Ce Amah dan rumah gerobak

id ce amah, rumah gerobak

Ce Amah berjalan tertatih dengan tubuh bungkuknya, satu tangannya dituntun anak perempuannya, Murni.

Kebaya hitam motif bunga dan kain lusuh melekat di tubuh kurus Ce Amah, dilengkapi penutup kepala semacam songkok yang juga lusuh.  

Ia berjalan menuju gerobak, yang selama setahun terakhir menjadi tempat ia berteduh dari sengatan matahari dan hujan, tempat ia tidur di kala malam.

Gerobak berukuran sekitar 2 x0,5 meter dari kayu itu menjadi pusat kehidupan Ce Amah, anak, menantu dan cucunya.

Di usia senjanya yang mencapai 80 tahun, saban hari Ce Amah menyusuri jalanan ibukota, mencari sampah dan plastik botol minuman kemasan yang bisa menjadi uang untuk menyambung hidup.

Memang Ce Amah hanya duduk di dalam gerobak, menantunya Wasman (60) dibantu Murni yang mendorong gerobak.

Tak banyak barang yang cukup layak di dalam gerobak kayu itu, hanya beberapa lembar pakaian lusuh, kardus, dan gelas-gelas plasti air mineral.

Barang paling mewah hanyalah televisi kecil dan pemutar cakram yang harus dihidupkan dengan baterai aki.

"TV untuk hiburan nenek," kata Fitri (14) cucu Ce Amah yang sehari-hari ikut memulung dengan rombongan kecil keluarganya.

Remaja berkulit gelap dan berambut panjang itu juga sudah tidak melanjutkan sekolahnya. Ia hanya sempat mencicipi pendidikan hingga kelas empat SD.

Mengontrak
Sebelumnya keluarga kecil itu tinggal di rumah kontrakan di kawasan Poncol, Bukit Duri Jakarta Selatan.

"Banjir terus, barang-barang pada hanyut jadi tidak punya duit lagi, terpaksa tinggal di gerobak," kata Fitri.

Sejak setahun terakhir mereka memutuskan untuk menjelajahi jalanan ibukota dan menjadikan kawasan jalan Latuharhary Menteng sebagai "alamat" baru mereka.      

Wasman mengatakan, Ce Amah sebenarnya memiliki anak yang hidup cukup layak tapi Ce Amah yang asli Sukabumi itu lebih memilih tinggal dengan Wasman dan Murni meski kondisi kehidupan mereka sangat terbatas.

"Nenek maunya dengan kita, walaupun hanya tinggal di gerobak," tambah Wasman.

Hidup di jalanan dengan tempat tinggal seukuran gerobak memang tidak senyaman di rumah. Disaat hujan mereka terpaksa berdesakan didalam gerobak hanya ditutupi terpal.

"Kalau hujan sudah seperti ayam berkerubung, tapi kalau tidak kita tidur di jalan pakai karpet. Cuma nenek yang di dalam gerobak," tambahnya.

Untuk makan sehari-hari mereka selalu membeli di warung, sedangkan untuk mandi sesekali di kamar mandi umum dan kadangkala di sungai.

Kerasnya hidup di jalan seakan tidak dirasakan lagi, masuk angin, udara dingin sudah tidak mempengaruhi.

"Alhamdulillah sehat-sehat saja, paling hanya masuk angin tapi itu juga sudah biasa," ujar Wasman.

Tidak Manusiawi
Satu keluarga terdiri dari nenek, ayah, ibu dan anak tinggal dalam satu gerobak jika dipikirkan mungkin tidak masuk di akal.

 Bukan hanya Wasman, masih ada sekitar 260 jiwa di ibu kota mengandalkan gerobak sebagai tempat berteduh keluarga.

 Kondisi tersebut terutama bagi anak-anak dan lansia sangat tidak manusiawi.

"Kehidupan mereka tidak manusiawi terutama anak-anak mereka terpaksa tidak sekolah. Tumbuh kembangnya juga tidak sehat," kata Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri.

Menurut Mensos solusi yang paling bagus adalah memulangkan mereka ke daerah asalnya dan diberdayakan.    

Lebih lanjut Mensos mengatakan, berdasarkan dialog dengan para pemulung gerobak tersebut mereka bersedia dipulangkan asal disediakan pekerjaan dan tempat tinggal.

"Mereka pasti mau dipulangkan asal dengan catatan ada pekerjaan dan tempat tinggal. Tidak mungkin mereka mau hidup seperti ini terus," kata Mensos.

Kementerian Sosial mendata terdapat sekitar 1.200 pemulung di Jakarta dan 260 diantaranya tinggal di gerobak.