“Setiap usia nggak jadi pikiran buat saya. Yang penting fisik saya masih bisa bersaing atau tidak,” ujarnya.
Fakta di Chon Buri menjadi jawabannya. Di usia 36 tahun, Eko masih mampu berada di tiga besar, bahkan ketika kondisinya belum sepenuhnya pulih.
Fokus Pemulihan
Dalam setahun terakhir, fokus Eko bukan mengejar angka maksimal, melainkan memulihkan lutut yang sempat mengganggu. Program latihan pun dijalani lebih hati-hati, dengan peningkatan bertahap dan tanpa paksaan.
“Untuk angkatan sendiri masih 90 persen-an, belum maksimal. Tapi kondisi lutut sudah hampir pulih, nggak ada masalah,” kata Eko.
Progres itu terlihat jelas. Dari Kejuaraan Asia hingga Kejuaraan Dunia di Norwegia, total angkatannya terus merangkak naik. Dari sebelumnya 300 kilogram, kini menjadi 304 kilogram di SEA Games Thailand.
“Secara tidak langsung, dengan kondisi pemulihan lutut, angkatan juga ada progres,” ujar Eko. Waktu persiapan untuk angkatan, kata Eko, memang tidak panjang, tetapi arahnya jelas dan terukur.
Perunggu di Thailand sekaligus mengakhiri rentetan emas Eko di SEA Games sejak edisi 2019 Filipina. Namun ia menerimanya dengan lapang dada.
Secara keseluruhan, Eko telah mengoleksi tujuh emas, dua perak, dan satu perunggu sepanjang tampil di pesta olahraga terbesar Asia Tenggara tersebut. Emas diraih pada SEA Games 2007 (56 kg), 2009 (62 kg), 2011 (62 kg), 2013 (62 kg), 2019 (61 kg), 2021 (61 kg), dan 2023 (62 kg). Sementara perak didapat pada SEA Games 2007 kelas 62 kilogram, dan perunggu terbaru di Thailand.
Medali di Negeri Gajah Putih itu, menurut Eko, juga sesuai dengan target yang ditetapkan Pengurus Besar Perkumpulan Angkat Besi Seluruh Indonesia (PB PABSI). Apalagi peta persaingan kini berubah, dengan Vietnam, Malaysia, dan Thailand tampil kuat, terutama saat menjadi tuan rumah.
“Masih bersyukur. Kita masih dikasih rezeki, masih bisa bersaing dengan usia yang seperti ini,” katanya.
Menatap Aichi dan Los Angeles
Selepas SEA Games, pandangan Eko kini mengarah ke Asian Games 2026 Aichi–Nagoya. Ia tidak ingin sekadar tampil. Ia ingin mengukur apakah dirinya masih pantas berada di lingkaran elite Asia.
Lifter-lifter kuat dari China, Korea Selatan, hingga Korea Utara sudah menanti. Persaingan akan jauh lebih keras, dan Eko sadar betul akan hal itu.
“Kita lihat nanti persaingan di situ. Kalau masih mampu masuk lima besar, ya kita coba ke kualifikasi Olimpiade,” katanya.
Soal peluang tampil di Olimpiade 2028 Los Angeles, Eko memilih bersikap realistis. Ia paham seleksi tidak mengenal kompromi. Jika kalah bersaing, ia siap mundur. Namun selama belum dikalahkan, ia merasa masih layak bertahan.
Target itu bukan ambisi kosong. Eko ingin tampil untuk kelima kalinya di pesta olahraga terbesar dunia setelah sebelumnya berlaga di Beijing 2008, London 2012, Rio de Janeiro 2016, dan Tokyo 2020. Dari empat edisi itu, ia menyumbang dua perunggu (Beijing dan London) serta dua perak (Rio dan Tokyo) untuk Indonesia.
Pandangan tersebut sekaligus menjadi jawabannya atas ekspektasi publik dan suara-suara yang kerap meminta Eko Yuli untuk selesai dan memberi jalan bagi generasi muda.
Eko memilih tak ambil pusing. Ia hanya meminta satu hal yaitu biarkan prestasi yang menentukan.
“Kalau memang ada pengganti, kualitasnya harus jelas. Jangan tiba-tiba mengganti tanpa bisa mengalahkan,” ujarnya.
“Dari dulu saya mendidik, junior harus ngalahin senior dulu. Kalau saya dikalahkan, saya akan mundur sendiri,” katanya tegas.
Di usianya kini, Eko tak lagi mengejar pembuktian. Ia menikmati kompetisi, menikmati proses, dan bersyukur masih diberi kesempatan berdiri di panggung besar.
Seperti atlet-atlet besar dunia yang menolak tunduk pada angka usia, Eko percaya selama tubuh dan semangat masih mau diajak bertarung, perjalanan itu belum selesai.
Perunggu di SEA Games 2025 bukan akhir cerita Eko Yuli Irawan. Ia menegaskan bukan usia yang akan menghentikan langkahnya. Selama tubuh masih bisa, Eko akan terus berusaha.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Eko Yuli Irawan menolak tunduk pada usia
