Denpasar (ANTARA Sumsel) - Kepulauan Nusantara dari Sabang sampai Merauke dikenal sebagai daerah yang subur,  curah hujan yang tinggi, sehingga tanaman apa saja yang dikembangkan akan tumbuh dan sanggup memberikan kehidupan yang layak bagi masyarakatnya.

Namun kenyataannya potensi tersebut hingga kini belum dimanfaatkan dengan baik sehingga  pangan seperti beras, kedele dan aneka jenis buah -buahan masih sangat tergantung dari produksi negara lain, sehingga impor hasil pertanian  tidak dapat dihindari.

Kedua pasangan calon presiden (Capres) mempunyai potensi,  keinginan dan tekad untuk memajukan pembangunan sektor pertanian yang tangguh di Indonesia sebelum lima tahun mendatang.

"Hal itu tergambar secara jelas dalam visi misi baik dua pasangan Capres dan Cawapres, yakni  Prabowo Subianto-Hatta Radjasa  maupun Joko Widodo-Jusul Kalla," kata  Pengamat masalah pertanian dari Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia.

Ketua Pusat Penelitian Subak Unud mengharapkan potensi bidang pertanian yang besar di Indonesia itu diharapkan bisa diolah dalam mewujudkan pertanian yang berdaulat berbasis kesejajhteraan rakyat.

Untuk itu pasangan Capres yang dipercaya rakyat untuk memimpin bangsa dan negara Indonesia lima tahun ke depan mampu mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian dan ketahnan pangan sehingga tidak lagi tergantung pada produk negara lain.

Pembangunan sektor pertanian diharapkan bisa menjadi prioritas utama sesuai  a   manat Udang-Undang Pangan dalam mewujudkan ketiga sasaran yakni ketahanan pangan, kemandirian pangan dan kedaulatan pangan, katanya.

Merealisasikan sasaran itu sangat memungkinkan karena wilayah Indonesia sebagai daerah tropis memiliki lahan pertanian yang sangat luas dan  subur.

"Masalahnya hanya kemauan pemerintah untuk mengalokasikan dana untuk membangun sektor pertanian secara sungguh-sungguh," tutur Prof Windia, Sekretaris Tim Penyusunan Proposal subak untuk menjadi warisan budaya dunia (WBD)

Organisasi dunia yang membidangi pangan dan pertanian (FAO) menetapkan standar untuk memajukan sektor pertanian di suatu daerah atau negara minimal harus mengalokasikan dana 20 persen untuk investasi di bidang pertanian.

Padahal  Indonesia hingga kini baru mengalokasikan  tujuh persen dana APBN untuk pembangunan sektor pertanian, bahkan Bali persentasenya baru 0,5 persen.

Jika Indonesia dapat mengucurkan dana untuk sektor pertanian sesuai standar FAO yang disertai dengan keseriusan serta pengawasan untuk menghindari adanya penyalahgunaan anggaran, maka Indonesia lima tahun mendatang bisa menjadi negara raksasa bidang pertanian di kawasan Asia Pasifik.

Hal itu tentu akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani, nelayan dan peternak yang selama ini hidup dibawah garis kemiskinan.

Hasil pertanian yang melimpah ruah tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam negeri, namun dapat menjadi komoditas ekspor yang mampu menghasilkan devisa.

Peluang untuk mengekspor hasil pertanian itu sangat memungkinkan, karena  Jepang sebuah negara maju dalam bidang industri misalnya diperkirakan tahun 2050 sawah-sawahnya akan habis  karena beralih fungsi.

    
Angin Segar Petani
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dwijendera Denpasar Dr I Gede Sedana  menilai suksesi kepemimpinan tingkat nasional melalui pemilihan presiden dan wakil presiden pada 9 Juli 2014 menjadi  angin segar bagi kesejahteraan para petani di Indonesia termasuk di Bali.      

Program pertanian pemerintahan yang baru sangat memerlukan adanya kebijakan yang bermuara pada sektor pertanian, yakni sektor pertanian harus menjadi salah satu sasaran bagi sektor-sektor lain yang memiliki keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan sektor pertanian.

Keterkaitan itu menyangkut industri, irigasi, transportasi, perbankan, pendidikan dan aspek lainnya dalam kehidupan masyarakat. Salah satu sistem yang dapat dikembangkan adalah penguatan sistem  agribisnis.

Agribisnis adalah suatu konsep yang utuh, mulai dari proses produksi, mengolah hasil, pemasaran dan aktivitas lain yang  berkaitan dengan kegiatan pertanian. Melalui sistem itu pemerintah wajib merancang adanya peningkatan nilai tambah bagi  setiap pelaku khususnya petani.

Petani tidak semata-mata ditempatkan sebagai  produsen atau penghasil produk tetapi lebih diorientasikan pada aspek bisnis terhadap  produk-produk yang dihasilkannya, seperti produk-produk pangan, hortikultura, peternakan,  perikanan dan perkebunan.

Sistem agribisnis yang diformat menjadi satu kesatuan  sistem yang sangat terintegrasi dan menguntungkan secara proporsional dan berkelanjutan. Oleh karena itu, agroindustri hulu dan agroindustri hilir diharapkan menjadi bagian yang  sangat signifikan integrasinya dengan sistem produksi pertanian.

Integrasi tersebut juga  memerlukan adanya sistem penunjang agribisnis guna dapat mewujudkan pertanian  berdaulat dan berbasis kesejahteraan petani.  Pertanian yang berdaulat tersebut dimaksudkan sistem pertanian di Indonesia  dapat memproduksi produkpertanian dalam arti luas guna memenuhi kebutuhan  dalam negeri, disamping sasaran untuk ekspor.

Untuk itu salah satu kebijakan yang diperlukan untuk mewujudkan pertanian berdaulat adalah kebijakan teknologi inovasi pertanian yang semakin berkembang. Teknologi itu meliputi aspek penyediaan sarana produksi dan mesin-mesin pertanian.

Selain itu juga menyangkut teknik berbudidaya mulai dari pembenihan sampai panen, seperti teknologi pascapanen yang  menyangkut cara panen, penyimpanan, pengolahan, pengemasan dan pemasaran.

"Kebijakan teknologi inovasi itu sangat perlu dibarengi dengan kebijakan peningkatan kualitas sumber daya manusia di setiap subsistem agribisnis, termasuk petani dan berbagai komponen lainnya seperti penyuluh pertanian,"  katanya,

Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun informal seperti pelatihan-pelatihan  yang menyangkut aspek teknis dan non-teknis soial, manajemen, organisasi dan bisnis, tutur Gede Sedana.

Pewarta : Oleh I Ketut Sutika
Editor : M. Suparni
Copyright © ANTARA 2024