Malang (ANTARA Sumsel) - Psikolog Universitas Brawijaya (UB) Malang Cleoputri Yusainy mengajak seluruh warga untuk belajar berdamai dengan diri sendiri dan menghadapi realita dalam hidup meski terasa pahit agar tidak terjadi "self harm", bahkan bunuh diri.
"Fenomena dan maraknya kasus bunuh diri, khususnya di kalangan mahasiswa akhir-akhir ini tidak disebabkan faktor tunggal. Secara psikologi kita juga tidak bisa hanya menebak-nebak penyebab kasus bunuh diri yang dilakukan oleh seseorang," katanya menanggapi maraknya kasu bunuh diri di kalangan mahasiswa di Kota Malang, Jawa Timur, Rabu.
Menurut Cleo, perilaku manusia penyebabnya juga tidak tunggal. Namun, jika manusia mengambil nyawa dirinya sendiri, teori psikologinya adalah merasa realita sekitar sudah tidak bisa dia kendalikan. Untuk merebut kembali kenyataan itu, mereka memilih untuk menghilangkan nyawanya sendiri.
Cleo mengemukakan tidak mungkin hanya satu penyebab bisa membuat seseorang bunuh diri dan tidak semua yang bunuh diri mengalami gangguan mental, bisa jadi karena alasan dan faktor lain. Demikian sebaliknya, yang gangguan mental pun belum tentu semuanya berakhir dengan bunuh diri.
Ia mengatakan yang terpenting adalah sensitivitas lingkungan dan teman terhadap mengenali perubahan perilaku seseorang. Lingkungan sekitar harus cepat tanggap terhadap perubahan perilaku seseorang terutama orang-orang dekat. "Curahan hati (curhat) memang tidak bisa serta merta menyelesaikan setiap persoalan, namun paling tidak membantu meringankan dan bersama-sama bisa mencari solusi," ujarnya.
Sementara pengobatan depresi yang dialami seseorang, lanjutnya, juga tidak bisa dilakukan hanya dengan curhat ke orang-orang terdekat, bahkan psikolog, tetapi harus dengan cara medis, sebab depresi berat (gangguan mental) itu akibat terjadinya keridakseimbangan kimia.
Selain bunuh diri, kata Cleo, yang sering terjadi pada anak muda (kalangan mahasiswa dan pelajar) adalah self harm atau menyakiti diri sendiri, bahkan mereka banyak yang menjadi kecanduan sendiri hingga kebablasan dan akhirnya menghilangkan nyawa diri sendiri alias bunuh diri.
Prevalensinya "self harm" di kalangan mahasiswa cukup tinggi, yakni sekitar 15-20 persen di negara maju. Bentuk dari self harm ini bisa mengiris pergelangan tangan, mengamplas kulit, mencatok rambut yang dikenakan pada kulit kepala, hingga mengkonsumsi obat secara berlebihan, yang akhirnya mereka bisa kebablasan.
Ia mengakui sebenarnya ada hal mudah dan sederhana untuk menghindari kasus-kasus self harm hingga bunuh diri tersebut, namun sangat sulit untuk dilaksanakan, yakni belajar menerima realita dan berdamai dengan realita itu. "Selama kita bisa berdamai dengan kenyataan pasti kita juga bisa berdamai dengan diri sendiri, sehingga hal-hal yang merugikan diri sendiri bisa dihindari (dicegah)," katanya.
Dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir ini, sejumlah mahasiswa dari perguruan tinggi berbeda yang ada di Kota Malang ditemukan meninggal karena bunuh diri, bahkan Senin (7/8) ditemukan dua mahasiswa di Kota Malang meninggal akibat bunuh diri.
Berita Terkait
Algorithmics kenalkan pembelajaran matematika secara interaktif
Jumat, 6 Desember 2024 11:13 Wib
Dinkes Prabumulih belajar ke Kemenkumham Sumsel terkait penerapan ZI
Kamis, 5 Desember 2024 7:30 Wib
Disdik OKU Selatan wujudkan masa transisi PAUD ke SD menyenangkan
Senin, 2 Desember 2024 16:36 Wib
Breeding center domba premium IPB belajar ke AS
Senin, 18 November 2024 11:47 Wib
Balai Bahasa Sumsel menggelar lomba menulis cerpen bahasa daerah
Selasa, 12 November 2024 23:00 Wib
Nadiem Makarim titipkan Merdeka Belajar kepada kabinet baru
Jumat, 18 Oktober 2024 16:00 Wib
Menunggu arah kebijakan pendidikan Prabowo
Jumat, 18 Oktober 2024 13:34 Wib
Kemendikbudristek jadikan digitalisasi solusi genjot mutu kampus di Indonesia
Rabu, 16 Oktober 2024 16:19 Wib