Jakarta (ANTARA Sumsel) - Wali Kota Palembang nonaktif Romi Herton divonis 6 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan karena dinilai terbukti melakukan korupsi pemberian uang kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dan perbuatan memberikan keterangan yang tidak benar.
Sedangkan istrinya Masyito divonis 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider dan 2 bulan kurungan dalam kasus yang sama.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa satu Romi Herton dengan pidana penjara selama 6 tahun dan terdakwa Masyito dengan pidana penjara selama 4 tahun dan masing-masing terdakwa dipidana denda sebesar Rp200 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 2 bulan," kata ketua majelis hakim Muhammad Mukhlis dalam sidang di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Vonis tersebut lebih rendah dibanding dengan tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang meminta agar Romi Herton dihukum selama 9 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp400 juta subsider 5 bulan kurungan dengan pidana tambahan yaitu pencabutan hak memilih dan dipilih, sedangkan istrinya Masyito agar divonis 6 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider dan 4 bulan kurungan.
Majelis hakim yang terdiri atas Muhammad Mukhlis, Supriyono, Saipul Arif, Alexander Marwata dan Sofialdi juga menyatakan sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan dalam putusan tersebut.
"Hal yang memberatkan para terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi kolusi dan nepotisme. Kedua, perbuatan terdakwa satu dan terdakwa dua dapat menceriderai lembaga peradilan khususnya MK. Hal yang meringankan adalah pertama para terdakwa sepanjang persidangan bersikap kooperatif dan mempelancar jalannya persidangan, para terdakwa mengakui dan menyesali perbuatan, terdakwa satu selaku aparatur negara sudah banyak berjasa memajukan kota palembang, terdakwa dua sebagai ibu dan istri terdakwa satu masih memiliki anak yang masih perlu mendapat perhatian dan keduanya terdakwa belum pernah dihukum," kata anggota majelis hakim Alexander Marwata.
Hakim juga tidak meluluskan permintaan jaksa yang meminta agar Romi Herton dicabut hak dalam memilih dan dipilih.
"Tentang hak memilih dan dipilih untuk terdakwa satu majelis hakim tidak sependapat karena penuntut umum tidak jelas mengenai hak memilih dan dipilih apa yang dicabut dan hak itu adalah hak yang dimiliki oleh warga negara," tambah hakim Alexander.
Dalam pertimbangannya, hakim menilai Romi Herton dan Masyito terbukti melakukan perbuatan sesuai dengan dakwaan kesatu pertama yang berasal dari asal 6 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU No 13 tahun 1999 jo pasal 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP yaitu bersama-sama memberikan uang Rp14,145 miliar dan 316.700 dolar AS kepada Akil Mochtar untuk mempengaruhi putusan perkara permohonan keberatan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) kota Palembang yang sedang ditangani oleh Akil.
Romi Herton dan pasangannya Harno Joyo mengajukan keberatan ke MK karena suaranya kalah 8 suara. Selanjutnya, perkara itu ditangani Akil Mochtar bersama dengan dua hakim anggota yaitu Maria Farida Indrati dan Anwar Usman.
Romi kemudian meminta tolong kepada orang dekat Akil yaitu Muhtar Ependy. Selanjutnya Muhtar Ependy menyampakan permintaan Romi kepada Akil yang dijawab Akil agar Romi menyiapkan uang dan disanggupi oleh Romi.
Uang sebesar Rp11,395 miliar dan 316.700 dolar AS diberikan kepada Akil Mochtar melalui Muhtar Ependy di BPD Kalimantan Barat cabang Jakarta pada 13 Mei 2013 dan dititipkan kepada Iwan Sutaryadi.
"Tidak harus pihak pemberi yaitu terdakwa pertama dan terdakwa kedua bertemu penerima yang dituju yaitu Akil Mochtar tapi bisa lewat perantara dalam hal ini Muhtar Ependy, sehingga dua terdakwa menyerahkan pengurusan sengketa ke Muhtar Ependy sebanyak Rp11,395 miliar sudah diserahkan dan 316.700 ribu dolar AS di BPD Kalimantan Barat cabang jakarta dan diberikannya uang 316.700 dolar AS dan Rp3,8 miliar atau berjumlah lebih kurang Rp7,5 miliar dari Muhtar Ependy maka unsur memberi atau menjajinkan sesuatu telah terpenuhi dalam perbuatan terdakwa," ungkap hakim.
Meski pemberian hanya mencapai Rp7,5 miliar, namun hal itu tidak menghapus rangkaian pemberian kepada Akil.
"Terdakwa satu dan dua sudah punya niat dan tujuan dengan memberikan uang kepada Akil Mochar melalui Muhtar Ependy sudah terjadi sehingga unsur dengan maksud untuk hakim sudah terpenuhi," tambah hakim.
Sedangkan dakwaan kedua bagi Romi dan Masyito berdasarkan pasal 22 jo pasal 35 UU No 31 tahun 1999 jo No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai perbuatan memberikan keterangan tidak benar dalam penyidikan kasus Akil Mochtar.
"Sengaja diartikan si pembuat menghendaki memberikan keterangan yang tidak benar ketika orang bersaksi itu menerangkan untuk dirinya sendiri kalau dia menerangkan yang tidak benar maka dialah yang menanggung risiko akibat keterangannya sendiri," ungkap hakim.
Fakta di persidangan menurut hakim membuktikan Romi dan Masyito menjalin komunikasi dan juga berusaha untuk mencari uang dalam jumlah yang besar sebelum putusan MK. Meski Romi mengaku tidak mengetahui pemberian uang oleh istrinya, hakim menilai hal tersebut tidak logis.
"Sangat tidak logis terdakwa satu tidak mengeatahui pemberian uang oleh istirnya, sehingga pledoi harus ditolak," jelas hakim.
Namun pemberian uang tersebut untuk Akil menurut hakim adalah karena pengaruh Muhtar Ependy dan istrinya.
"Terdakwa satu dan dua menerima bantuan Muhtar dan istrinya karena Muhtar berhasil memepengaruhi terdakwa satu dan dua dengan menunjukkan foto bersama Akil untuk meyakinkan bahwa dia bisa membantu dalam pengurusan perkara. Tidak ada fakta yang bisa membuktikan proses persidangan karena pemberian uang kepada Akil pun mempengaruhi putusan perkara, bahkan putusan dibuat dengan suara bulat, sehingga dalam hal ini majelis hakim menyepakit pledoi terkdkwa bahwa 9 anggota majelis hakim MK mau membuka surat surat tidak ada kaitan dengan pemberian uang," tambah hakim Alexander.
Artinya perbuatan pemberian uang itu merupakan persekokongkolan jahat Muhtar dengan Akil.
"Mejelis hakim dalam persidangan Akil Mochtar juga tidak terpengaruh dengan kesaksian terdakwa satu dan dua karena mejelis hakim tetap berkesimpulan tetap terjadi pemberian uang kepada Akil sehingga tidak mengakiabatkan pemberian uang kepada Akil tidak terbukti," ungkap hakim.
Atas putusan itu, baik Romi maupun penuntut umum menyatakan pikir-pikir.
Sedangkan istrinya Masyito divonis 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider dan 2 bulan kurungan dalam kasus yang sama.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa satu Romi Herton dengan pidana penjara selama 6 tahun dan terdakwa Masyito dengan pidana penjara selama 4 tahun dan masing-masing terdakwa dipidana denda sebesar Rp200 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 2 bulan," kata ketua majelis hakim Muhammad Mukhlis dalam sidang di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Vonis tersebut lebih rendah dibanding dengan tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang meminta agar Romi Herton dihukum selama 9 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp400 juta subsider 5 bulan kurungan dengan pidana tambahan yaitu pencabutan hak memilih dan dipilih, sedangkan istrinya Masyito agar divonis 6 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider dan 4 bulan kurungan.
Majelis hakim yang terdiri atas Muhammad Mukhlis, Supriyono, Saipul Arif, Alexander Marwata dan Sofialdi juga menyatakan sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan dalam putusan tersebut.
"Hal yang memberatkan para terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi kolusi dan nepotisme. Kedua, perbuatan terdakwa satu dan terdakwa dua dapat menceriderai lembaga peradilan khususnya MK. Hal yang meringankan adalah pertama para terdakwa sepanjang persidangan bersikap kooperatif dan mempelancar jalannya persidangan, para terdakwa mengakui dan menyesali perbuatan, terdakwa satu selaku aparatur negara sudah banyak berjasa memajukan kota palembang, terdakwa dua sebagai ibu dan istri terdakwa satu masih memiliki anak yang masih perlu mendapat perhatian dan keduanya terdakwa belum pernah dihukum," kata anggota majelis hakim Alexander Marwata.
Hakim juga tidak meluluskan permintaan jaksa yang meminta agar Romi Herton dicabut hak dalam memilih dan dipilih.
"Tentang hak memilih dan dipilih untuk terdakwa satu majelis hakim tidak sependapat karena penuntut umum tidak jelas mengenai hak memilih dan dipilih apa yang dicabut dan hak itu adalah hak yang dimiliki oleh warga negara," tambah hakim Alexander.
Dalam pertimbangannya, hakim menilai Romi Herton dan Masyito terbukti melakukan perbuatan sesuai dengan dakwaan kesatu pertama yang berasal dari asal 6 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU No 13 tahun 1999 jo pasal 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP yaitu bersama-sama memberikan uang Rp14,145 miliar dan 316.700 dolar AS kepada Akil Mochtar untuk mempengaruhi putusan perkara permohonan keberatan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) kota Palembang yang sedang ditangani oleh Akil.
Romi Herton dan pasangannya Harno Joyo mengajukan keberatan ke MK karena suaranya kalah 8 suara. Selanjutnya, perkara itu ditangani Akil Mochtar bersama dengan dua hakim anggota yaitu Maria Farida Indrati dan Anwar Usman.
Romi kemudian meminta tolong kepada orang dekat Akil yaitu Muhtar Ependy. Selanjutnya Muhtar Ependy menyampakan permintaan Romi kepada Akil yang dijawab Akil agar Romi menyiapkan uang dan disanggupi oleh Romi.
Uang sebesar Rp11,395 miliar dan 316.700 dolar AS diberikan kepada Akil Mochtar melalui Muhtar Ependy di BPD Kalimantan Barat cabang Jakarta pada 13 Mei 2013 dan dititipkan kepada Iwan Sutaryadi.
"Tidak harus pihak pemberi yaitu terdakwa pertama dan terdakwa kedua bertemu penerima yang dituju yaitu Akil Mochtar tapi bisa lewat perantara dalam hal ini Muhtar Ependy, sehingga dua terdakwa menyerahkan pengurusan sengketa ke Muhtar Ependy sebanyak Rp11,395 miliar sudah diserahkan dan 316.700 ribu dolar AS di BPD Kalimantan Barat cabang jakarta dan diberikannya uang 316.700 dolar AS dan Rp3,8 miliar atau berjumlah lebih kurang Rp7,5 miliar dari Muhtar Ependy maka unsur memberi atau menjajinkan sesuatu telah terpenuhi dalam perbuatan terdakwa," ungkap hakim.
Meski pemberian hanya mencapai Rp7,5 miliar, namun hal itu tidak menghapus rangkaian pemberian kepada Akil.
"Terdakwa satu dan dua sudah punya niat dan tujuan dengan memberikan uang kepada Akil Mochar melalui Muhtar Ependy sudah terjadi sehingga unsur dengan maksud untuk hakim sudah terpenuhi," tambah hakim.
Sedangkan dakwaan kedua bagi Romi dan Masyito berdasarkan pasal 22 jo pasal 35 UU No 31 tahun 1999 jo No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai perbuatan memberikan keterangan tidak benar dalam penyidikan kasus Akil Mochtar.
"Sengaja diartikan si pembuat menghendaki memberikan keterangan yang tidak benar ketika orang bersaksi itu menerangkan untuk dirinya sendiri kalau dia menerangkan yang tidak benar maka dialah yang menanggung risiko akibat keterangannya sendiri," ungkap hakim.
Fakta di persidangan menurut hakim membuktikan Romi dan Masyito menjalin komunikasi dan juga berusaha untuk mencari uang dalam jumlah yang besar sebelum putusan MK. Meski Romi mengaku tidak mengetahui pemberian uang oleh istrinya, hakim menilai hal tersebut tidak logis.
"Sangat tidak logis terdakwa satu tidak mengeatahui pemberian uang oleh istirnya, sehingga pledoi harus ditolak," jelas hakim.
Namun pemberian uang tersebut untuk Akil menurut hakim adalah karena pengaruh Muhtar Ependy dan istrinya.
"Terdakwa satu dan dua menerima bantuan Muhtar dan istrinya karena Muhtar berhasil memepengaruhi terdakwa satu dan dua dengan menunjukkan foto bersama Akil untuk meyakinkan bahwa dia bisa membantu dalam pengurusan perkara. Tidak ada fakta yang bisa membuktikan proses persidangan karena pemberian uang kepada Akil pun mempengaruhi putusan perkara, bahkan putusan dibuat dengan suara bulat, sehingga dalam hal ini majelis hakim menyepakit pledoi terkdkwa bahwa 9 anggota majelis hakim MK mau membuka surat surat tidak ada kaitan dengan pemberian uang," tambah hakim Alexander.
Artinya perbuatan pemberian uang itu merupakan persekokongkolan jahat Muhtar dengan Akil.
"Mejelis hakim dalam persidangan Akil Mochtar juga tidak terpengaruh dengan kesaksian terdakwa satu dan dua karena mejelis hakim tetap berkesimpulan tetap terjadi pemberian uang kepada Akil sehingga tidak mengakiabatkan pemberian uang kepada Akil tidak terbukti," ungkap hakim.
Atas putusan itu, baik Romi maupun penuntut umum menyatakan pikir-pikir.