Jakarta (ANTARA) - Setelah bertahun-tahun terbelenggu konflik internal, polemik dualisme organisasi, dan stagnasi prestasi, olahraga tenis meja Indonesia akhirnya mulai menapaki lembaran baru.
Jalan panjang yang penuh polemik dan intrik mulai menemukan ujung terang, menumbuhkan kembali asa yang sempat pudar.
Keputusan Federasi Tenis Meja Dunia (ITTF) yang mengakui Indonesia Pingpong League (IPL) sebagai induk organisasi resmi tenis meja Indonesia menjadi tonggak penting dalam sejarah pembaruan olahraga yang telah lama digemari masyarakat ini.
Dalam rapat umum tahunan (AGM) ITTF di Doha, Qatar, Mei 2025, status keanggotaan PP PTMSI resmi dicabut, dan IPL ditetapkan sebagai anggota sah mewakili Indonesia.
Langkah tegas ini bukan keputusan tiba-tiba. Asian Table Tennis Union (ATTU) dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI/NOC Indonesia) turut mengawal proses transisi. NOC Indonesia bahkan membentuk Komite Transisi yang diketuai oleh Anindya Bakrie dengan mandat untuk menyusun fondasi baru bagi tata kelola tenis meja tanah air.
Presiden NOC Indonesia Raja Sapta Oktohari menyebut resolusi ini sebagai buah dari kerja kolektif berbagai pihak untuk mengakhiri kisruh dua dekade yang merugikan banyak pihak, terutama para atlet.
“Tidak ada lagi ancaman terhadap atlet. Semua dijamin bisa bertanding di ajang single maupun multievent internasional tanpa diskriminasi,” kata Okto dengan tegas.
Dalam Rapat Anggota Luar Biasa KOI yang digelar pertengahan Juli, IPL pun resmi diterima sebagai anggota baru bersama lima organisasi lainnya yang menandai akhir masa transisi dan awal masa pembinaan baru yang lebih terbuka dan profesional.
Bongkar paradigma lama
Tenis meja Indonesia bukan nama baru di kancah Asia. Diperkenalkan sejak era kolonial Belanda pada 1930-an, olahraga ini berkembang pesat hingga melahirkan organisasi nasional Persatuan Ping Pong Seluruh Indonesia (PPPSI) pada1939, yang kemudian berubah menjadi Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PTMSI) pada 1958.
Pada 1960, Indonesia bahkan menjadi anggota Table Tennis Federation of Asia (TTFA), menunjukkan mimpi besar saat itu.
Namun, dua dekade terakhir menjadi periode suram. Konflik berkepanjangan antara PB PTMSI dan PP PTMSI melumpuhkan sistem pembinaan, meniadakan kejuaraan, dan memutus jalur partisipasi internasional. Bahkan dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua 2020, yang berlangsung pada 2021, tenis meja absen karena konflik kepengurusan.
Kini, harapan itu kembali. IPL hadir tidak sekadar sebagai pengganti organisasi lama, tetapi juga membawa semangat pembaruan.
Langkah konkret pertama adalah menyelenggarakan liga nasional tenis meja yang terbuka dan kompetitif. Liga ini bukan hanya ajang bertanding, melainkan juga sistem seleksi tim nasional yang berbasis performa nyata di lapangan.
“Evaluasi kami bukan sekali seleksi lalu selesai. Tapi terus-menerus, berdasarkan performa nyata,” kata Sekretaris Jenderal IPL Yon Mardiyono kepada ANTARA.
Pendekatan ini juga bagian dari upaya membangun meritokrasi dalam pembinaan olahraga nasional, sebuah sistem yang dapat dikatakan selama ini langka dan sangat dirindukan para pelaku olahraga.
Meski demikian, tantangan yang dihadapi tak ringan. Di satu sisi, Indonesia punya banyak pemain bertalenta yang kerap mendominasi kejuaraan lokal. Namun di sisi lain, kiprah internasional Indonesia dalam tenis meja terbilang minim. Salah satu alasannya adalah kurangnya jam terbang internasional.
“Kita tidak kalah dalam potensi, tapi tertinggal dalam jam terbang. Tapi bukan berarti tidak bisa,” ujar Anton Suseno, mantan atlet nasional yang kini menjadi pelatih di Klub Onic.
Ia percaya, dengan sistem yang terbuka dan terencana, Indonesia bisa mengejar ketertinggalan tersebut.
Yon pun menyadari untuk mengejar ketertinggalan butuh konsistensi dan kesabaran.
Dia mencontohkan Singapura yang telah menjalankan program naturalisasi sejak 1995 dan baru dalam beberapa tahun terakhir muncul atlet lokal yang mampu bersaing di tingkat dunia.
Membangun ekosistem
Maka dari itu, IPL mulai mendorong partisipasi klub-klub di ajang internasional. Untuk pertama kalinya setelah resmi menjadi induk organisasi, IPL mengirim tiga tim terbaik yaitu Onic, PTM Sukun, dan Arwana Jaya TCC, hasil dari kompetisi bertajuk IPL 2025 seri 1 ke turnamen STIGA ASEAN Table Tennis Club Championship Challenge 2025 di Thailand pada 19–20 Juli.
Turnamen ini menjadi batu loncatan untuk menguji kekuatan klub Indonesia di level regional, sekaligus membuka jalan bagi atlet untuk mendapatkan pengalaman bertanding di luar negeri.
Namun pembangunan tidak cukup hanya lewat kompetisi. Menurut Yon, ekosistem tenis meja nasional harus tumbuh sebagai industri.
Liga yang profesional, pembinaan usia dini, dan kerja sama dengan sektor swasta menjadi kunci untuk membangun fondasi yang berkelanjutan. “Olahraga ini harus jadi industri. Tapi pembinaan tetap fondasinya,” katanya menegaskan.
Yang menarik, IPL juga membuka peluang bagi atlet non-pelatnas untuk bergabung dalam tim nasional SEA Games 2025.
Saat ini, sebanyak 16 nama (delapan putra dan delapan putri) telah diproyeksikan masuk skuad berdasarkan hasil seleknas Kemenpora, Mei. Namun komposisi ini bisa berubah sewaktu-waktu bergantung pada hasil evaluasi performa di liga dan turnamen uji coba.
Kesempatan ini menjadi angin segar bagi para atlet daerah dan klub yang selama ini merasa terpinggirkan dari radar pelatnas. Artinya, jalur ke tim nasional kini lebih inklusif dan berbasis pada kinerja, bukan sekadar kedekatan atau nama besar.
Dengan langkah awal yang sudah diambil IPL, secercah harapan itu mulai tampak nyata. Bukan lagi sekadar wacana pengurus di atas kertas, tapi perlahan menjelma menjadi sistem, program, dan kesempatan nyata bagi atlet.
Tentu, jalan masih panjang. Sistem yang dibangun hari ini belum sempurna, dan pasti akan menghadapi banyak tantangan di tengah jalan. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, tenis meja Indonesia punya arah yang jelas. Punya rumah baru. Dan lebih penting lagi, punya semangat untuk berubah.
Sebab olahraga, pada akhirnya, adalah tentang siapa yang mau terus berjalan saat jalanan tak lagi mulus. Tentang siapa yang bersedia memulai dari nol, membenahi satu per satu, meski hasilnya belum langsung terlihat.
Kini terlihat, hal itu mulai terjadi. Bukan hanya di meja pertandingan, tapi juga dalam cara berpikir, cara membina, dan cara berharap.
Tenis meja Indonesia memang belum sampai di garis finis. Tapi setidaknya, sudah tahu ke mana harus melangkah. Itulah yang selama ini paling dirindukan.
Baca juga: Gugatan PB PTMSI kandas di PTUN, negara diizinkan pengadilan selesaikan kasus dualisme kepengurusan
Baca juga: Abdel dan Desta sentil federasi tenis meja agar tidak ribut melulu
