Sumpah pemuda dalam konteks kekinian

id sumpah pemuda, hari sumpah pemuda, Kongres Pemuda II di Batavia pada 27-28 Oktober 1928, Museum Sumpah Pemuda, prasasti di Langen Siswo, pondokan pela

Sumpah pemuda dalam konteks kekinian

Ilustrasi- Peringatan hari Sumpah Pemuda (ANTARA FOTO)

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Masihkah pemuda memegang sumpahnya?
Itulah pertanyaan besar dalam merefleksikan Peringatan Sumpah Pemuda yang tiap tahun diperingati pada 28 Oktober.

Sumpah Pemuda yang merupakan hasil keputusan dari Kongres Pemuda II di Batavia pada 27-28 Oktober 1928 untuk bertumpah darah satu, tanah Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesa; dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia, memang selalu dan selamanya relevan dengan konteks kekinian.

Namun untuk mereaktualisasikan nilai-nilai yanga terkandung dalam sumpah itu yang tampaknya perlu terus dipelihara secara baik.

Sumpah Pemuda bukanlah sekadar tulisan pada prasasti di Langen Siswo, pondokan pelajar dan mahasiswa Jong Java, yang kini menjadi Museum Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta Pusat.

Untuk mereaktualisasikan Sumpah Pemuda juga bukan hanya melalui kemeriahan  berbagai kegiatan kirab pemuda, sarasehan, nusantara berdendang, atau pencerahan kebangsaan, melainkan seberapa dalam nilai-nilai yang terkandung dalam Sumpah Pemuda itu yang masih tertanam.

Selain itu juga bagaimana orientasi pemuda Indonesia masa kini dalam menghadapi berbagai tantangan bangsa, bagaimana peran pemuda dalam era globalisasi yang makin kompetitif, dan kecintaan pemuda Indonesia kepada Tanah Air.

Adalah menarik yang disampaikan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrowi pada Pencerahan Kebangsaan dalam memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-88 di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada 27 Oktober 2016 bahwa pemuda masa kini juga harus membuat sejarah untuk generasi yang akan datang.

Para pemuda Indonesia harus melanjutkan cita-cita pemuda pendahulu sebagai sebuah kekuatan moral untuk tetap bersatunya dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Masih lekat dalam ingatan fenomena seorang siswa SMA Islam Dian Didaktika Kota Depok, Jawa Barat, Gloria Natapradja Hamel, yang dicoret namanya pada saat-saat terakhir menjelang pelaksanaan tugasnya sebagai anggota Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka) tingkat Nasional untuk upacara memperingati Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan ke-71 RI di halaman Istana Merdeka, Jakarta, karena dianggap bukan warga negara Indonesia lantaran memiliki paspor berkebangsaan Prancis.

    
    Indonesia tercinta

Ia menulis surat bermeterai kepada Presiden Joko Widodo yang menegaskan dirinya mencintai Indonesia dan tetap memilih menjadi warga negara Indonesia.

"Saya tidak pernah memilih kewarganegaraan Prancis karena darah dan nafas saya untuk Indonesia tercinta", begitu putri dari ibu yang berkewarganegaraan Indonesia dan ayah yang berkewarganegaraan Prancis.

Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, jelas disebutkan seseorang kehilangan status warga negara Indonesia apabila memiliki paspor negara lain karena Indonesia menganut prinsip kewarganegaraan tunggal.

Gloria tetap datang ke Istana sebagai undangan pada 17 Agustus 2016, bahkan dia diterima oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Wisma Negara. Gloria akhirnya dimasukkan dalam Tim Bima pada Paskibraka itu untuk upacara penurunan bendera pada petang hari.

Imam Nahrowi menjelaskan alasan Gloria akhirnya diizinkan bergabung kembali dalam Paskibraka adalah karena pernyataannya, sikapnya, sekaligus komitmennya bahwa tidak ada keraguan sedikitpun di dirinya dalam mencintai Tanah Air dan bangsa sehingga menjadi motivasi semua.

Menteri Pemuda dan Olahraga juga kagum sebab Gloria tidak menyalahkan pihak mana pun, malah, berterima kasih karena pemerintah berlaku sesuai hukum.

Kasus Gloria tersebut membuat kita bersyukur atas komitmennya namun di luar dirinya, banyak juga kalangan pemuda yang memiliki orang tua yang berbeda warga negara, belum lagi para pemuda yang memiliki keterkaitan dengan Indonesia banyak yang tinggal di berbagai negara di jagad raya ini, mereka yang bekerja di luar negeri lalu memiliki keturunan di sana, kemudian kalangan pemuda asing yang ingin menjadi warga negara Indonesia.

Untuk itu, penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam Sumpah Pemuda menjadi upaya strategis juga dalam konteks kekinian.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Kepemudaan, yang tergolong pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 sampai 30 tahun.

Jumlah pemuda Indonesia sesuai hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik tahun 2014 yakni sebanyak 61,83 juta jiwa atau sekitar 24,53 persen dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 252,04 juta jiwa.

Pemuda mempunyai jumlah yang paling kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk yang berusia di bawah 16 tahun (sebanyak 76,68 juta jiwa) dan penduduk di atas 30 tahun (sebanyak 113,52 juta jiwa).

Rasio jenis kelamin pemuda Indonesia pada 2014 yakni sebesar 101,38 yang berarti bahwa dari setiap 100 pemuda perempuan terdapat sekitar 101 pemuda laki-laki. Pemuda laki-laki lebih banyak dibandingkan pemuda perempuan.

Pemuda di perkotaan sebanyak 25,92 persen sedangkan yang di perdesaan sebanyak 23,14 persen.

Dalam perundang-undangan itu disebutkan bahwa pembangunan kepemudaan bertujuan untuk terwujudnya pemuda yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerd
as, kreatif, inovatif, mandiri, demokratis, bertanggung jawab, berdaya saing, serta memiliki jiwa kepemimpinan, kewirausahaan, kepeloporan, dan kebangsaan berdasarkan Pancasila dan Undang
-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pembangunan kepemudaan dilaksanakan dalam bentuk pelayanan kepemudaan. Pelayanan kepemudaan berfungsi melaksanakan penyadaran, pemberdayaan, dan pengembangan potensi kepemimpinan, kewirausahaan, serta kepeloporan pemuda dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pelayanan kepemudaan dilaksanakan sesuai dengan karakteristik pemuda, yaitu memiliki semangat kejuangan, kesukarelaan, tanggung jawab, dan ksatria, serta memiliki sifat kritis, idealis, inovatif, progresif, dinamis, reformis, dan futuristik.

Harus bisa dilaksanakan secara baik bahwa pelayanan kepemudaan diarahkan untuk menumbuhkan patriotisme, dinamika, budaya prestasi, dan semangat profesionalitas; dan meningkatkan partisipasi dan peran aktif pemuda dalam membangun dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Pelayanan kepemudaaan juga bisa dilakukan melalui strategi bela negara, kompetisi dan apresiasi pemuda, peningkatan dan perluasan memperoleh peluang kerja sesuai potensi dan keahlian yang
dimiliki, dan pemberian kesempatan yang sama untuk berekspresi, beraktivitas, dan berorganisasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Strategi pelayanan kepemudaan dilakukan dengan peningkatan kapasitas dan kompetensi pemuda, pendampingan pemuda, perluasan kesempatan memperoleh dan meningkatkan pendidikan serta keterampilan, dan penyiapan kader pemuda dalam menjalankan fungsi advokasi dan mediasi yang dibutuhkan lingkungannya.

Alangkah bangganya menyaksikan setiap pemuda tampil gagah berani menunjukkan identitas dan prestasinya bagi kejayaan bangsa di kancah nasional dan internasional yang kian kompetitif ini.