hijau (BMH) Sujica yang menjabat sebagai Distrik Manager Sungai Byuku OKI PT BMH menerangkan bahwa perusahaannya dalam melakukan pembersihan lahan selalu menggunakan metode PLTB (pembebasan lahan tanpa bakar).
"Setahu saya perusahaan bekerja selalu sesuai dengan standar operasional prosedur, di luar itu perusahaan tidak berani," kata Sujica.
Pada persidangan yang dipimpin ketua majelis hakim Pharlas Nababan, Sujica mengaku saat pertama kali masuk ke lahan tempatnya bekerja, yakni pada tahun 2006--2007, kondisi lahan di kawasan, terutama di Sungai Byuku, sudah rusak parah dan tandus.
"Pertama saya datang dan melakukan kanalisasi lahan, di kawasan tersebut memang sudah rusak parah, bahkan tandus," kata dia.
Pada lahan tandus tersebut, lanjut saksi, perusahaan dari periode 2014 sudah melakukan penanaman ulang pada lahan yang terbakar itu, bahkan sudah mencapai 2.000 hektare.
"Perusahaan sudah menanam ulang lahan dengan tanaman yang baru pada lahan tersebut," kata dia.
Sementara itu, pengugat dari Kementerian Kehutanan Umarsuyudi mengatakan bahwa pihak kementerian sudah mengajukan beberapa saksi ahli, di antaranya Prof. Bambang Hero Saharjo. Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor ini menegaskan lahan tersebut memang sengaja dibakar secara sistematis.
"Gugatan ini kuat adanya, jelas ini terkoordinasi dan hutan dirusak yang mengakibatkan kerusakan lingkungan," kata dia.
Terkait dengan kasus yang sudah masuk ranah pengadilan itu, Walhi terus mengawal proses sidang gugatan kepada PT Bumi Mekar Hijau (BMH).
"Hadi meminta KLHK untuk serius menjalani sidang ini, termasuk dalam menyusun materi gugatan dan menghadirkan saksi-saksi yang kredibel dalam persidangan," kata dia.
Menurut Hadi, gugatan ini sangat penting untuk langkah penegakan hukum di bidang lingkungan ke depannya.
Ketukan palu hakim diharapkan Walhi dapat membuat perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perhutanan menjadi jera.
Ia juga meminta majelis hakim tidak terpengaruh intervensi dalam sidang tersebut meski perusahaan yang terlibat adalah perusahaan besar di bidangnya.
"Jika nanti pemerintah kalah, pasti nanti banyak korporasi, baik di Sumsel maupun tingkat nasional, yang akan lepas dari jeratan hukum. Hakim juga harus berpihak pada kebenaran yang hakiki dan jangan takut pada intervensi dari pihak mana pun," kata Hadi.
Persoalan kebakaran lahan yang melanda negeri ini mulai terdata sejak 1967, yakni mulai ditemukan bencana kabut asap di Palembang atas terbakarnya lahan seluas 2,5 hektare.
Setelah berjalan setengah abat, luas lahan yang terbakar di Sumsel cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya lahan sawit dari 50.120 hektare (1994) menjadi 827.212 hektare (2015).
Para ahli dan pemerhati lingkungan menilai akar masalah dari kebakaran lahan di Sumsel adalah kerusakan ekosistem lahan gambut. Sumsel memiliki 1,4 juta hektare lahan gambut dengan kedalaman 2--8 meter.
Ahli hidrologi dari Unsri Profesor Momon Sodik Imanuddin mengatakan bahwa kebakaran terjadi karena masifnya alih fungsi di lahan yang mudah terbakar.
"Dalam proses alih fungsi lahan gambut, selalu disertai pengeringan lewat pembuatan kanal-kanal. Setelah berlangsung lama, terjadi pengeringan berlebihan dan tidak terkendali. Jadi, apa pun bisa menyulut api, bahkan dari puntung rokok," kata dia.
Persoalan kebakaran hutan dan lahan ini merupakan persoalan kompleks yang sudah menahun yang membutuhkan langkah luar biasa dari pemerintah untuk menyelesaikannya.
Ahli lahan gambut dari Unsri Profesor Fachrurrozie Sjarkowi mengatakan bahwa mengatasi hal tersebut butuh tekad dan keseriusan. Pasalnya, jika ditempuh dengan cara biasa, tidak akan terselesaikan.
"Mengapa Malaysia yang juga memiliki perkebunan sawit bisa tidak ada kebakaran lahan? Mengapa Indonesia tidak bisa? Bukankah, di mana ada kemauan, di situ ada jalan," kata Fachrurrozie ketika tampil pada setiap diskusi bertema kabut asap di Palembang.
Tindakan tegas dan tanpa pandang bulu dalam menjerat pelaku pembakar lahan, mulai dari tenaga lapangan hingga pemilik korporasi, menjadi pilihan tepat untuk memberikan efek jera sehingga musibah kabut asap yang sudah terjadi sejak 48 tahun silam ini terhenti.
Presiden RI Joko Widodo menegaskan bahwa aparat penegak hukum harus terus mengejar pelaku pembakaran lahan yang dilakukan secara sengaja untuk meminta pertanggungjawabannya.
"Untuk lahan-lahan yang sengaja dibakar, akan terus kita kejar, kemarin Kapolri sudah menyampaikan beberapa nama tersangka dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di Indonesia," kata Presiden di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/9).
Mengenai kebakaran lahan dan hutan yang sudah memberikan dampak di enam provinsi, bahkan hingga ke negara tetangga, Presiden mengemukakan ada dua jenis kebakaran.
Kedua jenis tersebut adalah kebakaran yang terjadi di lahan gambut yang pemadamannya relatif sulit karena api kemungkinan masih ada di dalam lahan gambut. Di lahan ini sewaktu-waktu bisa menyala lagi meskipun api di permukaan sudah padam.
Kemudian, kebakaran lahan yang memang disengaja baik oleh kalangan perorangan maupunu korporasi.
Untuk itu, Presiden meminta aparat hukum melakukan tindakan yang tegas kepada para pelaku pembakaran lahan atau hutan guna memberikan efek jera dan tidak terulang lagi pada tahun depan.
Direktur Eksekutif Daerah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Hadi Jatmiko mengatakan bahwa pemerintah sudah saatnya tidak hanya berfokus pada upaya-upaya teknis memadamkan api akibat kebakaran lahan.
"Sudah saatnya, pemerintah melakukan upaya-upaya strategis yang selama ini selalu absen dilakukan oleh negara atau pemerintah, yaitu penegakan hukum dan peninjauan perizinan terhadap perusahaan yang membakar lahan dan hutan," kata Hadi.
Penegakan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah dan aparat penegak hukum, menurut dia, selama ini hanya diberlakukan untuk masyarakat kecil yang dijadikan kambing hitam atas bencana kabut asap.
Padahal, berdasarkan monitoring Walhi Sumsel, hotspot terbanyak sejak Agustus hingga September 2015 berada di 18 perusahaan hutan tanam industri (HTI) dan 60 perusahaan perkebunan yang tersebar di Sumsel.
"Untuk itu, Presiden harus memimpin langsung upaya penegakan hukum dan `review` perizinan yang selama ini selalu absen dilakukan oleh pejabat di bawahnya dan di daerah," katanya.
Hal itu, kata dia, harus dilakukan tanpa tebang pilih sehingga perusahaan-perusahaan besar yang selama ini bersembunyi akan terjerat.
Selain itu, Presiden juga harus aktif memonitoring terhadap perusahaan-perusahaan yang saat ini sedang diadili dan diproses hukumnya, baik di pengadilan maupun oleh penegak hukum kepolisian.
"Walhi mengamati upaya penegakan hukum, baik pidana maupun perdata, yang dilakukan oleh Pemerintah dan penegak hukum tidak serius. Lebih menyedihkan lagi, jika mencermati vonis yang dikeluarkan hakim," kata dia.
Jerat Enam Direktur
Terkait dengan penegakan hukum, sebanyak enam direktur dari 19 perusahaan perkebunan di Sumatera Selatan pada tanggal 15 September 2015 sudah ditetapkan menjadi tersangka atas kelalaian dan dugaan membakar lahan yang menimbulkan kabut asap pekat.
Keenam perusahaan tersebut, yakni PT SBN , PT TPJ, PT AA, PT RS, PT RPP, dan PT PH.
Kapolda Sumsel Irjen Polisi Iza Fadri menyebutkan dari barang bukti dan hasil pemeriksaan, keenam perusahaan yang bergerak di perkebunan sawit dan hutan tanam industri tersebut dinyatakan terbukti melakukan kelalaian sehingga lahannya terbakar, yang mencapai total 3.400 hektare.
"Enam perusahaan itu proses hukumnya kini dinaikkan menjadi penyidikan dan pimpinannya atau direkturnya ditetapkan sebagai tersangka," kata Iza di Palembang, Selasa (15/9).
Sebelumnya, kata Kapolda, mereka telah diperiksa di sejumlah polres, yakni dua kasus di Polres Banyuasin, satu di Ogan Komering Ilir (OKI), satu di Musi Banyuasin (Muba), dan dua di Polda Sumsel.
Polda Sumsel juga telah menetapkan 14 tersangka perorangan yang membakar lahan milik pribadi.
Kepala Bidang Humas Polda Sumsel Kombes Pol. R. Djarod Padakova menambahkan bahwa selama penyelidikan Polda telah memeriksa 50 saksi, baik dari masyarakat maupun dari pihak perusahaan.
"Dari para saksi itulah kemudian ditetapkan tersangka," katanya.
Kemudian, dari pengadilan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup telah melayangkan gugatan perdata senilai Rp7,8 triliun pada PT Bumi Mekar Hijau di Pengadilan Negeri Palembang, 3 Februari 2015. Pada saat ini sidang sedang tahapan keterangan saksi.
Jika diamati dari nilai gugatan, kasus tersebut menjadi catatan tersendiri karena menjadi yang terbesar dalam sejarah KKLH.
Perseroan Terbatas (PT) Bumi Mekar Hijau (Sinar Mas Group) digugat atas pembakaran lahan di area seluas 20.000 hektare pada tahun 2014 di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.
Akibat perbuatannya tersebut, negara mengalami kerugian lingkungan hidup sebesar Rp2,6 triliun dan biaya pemulihan lingkungan hidup Rp5,2 triliun dengan total Rp7,8 triliun.
Berdasarkan pantauan Antara di beberapa sidang, beberapa saksi justru memberikan keterangan yang meringankan PT Bumi Mekar Hijau.
Pada sidang, 1 September 2015, saksi fakta dari PT Bumi Mekar Hijau (BMH) Sujica yang menjabat sebagai Distrik Manager Sungai Byuku OKI PT BMH menerangkan bahwa perusahaannya dalam melakukan pembersihan lahan selalu menggunakan metode PLTB (pembebasan lahan tanpa bakar).
"Setahu saya perusahaan bekerja selalu sesuai dengan standar operasional prosedur, di luar itu perusahaan tidak berani," kata Sujica.
Pada persidangan yang dipimpin ketua majelis hakim Pharlas Nababan, Sujica mengaku saat pertama kali masuk ke lahan tempatnya bekerja, yakni pada tahun 2006--2007, kondisi lahan di kawasan, terutama di Sungai Byuku, sudah rusak parah dan tandus.
"Pertama saya datang dan melakukan kanalisasi lahan, di kawasan tersebut memang sudah rusak parah, bahkan tandus," kata dia.
Pada lahan tandus tersebut, lanjut saksi, perusahaan dari periode 2014 sudah melakukan penanaman ulang pada lahan yang terbakar itu, bahkan sudah mencapai 2.000 hektare.
"Perusahaan sudah menanam ulang lahan dengan tanaman yang baru pada lahan tersebut," kata dia.
Sementara itu, pengugat dari Kementerian Kehutanan Umarsuyudi mengatakan bahwa pihak kementerian sudah mengajukan beberapa saksi ahli, di antaranya Prof. Bambang Hero Saharjo. Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor ini menegaskan lahan tersebut memang sengaja dibakar secara sistematis.
"Gugatan ini kuat adanya, jelas ini terkoordinasi dan hutan dirusak yang mengakibatkan kerusakan lingkungan," kata dia.
Terkait dengan kasus yang sudah masuk ranah pengadilan itu, Walhi terus mengawal proses sidang gugatan kepada PT Bumi Mekar Hijau (BMH).
"Hadi meminta KLHK untuk serius menjalani sidang ini, termasuk dalam menyusun materi gugatan dan menghadirkan saksi-saksi yang kredibel dalam persidangan," kata dia.
Menurut Hadi, gugatan ini sangat penting untuk langkah penegakan hukum di bidang lingkungan ke depannya.
Ketukan palu hakim diharapkan Walhi dapat membuat perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perhutanan menjadi jera.
Ia juga meminta majelis hakim tidak terpengaruh intervensi dalam sidang tersebut meski perusahaan yang terlibat adalah perusahaan besar di bidangnya.
"Jika nanti pemerintah kalah, pasti nanti banyak korporasi, baik di Sumsel maupun tingkat nasional, yang akan lepas dari jeratan hukum. Hakim juga harus berpihak pada kebenaran yang hakiki dan jangan takut pada intervensi dari pihak mana pun," kata Hadi.
Persoalan kebakaran lahan yang melanda negeri ini mulai terdata sejak 1967, yakni mulai ditemukan bencana kabut asap di Palembang atas terbakarnya lahan seluas 2,5 hektare.
Setelah berjalan setengah abat, luas lahan yang terbakar di Sumsel cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya lahan sawit dari 50.120 hektare (1994) menjadi 827.212 hektare (2015).
Para ahli dan pemerhati lingkungan menilai akar masalah dari kebakaran lahan di Sumsel adalah kerusakan ekosistem lahan gambut. Sumsel memiliki 1,4 juta hektare lahan gambut dengan kedalaman 2--8 meter.
Ahli hidrologi dari Unsri Profesor Momon Sodik Imanuddin mengatakan bahwa kebakaran terjadi karena masifnya alih fungsi di lahan yang mudah terbakar.
"Dalam proses alih fungsi lahan gambut, selalu disertai pengeringan lewat pembuatan kanal-kanal. Setelah berlangsung lama, terjadi pengeringan berlebihan dan tidak terkendali. Jadi, apa pun bisa menyulut api, bahkan dari puntung rokok," kata dia.
Persoalan kebakaran hutan dan lahan ini merupakan persoalan kompleks yang sudah menahun yang membutuhkan langkah luar biasa dari pemerintah untuk menyelesaikannya.
Ahli lahan gambut dari Unsri Profesor Fachrurrozie Sjarkowi mengatakan bahwa mengatasi hal tersebut butuh tekad dan keseriusan. Pasalnya, jika ditempuh dengan cara biasa, tidak akan terselesaikan.
"Mengapa Malaysia yang juga memiliki perkebunan sawit bisa tidak ada kebakaran lahan? Mengapa Indonesia tidak bisa? Bukankah, di mana ada kemauan, di situ ada jalan," kata Fachrurrozie ketika tampil pada setiap diskusi bertema kabut asap di Palembang.