Menyorot performa keselamatan di jalan tol
Terkait pelanggaran kecepatan, konteksnya bukan hanya kendaraan yang melebihi kecepatan saja (overspeed) tetapi juga kendaraan yang kecepatan rendah (low speed), dalam hal ini kendaraan truk. Sering juga bus melaju di jalur kanan.
Selain itu, keberadaan truk yang mengangkut beban melebihi kapasitas (ODOL/overload, overdimention) sangat mengkhawatirkan. Bukan saja merugikan secara ekonomi dan merusak struktur jalan, tetapi juga memicu fatalitas jika terjadi kecelakaan. Sering terjadi kendaraan pribadi yang melaju kencang menyundul truk ODOL yang berjalan sangat lambat. Dalam hal ini, perlu komitmen serius Pemerintah (lintas kementerian dan lembaga) untuk melarang keberadaan truk ODOL dan pihak kepolisian konsisten dalam penegakan hukum. Adapun BUJT bisa berperan untuk menghalau truk ODOL saat mereka memasuki ke area jalan tol.
Kedua, masih lemahnya penegakan hukum, khususnya yang berbasis teknologi. Walau jalan tol dilengkapi CCTV per 1 km, bahkan ada yang per 500 m, hal ini belum terintegrasi terhadap penegakan hukum secara digital, yakni ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement) oleh Korlantas Mabes Polri. Jika sistem ini berjalan, maka pengguna jalan tol yang melanggar rambu-rambu, khususnya yang melanggar kecepatan, bisa ditilang secara otomatis.
Ketiga, kondisi fisik jalan tol, misalnya terdapat benda asing di jalan tol (kayu), air tergenang (aqua planing), kebakaran di sepanjang jalan yang menimbulkan asap pekat sehingga menimbulkan kecelakaan beruntun, seperti kasus di ruas Tol Surabaya Mojokerto. Kebakaran juga timbul oleh adanya pengguna tol yang membuang puntung rokok, dan kemudian membakar rumput kering (musim kemarau).
Keempat, belum ada upaya yang sungguh-sungguh dan sistematis dari operator jalan tol (Badan Usaha Jalan Tol), untuk melakukan rekayasa guna mereduksi fatalitas kecelakaan, baik rekayasa teknis dan atau rekayasa sosiologis. Upaya yang dilakukan operator jalan tol untuk hal ini masih terbilang parsial (adhoc).
Harus ada upaya radikal
Upaya rekayasa menurunkan kecelakaan yang dilakukan oleh manajemen ruas Tol Kertosono-Ngawi, seperti singing road, memasang stiker menyala di bodi truk dan memberikan kopi gratis pada sopir truk, berikut inovasi lainnya, diklaim mampu menurunkan angka kecelakaan fatal hingga 70 persen (2019--2023). Ini upaya yang sangat positif, yang bisa di-copy paste oleh operator jalan tol lainnya.
Merujuk pada konfigurasi persoalan di atas, bukan hal yang aneh jika potensi terjadinya kecelakaan di jalan tol justru akan meningkat, seiring meningkatnya jumlah kendaraan yang melintasi jalan tol (lalu lintas harian), dan seiring pula bertambahnya ruas jalan tol, khususnya di Pulau Jawa.
Oleh karena itu, harus ada upaya radikal untuk mengatasinya. Mitigasi yang mendesak dilakukan untuk menekan (tingginya) kecelakaan tol, antara lain: menekan tingginya fenomena speed gap di jalan tol, yang mencapai lebih dari 70 persen. Makin tinggi speed gap, kian tinggi potensi terjadinya kecelakaan, dan sebaliknya. Speed gap yang ideal di jalan tol adalah maksimal 30 persen.
Untuk mendorong terciptanya speed gap yang ideal maka, meningkatkan kepatuhan kecepatan maksimal pengguna kendaraan pribadi maksimum 80 km/jam (tol dalam kota), dan maksimum 100 km/jam untuk tol luar kota. Adapun untuk kategori low speed, maka paling lambat adalah 60 km/jam, dan berjalan di sebelah kiri.
Untuk menciptakan kondisi ideal seperti ini, maka tak ada opsi lain, Pemerintah harus segera melarang total truk ODOL tersebut. Upaya melarang truk ODOL jangan hanya klaim dan janji sesaat.
Jalan tol adalah jalan berbayar. Oleh karena itu operator jalan tol (BUJT) wajib bertanggung jawab untuk mewujudkan performa jalan tol yang menjunjung tinggi aspek keselamatan, keamanan, dan kenyamanan. Ketiga aspek ini merupakan hak dasar bagi pengguna jalan tol selama berkendara di jalan tol.
Kepatuhan terhadap instrumen standar pelayanan minimal (SPM) yang dimandatkan oleh regulator, dalam hal ini Kementerian PU, harus diwujudkan setiap saat. Lolosnya truk ODOL yang memasuki area jalan tol adalah bentuk gagalnya pemenuhan SPM oleh operator tol.
Untuk mewujudkan kepatuhan SPM tersebut, sangat diperlukan berbagai terobosan dan inovasi teknis dan sosiologis guna mencapai standar keselamatan yang tinggi di jalan tol, salah satunya inovasi menghalau truk ODOL dari area jalan tol plus dukungan dan sinergi dari kementerian/lembaga lainnya.
Jangan sampai jalan tol di Indonesia justru menjadi killing field bagi penggunanya karena melakukan pembiaran truk ODOL melenggang di jalan tol.
*) Tulus Abadi, Pengamat Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik, Anggota Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Unsur Masyarakat, Kementerian Pekerjaan Umum
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menyorot performa keselamatan di jalan tol