Jakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Studi Keamanan Nasional dan Global Universitas Padjadjaran Yusa Djuyandi mengatakan Pemerintah Indonesia perlu melakukan tindakan tegas dengan hard power (pendekatan militer) selain soft power (diplomatik) dalam menyikapi persoalan Natuna.
"Sudah sepatutnya Pemerintah Indonesia mengambil kembali tindakan tegas, baik secara diplomatik maupun militer," ujar Yusa dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Sabtu.
Yusa menegaskan, Natuna salah satu pulau terluar di Indonesia yang memiliki arti penting bagi kedaulatan negara. Pulau tersebut menjadi semakin penting karena secara langsung juga bersinggungan dengan batas laut wilayah negara-negara lain di ASEAN.
"Tidak jarang beberapa kapal nelayan kita dihalau oleh kapal patroli negara lain, seperti Malaysia dan Vietnam, padahal sesungguhnya kapal nelayan kita masih berada di dalam batas wilayah Zone Eksklusif Indonesia. Bahkan tidak jarang pula kapal patroli kita yang juga harus berhadapan dengan kapal nelayan asing yang dilindungi oleh kapal patroli negaranya," ujar Yusa.
Dia menekankan pembahasan soal batas wilayah di sekitar laut Natuna sesungguhnya sudah sangat jelas, yaitu mengikuti hukum UNCLOS (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).
Akan tetapi, kata dia, pelanggaran dan persinggungan antara kapal nelayan dan patroli Indonesia dengan negara lain selalu saja terjadi. Persoalannya persinggungan dan ancaman itu bukan hanya terjadi sekali atau dua kali, tetapi berkali-kali.
Menurut dia, jika persinggungan terjadi antarkapal patroli negara-negara ASEAN, maka bisa dibicarakan melalui cara diplomatik dan dalam forum internal ASEAN (soft power), ketimbang menggunakan cara kekuatan militer (hard power).
"Namun lain halnya dengan pelanggaran dan ancaman yang diberikan oleh kapal patroli China. Pelanggaran yang dilakukan oleh kapal patroli China perlu disikapi sedikit berbeda dengan pelanggaran oleh kapal laut negara tetangga," ujar dia lagi.
Dia mengatakan dalam konteks persinggungan wilayah laut antara Indonesia, Malaysia dan Vietnam, ketiga negara memiliki batas wilayah laut yang memang bersinggungan, sehingga kesalahpahaman sangat mungkin terjadi. Tetapi dalam konteks China, negara tersebut memang memiliki ambisi untuk memperluas batas wilayah lautnya.
"Kita bisa melihat bagaimana konflik dan persinggungan antara RRC dengan negara-negara lain di ASEAN, seperti dengan Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei," kata Yusa.
Dalam posisinya terhadap Indonesia, Yusa mengatakan, klaim China terhadap Laut China Selatan jelas merugikan dan bahkan bisa mengancam kedaulatan Indonesia, karena batas ZEE Indonesia menjadi salah satu yang turut diklaim oleh China.
Kapal nelayan dan bahkan Kapal Patroli Laut dari China seringkali menjelajah jauh dari batas laut negara mereka yang sesungguhnya, tetapi karena adanya klaim politik China atas Laut China Selatan, maka kapal nelayan China seolah mendapat pembenaran untuk berlayar dan mengeksploitasi kekayaan alam laut negara lain.
Atas dasar itu Yusa menilai pemerintah perlu mengambil tindakan tegas dengan pendekatan militer selain diplomatik.
"Kita paham bahwa untuk menghadapi China secara militer sepertinya akan banyak menemui banyak ketimpangan, tetapi jika konteksnya adalah penegakan hukum laut internasional dan kedaulatan maka pemerintah kita tidak perlu ragu," kata dia.
Dia meyakini akan banyak negara-negara lain yang mendukung dan berjuang bersama Indonesia seandainya kemudian penegakan hukum yang dilakukan Pemerintah Indonesia justru disikapi secara berlebihan oleh China.
Dia juga mengusulkan agar kapal laut TNI AL dan kapal udara TNI AU dapat lebih intensif berpatroli di wilayah laut perbatasan Natuna, sebab kekuatan kapal patroli laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak seimbang dengan kapal patroli China Coastal Guard.
"Semoga pandangan ini dapat memberikan masukan berharga buat pemerintah kita," kata Yusa pula.