Bahasa Indonesia yang kian "digempur"

id bahasa indonesia, logat, percakapan, bicara, gaul, anak , muda, Inggris, Jepang, Prancis, Sumpah Pemuda, DPR, pejabat pemerintah, pengamat sosial

Bahasa Indonesia yang kian "digempur"

Buku Bahasa Indonesia (ANTARA FOTO/Joko Sulistyo)

....Bahasa Indonesia terus dirusak oleh bangsa ini sendiri?....
Salah satu kehebatan luar biasa bangsa Indonesia pada saat ini adalah begitu banyaknya warganya yang memiliki hubungan erat dengan orang-orang dari berbagai negara sahabat, bekerja di lembaga-lembaga internasional hingga menjadi anggota pasukan perdamaian PBB.

Dengan menjalin hubungan bersama orang-orang asing tersebut, maka pastilah anak bangsa ini harus menguasai bahasa asing supaya percakapan dengan pihak-pihak luar negeri itu dapat berlangsung lancar. Karena itu terasa amat wajar jika seorang warga negara Indonesia menguasai Bahasa Inggris, Jepang, Prancis dan beragam bahasa asing lainnya.

Akan tetapi banyak sekali anak bangsa ini yang saling terbiasa memakai bahasa asing kini seakan-akan melupakan bahasa nasionalnya sendiri. Padahal Bahasa Indonesia pada tanggal 28 Oktober tahun 1928 telah dinyatakan sebagai Bahasa Persatuan, selain telah dinyatakan pula Bertanah Air Satu Tanah Air Indonesia dan Satu Bangsa Bangsa Indonesia.

Tanpa terasa tanggal 28 Oktober 2017 sudah di depan mata sehingga amat patut seluruh bangsa Indonesia mulai dari tingkat yang paling tinggi hingga terendah, mengingat kembali betapa susahnya Sumpah Pemuda disusun dan dinyatakan puluhan tahun lalu itu. Kini seluruh anak bangsa hanya satu tugas utamanya adalah mempertahankan dan melaksanakan seluruh isi Sumpah Pemuda itu tanpa kecuali sama sekali.

Tapi sadarkah bahwa  "gara-gara" terlalu sering bergaul dengan orang-orang dari negara lain maka secara perlahan "tapi pasti" Bahasa Indonesia terus dirusak oleh bangsa ini sendiri?

Setiap hari, secara kasat mata terlihat ada saja kata-kata yang berasal dari bahasa asing yang memasuki Bahasa Indonesia padahal di dalam bahasa persatuan sudah ada kata padanan yang artinya sama dengan bahasa dari luar itu.

Bisa diambil contoh, jka memerhatikan kegiatan di kompeks parlemen di Senayan, Jakarta maka hampir setiap hari ada saja kegiatan yang membahas atau membicarakan rancangan undang-undang ataupun peraturan pemerintah.

Tanpa merasa bersalah apa pun juga terhadap Bahasa Indonesia sangat banyak orang di sana yang terbiasa menggunakan istilah asing "draft" padahal bangsa ini sudah memiliki kata padanannya yang sudah memasyarakat sekali yaitu rancangan.

Pertanyaanya adalah, apakah anggota DPR, pejabat pemerintah, pengamat sosial dan politik bahkan wartawan kurang percaya diri alias malu jika hanya menggunakan kata "rancangan" jika sedang membicarakan "draft" sebuah rancangan undang-undang?

Surat kabar Media Indonesia misalnya pada tanggal 23 Oktober menurunkan sebuah berita berjudul "Santri Komit Terus Jaga Keutuhan NKRI".

Yang patut dipertanyakan kepada wartawan dan juga redaktur koran itu adalah apakah Bahasa Indonesia sudah tidak memiliki sama sekali kata padanan bagi kata"komit" itu?

Apakah kata "Berjanji" ataupun "Bertekad" sama sekali kurang gagah ataupun bergengsi jika dibanding dengan kata "komit" itu? Yang patut dipertanyakan adalah apakah orang Badui, Dayak, Asmat, Timor sudah mengerti dan memahami kata "komit" itu?

Tanpa sedikitpun menyindir atau merendahkan saudara-saudara sebangsa dan setanah air itu, perlu disadari bahwa sekitar 60 persen bangsa ini hanya berpendidikan atau tamat sekolah dasar atau bahkan tidak tamat sehingga bisa dibayangkan bahwa mereka itu tak terbiasa memakai kata atau istilah-istilah asing.

Contoh lain adalah begitu merajalelanya penggunaan kata dari bahasa Inggris "kolaborasi" padahal kalau dipikirkan apakah kata itu mempunyai arti yang berbeda sekali atau berlawanan dengan istilah dari dalam negeri sendiri yaitu "kerja sama" ataupun misalnya "hubungan erat". Mungkin orang-orang Indonesia masa kini merasa "gengsi atau malu hati" jika terbiasa menggunakan kata kerja sama itu.

    
        "Bisnis lendir"
Sementara itu televisi JTV pada hari Ahad, 22 Oktober sekitar pukul 19.00 Waktu Indonesia Barat membuat liputan tentang masalah pelacuran yang tentu terbiasa dikaitkan dengan bahasa kerennya "wanita tuna susila" atau WTS.

Tanpa ragu sedikitpun seorang pewarta dari televisi swasta itu yang kebetulan seorang wanita memakai istilah "bisnis lendir".

Yang bisa atau perlu dipertanyakan kepada pengelola tv itu mulai dari direktur pemberitaan, redaktur hingga pewartanya adalah apakah sang pewarta tersebut sudah tidak mempunyai perbendaharaan kata yang lebih pantas atau sopan untuk memberikan gambaran atau cerita tentang dunia hitam ini? Kalau sang pewarta tadi misalnya ditanya oleh anggota keluarganya yang masih kecil misalnya berumur 10 tahun tentang istilah "bisnis lendir" maka apakah dia mampu menjelaskan secara rinci dengan bahasa yang sopan atau sedikitnya pantas?

Kini dalam pembicaraan sehari- hari dengan mudahnya bisa ditemukan istilah yang berasal dari bahasa asing yang dipakai oleh orang-orang Indonesia. Namun pertanyaannya adalah, haruskah bahasa asing dimanfaatkan dalam pembicaraan di dalam negeri sendiri?

Memang pergaulan dengan bangsa lain mengharuskan awak bangsa ini memahami dan menguasai bahasa Inggris, Prancis, Jepang ataupun dari mana pun juga. Namun tentulah tidak berarti bahwa istilah-istilah atau kata-kata yang berasal dari luar negeri itu harus digunakan dalam kehidupan sehari-hari di sini.

Pada saat Sumpah Pemuda diikrarkan tentu bahasa Belanda sangat terbiasa digunakan di Indonesia terutama oleh kaum terpelajar. Namun kemudian kenapa harus diumumkan atau dinyatakan bahwa Bahasa Indonesia harus dijadikan Bahasa Persatuan?

Tentu tokoh-tokoh pemuda saat itu sudah mempunyai pemikiran atau renungan yang sangat mendalam tentang amat perlunya bahasa persatuan. Karena bangsa Indonesia sudah ratusan tahun dijajah oleh orang Belanda maka wajar jika bahasa Belanda itu dijadikan bahasa nasional saja walaupun pada saat itu banyak orang Indonesia yang belum memiliki tingkat pendidikan yang memadai.

Karena itu, keputusan menetapkan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan puluhan tahun lalu itu harus dijadikan pelajaran oleh semua anak Bangsa Indonesia-- saat kini dan mendatang-- bahaw apa pun juga alasannya maka Bahasa Persatuan ini harus dipertahankan sampai kapan pun juga di sini.

Boleh saja semua anak bangsa fasih berbahasa asing, namun harus diingat bahwa di sini sudah ada Bahasa Persatuan yakni Bahasa Indonesia sehingga lumrah dalam percakapan sehari-hari tidak dibiasaka dan "bercas cis cus" dengan bahasa asing.

Karena itu, tidak ada salahnya apabila tanggal 28 Oktober tahun 2017 ini dijadikan saat yang sangat tepat untuk benar-benar mengikrarkan tetap digunakannya Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan sampai kapan pun juga.

Bahasa Indonesia sampai kapan pun juga harus tetap menjadi tuan rumah di sini dan jangan sampai kalah dari bahasa asing yang mana pun juga.